4

3.9K 256 0
                                    

"Hahaha, siapa tau aja. Ganteng trus kepentok." Kini (namakamu) ikut terkekeh.

"Aku bukan tipe seperti itu." Celetuk (namakamu). Ia memang tak mau menilai orang dari segi penampilan. Hal itu menurutnya hanya meremehkan orang saja.

"(Namakamu)?" Seseorang tiba-tiba menyahut dari belakang. Suaranya nyaris tak terdengar.

(Namakamu) membalikkan tubuhnya. Menatap siapa yang ada dibelakangnya saat ini.

"Steffy?" Pekik (namakamu) girang. Namun berbanding terbalik dengan Steffy. Matanya berkaca-kaca.

"Steff, lo kena-

Belum sempat (namakamu) melanjutkan kalimatnya. Steffy terburu pergi menjauh. (Namakamu) menatap Mike yang sepertinya memiliki ekspresi yang sama dengan Steffy.

Sedetik kemudian, Mike ikut pergi.

(Namakamu) yang tak tau apa-apa hanya memasang tampang linglungnya. Ia heran. Ada apa sebenarnya?

"Steff!" Teriak Mike, berjalan dengan langkah cepat, mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Steffy.

Namun Steffy tak kunjung berhenti. Ia kian mempercepat jalannya yang sudah seperti setengah berlari.

Hap!
Mike berhasil mencekal tangan Steffy. Steffy terhenyak, tak mau menatap Mike.

"Steff.."

"APA?!" Bentak Steffy. Matanya sudah tak mampu membendung air matanya sendiri, sehingga bulir-bulir itu terjun begitu saja.

"Gue gak mau liat wajah elo lagi!" Bentak Steffy lagi. Meronta, melepaskan cekalan tangan Mike dari pergelangannya.

"Waktu itu.." Mike menggantungkan kalimatnya. Menarik nafas sedalam mungkin. "Gue yang salah. Gue yang salah ninggalin elo. Gue yang salah. Gue yang bikin lo.." Mike tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Steffy terus saja tersedu. Mengingat kejadian itu. Rasanya perih.

"Sekarang mereka sedang ada dimana?" Steffy menggeleng lemah.

"Gue gak tau."

"Aneh.." Gumam (namakamu). Tatapannya tertuju pada layar ponsel yang sedari tadi sibuk ia aduk-aduk.

"Jemput gue!" Bentaknya.

Klik!
Sambungan telepon dimatikan begitu saja.

Sementara di adegan lain..
Seorang pria bertubuh jangkung, sibuk merapikan jasnya. Wanita berkerudung yang notabenenya adalah sekertarisnya, mengekori dirinya dari belakang.

"Besok saya akan selesaikan semuanya," Adiba mengangguk seraya tersenyum. "Saya mau menjemput istri saya dulu."

Tenggorokan keduanya seperti tercekat, ketika Iqbaal mengucapkan kata 'istri'.

"Baik, Pak Iqbaal." Iqbaal pun melenggang pergi dari area itu.

"Bodo banget jemput dia sekarang. Mending ke taman nyegarin mata, sebentar." Gumam Iqbaal.

Kini ia sudah sampai ditempat sesuai tujuannya.

"Ayah.." Tiba-tiba seorang gadis kecil berperawakan mungil menghampiri Iqbaal dan memeluknya secara tiba-tiba. Lantas Iqbaal terkejut.

Iqbaal bingung. Ada apa ini? Sejak kapan ia punya anak? Apa jangan-jangan Tuhan mengirimkan anak tanpa perantara ibu? Ahh! Mana mungkin! Sungguh pemikiran yang bodoh.

"Adik lucu.. Om bukan ayah kamu.." Iqbaal berjongkok, menyesuaikan tinggi badannya dengan gadis kecil imut itu.

"Ayah!" Rengeknya setengah terisak. Iqbaal menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Mama kamu mana?" Tanya Iqbaal pelan-pelan. Mengusap wajah gadis kecil itu.

Gadis kecil itu menggeleng tanpa melepaskan pelukannya, "Ayah.."

"Aku bukan ayah kamu, cantik." Celetuk Iqbaal.

Sedetik kemudian, gadis kecil itu menangis tersedu. Iqbaal merasa bersalah.

"Atu mau pulang cama ayah!" Ketusnya dengan nada cadelnya. Iqbaal linglung. Tak tau mau berbuat apa. Nanti ibunya nyariin gimana? Entar Iqbaal bisa masuk hotel prodeo alias penjara gara-gara menculik anak kecil!

"Mama kamu mana, cantik?" Sekali lagi Iqbaal mengulangi pertanyaannya.

Gadis kecil itu terus tersedu, menangis sekencang-kencangnya di jas Iqbaal yang sudah basah kuyup.

"Atu mau pulang cama ayah! Pulang!" Gadis kecil itu menunjuk-nunjuk Iqbaal.

Tak ada pilihan lain. Ia harus menanggung semua resiko jika terjadi sesuatu.

"Oke! Kita pulang.." Ujar Iqbaal seraya menggendong gadis kecil yang kini tersenyum sumringah tak seperti tadi.

"Demi toge se-erwe! Iqbaal lo kemana?" (Namakamu) terus-terusan melirik jam tangannya. Mondar-mandir kesana-kemari ditengah taman rumah skait yang sudah sepi dikarenakan waktu yang sudah senja.

Malam pun menghampiri gadis itu. Terpaan angin menyentuh kulit wajahnya yang mulus. Malam ini begitu dingin.

Ia baru menyadari bahwa ia sendirian di taman ini. Tak ada siapa-siapa selain dirinya. Hal itu membuat nyalinya menjadi secuil biji jagung.

Apalagi ia mulai mendengar sesuatu yang samar-samar.

"Bulukan! Gue benci!" Dokter yang bertingkah kekanak-kanakan itu terus saja mencak-mencak.

"Hiks, hiks," perlahan-lahan suara tangisan anak-anak mulai terdengar. (Namakamu) terdiam kaku.

"Hiks, hiks, hiks.." Suara itu semakin membesar. Sesekali ia mengucapkan kata 'Bunda' disela-sela tangisnya.

Bulu kuduk (namakamu) meremang. Ia baru tau kalau malam ini malam Jum'at :3

Discovery +idrTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang