Hari Sabtu!
Senang sekali kalau Sabtu tiba, Akasa libur kerja dan dia akan mengajakku pergi atau hanya sekadar makan berdua. Susah sekali mendapat waktu luang kalau dia sedang banyak kerjaan.Derrtt... Derrtt... Derrtt...
Ponselku bergetar. Akasa.
Jangan-jangan dia akan membatalkan janji seperti minggu lalu? Huh, aku siap-siap kesal dibuatnya.
"Halo!" Aku menjawab teleponnya.
"Yang, kamu siap-siap jam enam, ya. Aku jemput. Pakai motor gak apa-apa, kan?"Duh Akasa, jangankan naik motor, jalan kaki saja aku juga bahagia. Berjalan berdua lalu saat akan menyeberang jalan, kamu akan berpindah posisi memastikan aku berada pada arah yang aman.
Lalu kamu menggandeng tanganku dan aku menurut sekali kemanapun dibawa kamu.Ada satu hal yang membuatku selalu "terlihat sopan." Akasa selalu suka melihatku saat sedang makan.
"Jangan diliatin. Malu!" Aku berbicara sambil menghentikan suapan nasi ke mulutku.
"Kenapa coba mesti malu? Kamu kan pacar aku."Entah kenapa kalau sedang bersama dia, aku ingin menjaga semua sikapku agar terlihat sempurna.
Bahkan untuk menelan minuman saja aku pelan-pelan agar tak kedengaran.Hari ini semua hal berjalan dengan sempurna. Tunggu, aku belum melihat Kawa hari ini. Dia kemana?
Raksasa itu pasti sedang menyendiri — seperti biasanya.Aha! Itu dia!
*****
"Kawa..."
"Apa Kawa kawa?!"
"Hih kamu kenapa galak banget sih? Aku salah apa?" Ambara cemberut.
"Lagi baca buku. Jangan diganggu."
"Buku apaan? Ceritain dong."
Ambara tersenyum manis sekali, aku sempat bingung ingin mengobrol dengannya atau membaca buku lagi. Sekejap saja Ambara sudah berada di sebelahku, membetulkan posisi roknya kemudian kembali menatapku. Aku menghela napas dan mulai mengajaknya berbicara,
"Ambara, kamu pernah tahu cerita tentang Boya dan Ziqi?" aku bertanya, meski sudah tahu pasti jika Ambara akan menjawab tidak.
"Nggak."
"Sudah pasti," jawabku terkekeh. Ia cemberut. Manis sekali.
"Jadi, pada zaman dahulu kala hiduplah Boya. Dia pandai main kecapi, melodi yang dihasilkannya bagus sekali tetapi tidak ada yang mengerti. Sampai akhirnya ada seorang bernama Ziqi yang tak sengaja mendengar permainan kecapi Boya. Apa saja yang dimainkan Boya, Ziqi memahami. Waktu Boya memainkan kecapi sambil membayangkan gunung, tanpa perlu diberi tahu Ziqi memahami. Mereka sesama orang nyeleneh yang jadi berteman karena sama-sama aneh," aku menjelaskan panjang lebar.
"Terus terus? Mereka nikah?"
"Huuu memangnya cinta itu selalu romantis? Yang platonis ada kali! Boya sama Ziqi sama-sama laki-laki dan mereka murni berteman aja. Nggak baperan kayak kamu!"
"Yaudahlah ya Kawa, santai aja. Memangnya kamu nggak?"
"Ini Boya dilanjut nggak?!"
"Iya iya ngalihin topik iya. Lanjuuutt iyaaa."
Wajahku memanas, pipiku memerah. Ambara sial.
"Ziqi sakit keras. Meninggal. Boya sedih. Ngerusakin kecapinya, senarnya dipotong semua. Boya berhenti main kecapi. Habis deh."
"Dih Kawa apaan sih? Kok jadi jutek? Pendek-pendek banget ih."
"Ya kamu sih topiknya kemana-mana, jadi males kan ya," aku meliriknya sinis tanpa niatan menjelaskan Boya dan Ziqi lagi.
"Kalau Boya sama Ziqi kan platonis ya, kalau Kawa romantis nggak?"
Ambara tersenyum menggoda sambil menaik-naikan alisnya, telunjuknya menowel-nowel telingaku.
"Hmm Ambara, mesin game arcade itu namanya apa?"
"Ding-dong!"
"Kalau tenis meja?"
"Ping-pong!"
"Kalau banyak omong?"
"Cing-cong!"
"Nah ya itu kamu," jawabku santai.
Ambara tertawa terbahak, aku pun menirunya tertawa agar ia tak lagi melihat semu merah yang aku sembunyikan.