Bagian Keempat

5.6K 621 43
                                    

Aku sedang duduk di bawah pohon yang berada di tengah taman komplek perumahan, ketika anak perempuan itu bersama bapaknya dan ibuku terlihat berjalan marah menujuku. Anak perempuan itu terlihat seperti habis menangis, aku masih cuek dan siap-siap saja dimarahi. Toh aku selalu menjadi korban kemarahan siapa saja di rumah, mengetahui akan ada orang-orang yang berteriak bahkan memukulku sudah terasa biasa saja.

Sore itu aku pulang ke rumah bersama ibu, dengan lengan yang dicubit biru serta lebam sedikit pada bahu. Aku tidak peduli, sungguh tidak peduli sama sekali.

Anak perempuan itu bernama Ambara, rupanya. Selalu melihatku dengan tatapan bersalah saat tak sengaja berpapasan di sekolah. Aku tak pernah menggubrisnya, tak pernah menganggapnya ada.

Hal ini berlangsung sampai kami naik kelas lima.

***

"Kawa! Itu kakimu kenapa?"

Ambara kaget, bertanya setengah berteriak sambil buru-buru berjongkok di depanku. Lututku memang lebam, tak sengaja membentur meja saat mengambil air minum tadi pagi.

"Biasalah, cuma lebam biasa," ucapku sambil menyingkirkan tangannya dan membuka gulungan celanaku seperti semula.

Ambara terlihat tidak puas, bibirnya manyun tapi sorot matanya khawatir. Sejak dulu ia selalu heboh sendiri tiap melihatku luka atau terkilir.

***

Kawa.

Anak laki-laki sekaligus teman pertama yang kutemui saat pertama kali keluargaku pindah ke tempat ini.
Pertama kali aku melihatnya, hanya satu yang terlintas di pikiranku. Dia tinggi.

Aku jarang sekali bisa langsung akrab dengan orang asing. Sebab sehari-hari ibu menyuruhku bermain dengan mbok Nah, pembantu di rumahku. Takut aku diculik, kata ibu.

Bertemu dengan Kawa, aku selalu seperti menemukan dunia baru. Ternyata banyak hal yang selama ini aku tidak tahu. Misalnya saja jarak dari bumi ke luar angkasa yang ternyata lebih dekat dari tempatku ke Surabaya misalnya.

Kawa pandai memanjat juga. Aku selalu was-was melihatnya. Takut dia terjatuh atau apa.

Dan ini berlangsung hingga kami dewasa.

"Kawa, lihat deh buahnya banyaakkk banget!"

Aku tiba-tiba saja berteriak saat melihat buah cermai yang ada di pinggir jalan.

"Sekali lagi teriak, aku tinggal lari"

Aku langsung diam. Soalnya waktu itu hampir gelap. Dan aku tak mau sendirian, soalnya aku takut setan.

"Iya..iya, gak teriak lagi tapi cermai rasanya gimana sih?"

"Enak, manis banget." Kawa menjawab, dan aku percaya.

"Kamu mau?" Lanjutnya. Aku mengangguk.

Kawa berubah menjadi seperti anak laki-laki yang kutemui pertama kali. Sedetik kemudian aku melihatnya sudah nangkring di atas pohon cermai.

TUK

Aku melihatnya melempar buah cermai dan mengenai kepalaku. Aku mendelik, Kawa seperti biasa berlagak tak peduli.

"Tangkap nih." dia melempar satu..dua..tiga..empat buah cermai.

"Nih cobain satu."

Entah kapan dia tiba-tiba sudah ada di sampingku lagi. Kawa memberiku satu buah cermai, tapi dia membersihkannya dengan kaos yang dia pakai terlebih dahulu.

Aku menggigitnya.

KRESS

Seketika gigiku terasa ngilu, bibirku mengerucut. Tapi sumpah, aku sama sekali tak kelihatan imut.

Asam sekali. Baru pertama kali ini aku menemui buah seasam ini.

Kawa tertawa keras sekali. Sampai aku sekilas bisa melihatnya sedang menyeka air mata. Baru pertama kali juga aku melihat Kawa tertawa sekeras ini.

"KAWA! KURANG AJAR YA KAMU. INI SAMA SEKALI GAK MANIS."

Aku bersiap melemparnya dengan buah cermai yang masih hijau tapi Kawa sudah berlari menjauh.

Aku bergegas mengejarnya sambil sesekali dia masih tergelak tertawa.
Sekali lagi Kawa menunjukkan hal yang aku tak tahu sebelumnya. Juga pada hal-hal tak terduga.

***

"Aku lapar."
"Lapar ya makan, jangan curhat," sahutnya.

Hih! sumpah ya, rasanya ingin sekali aku memberikan ramuan apa saja agar dia bisa berubah menjadi ramah. Soalnya dia selalu saja galak dan menyebalkan.
Walaupun selalu pada akhirnya dia akan bertanya,

"Ayo makan, kamu mau makan apa?"
"Bubur!" seruku tepat di telinganya.
"Ambara, aku gak tuli. Masih bisa dengar suaramu yang seperti radio rusak itu."

Ya, ya Kawa. Kali ini kubiarkan kamu bilang apa saja. Sebab untuk berdebat denganmu aku tak punya tenaga. Dan peliharaan dalam perutku sudah meronta meminta jatahnya.

"Mbak, bubur ayam pakai semuanya kecuali daun bawang ya, sambelnya yang buaannyaaakk."
Terbayang di benakku bubur ayam senikmat itu.

"Aku bubur ayam satu, gak pakai kacang, gak pakai cakue, merica dibanyakin, bawang goreng sama bawang daun banyak, ayam suwir, kerupuk pisah, gak pakai sambel."
Kawa memesan makanan seperti orang kesetanan.

Pesanan kami sudah datang, aku mengaduknya perlahan agar uap panasnya sedikit-sedikit menghilang.

"AMBARA! KOK DIADUK SIH BUBURNYA?"

Nyaris saja aku tersedak sendok yang sedang kupegang ketika suara Kawa tiba-tiba saja menggelegar di telingaku.

"Emang kenapa sih? toh nanti di dalam perut semua juga campur jadi satu."
"Iya, tapi seperti bekas muntahan. Lagipula makan bubur diaduk tuh seperti orang barbar. Gak rapi."
"Yang penting rasanya enak."
"Gak!"

Kawa masih saja mengomel kesana kemari dan aku melihatnya dari ujung mata. Sambil menahan senyum agar tak ketahuan olehnya, bahwa sedari tadi aku memperhatikan semua tingkah lakunya. Bahkan hingga suapan terakhir masuk ke dalam mulutnya.

Aku dan Kawa sama-sama tak mau mengalah dan kupikir percuma berdebat dengannya. Sebab kami memang dua pribadi yang berbeda.
Banyak yang dia tidak suka. Bahkan dalam hal kecil, memesan bubur misalnya.

Sebetulnya kami ini seperti dua kutub yang bertolak belakang — berlainan.
Tapi aku selalu suka caranya menjabarkan sesuatu.
Dan Kawa, itulah sebabnya mengapa aku selalu saja banyak bertanya padamu.
Karena pada tiap-tiap hal sederhana, aku ingin membuat kenangan berharga.

Ambara & KawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang