Bagian Kedua

7.6K 824 129
                                    

Sedari tadi aku cuma duduk diam, menatap lekat ke ponselku dan tak mengacuhkam Ambara yang sudah cukup lama ikut-ikutan mencuri lihat ke layar ponselku.

"Kamu lagi berantem ya?" suara Ambara memecah konsentrasiku.

"Berantem sama siapa?" tanyaku tanpa melihatnya.

"Tuh daritadi mukanya emosi sambil ngetik cepet. Lagi jadi sarjana internet?"

Kali ini aku melirik Ambara. Dia jadi salah tingkah lalu tertawa makin pelan, kemudian diam. Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai menjawab,

"Ambara ada dua hal yang paling nyebelin di dunia ini," aku menangkap sorot bingung dan penasaran pada matanya.

"Emang apa aja?" Ambara menyelipkan rambut yang menutupi telinganya, mungkin dia pikir dengan begitu fungsi telinganya bisa makin sempurna.

"Yang pertama, orang yang pakai jas lab kemana-mana. Beli makan pakai jas lab, ke parkiran pakai jas lab, ke kamar mandi pakai jas lab, selfie gaya bangau pake jas lab. Faedahnya apa? Jas lab ya buat di laboratorium, bukan buat cardigan gaya-gayaan gitu," ucapku.

Ambara mulai mendelik, " Kamu selalu aneh-aneh ya Kawa. Kepalamu itu isinya apa sih? Terus yang kedua apa?"

"Yang kedua itu paliiiinnngg nyebelin! Orang-orang yang komen di postingan kucing atau anjing yang sedang cari adopter. Mereka sengaja komen di postingan yang beda kota, terus bilang 'Ih mauuu, tapi aku tinggalnya di Mars'. Sama sekali ngga berguna. Diem aja kek, share kan beres," aku nyerocos dan Ambara kaget.

"Kamu cerewet ya, Kawa. Jadi kamu sebal karena itu barusan? Karena mau adopsi tapi tinggal di Mars? Terus yang kamu suka apa dong?"

"Aku suka Ambara."

"Eh? Aku?"

"Aku suka Ambara," ulangku sambil menunjuk ke atas "dalam bahasa Sansekerta, ambara artinya langit. Aku suka langit."

Setelah mendengarku, Ambara mengangguk-angguk dan kembali diam. Aku suka caranya menyelipkan rambut di balik telinga, atau wajah cemberutnya ketika aku menggoda dengan mengatakan rambutnya mirip Dora.
Aku suka suara kecil Ambara saat menyebut namaku, atau sorot mata takut-takut yang menatapku saat aku mengatainya manja.

Dari segala tentangnya, aku paling suka jiwa anak kecil yang terperangkap pada tubuhnya yang dewasa. Ambara ceria dan sederhana, tulus tanpa mengharapkan apa-apa. Impiannya tak ada yang serakah. Hal-hal itu yang membuatku jatuh cinta.

Aku suka Ambara,
baik yang berupa tudung semesta,
dan juga
kamu, Ambara yang manja.

Ambara & KawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang