2 cm : Chef Tirta

13.6K 2K 203
                                    

Why can't you hold me in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't we be like that?
Secret Love Song

Selain bantu ayah saat weekend, aku juga kerja full dari hari Senin sampai Jumat di hotel Ritz Kienne bagian Guest Relation Officer—tempat orang-orang atau tamu ngadu dan aku bakal tetap tampilin senyum. Lagi galau? Jangan harap bisa mencebik atau cemburut. Tampil senyum fake adalah andalan GRO. Jadi, istilahnya, mau tamu ngamuk macam apapun, aku terus senyum dan bicara lemah lembut sambil menjelaskan atau kasih masukan serta solusi.

Pagi ini, Yati—temanku yang juga GRO—sudah sibuk mondar-mandir nggak jelas karena saking banyaknya tamu di hotel. Katanya, tamu mendadak sewa kamar hanya untuk ikut nonton salah satu acara bergengsi bulan ini yang siaran langsung di sini. Tak heran dari tadi ada banyak sekali kru dari stasiun televisi swasta. Kamar VIP maupun VVIP penuh semua dan aku sering lihat, mereka hanya bawa satu tas. Good! Bukankah itu membuang-buang uang?

Tanpa sadar, aku memutar bola mata dan segera memperbaiki seragam.

Kemeja putih sebagai dalaman, blazer krem, serta rok krem pun menjadi warna dominan di hotel Ritz Kienne. Pun aku yang sekarang tengah sibuk memperbaiki diri sebelum ke lobi. Rambut sepunggungku kutata rapi dan digelung. Bu Lidya tak akan membiarkan anak buahnya tampil acak adut di depan tamu.

Sambil jalan angkuh—dagu terangkat lurus dan pandangan ke depan—aku bersama Yati menuju lantai dasar.

“Pelangi!” bisik Yati di dalam lift.

Aku menaikkan salah satu alis sambil menoleh. “Kenapa?” Melihat wajah bersungutnya, aku kembali bertanya, “Radit, kah?”

Radit itu pacar Yati. Katanya sih tipe cowok nakal dan gemesin. Padahal Yati ini orang yang supel dan baik banget. Kadang, aku heran. Kenapa cewek-cewek lebih suka cowok nakal.

Yati menghembuskan napas. “Sumpah! Gue kesel, gonduk, jengkel, aarghh! Semua ada di diri gue sekarang!”

“Kenapa sih?! To the point aja! Aku nggak ngerti.”

“Radit tuh mau ngelamar gue nggak jadi mulu. Sebel!”

Lah? Aku mengernyit. Umur kami sepantaran. 22. Di usiaku ini, aku masih ingin kerja atau mungkin kuliah. Kenapa dia malah pengin menikah?

Aku saja masih menunggu chef datang. Meski itu agak mustahil. Dia nggak bakal ingat aku.

Karena belum pernah dilamar, aku menjawab, “Ya udahlah, masa depan kan masih panjang.”

“Kok panjang sih, Pang?!” teriaknya kesal.

“Sssttt.”

Telunjukku langsung nempel di bibir saat tahu lift sudah sampai di lantai dasar. Aku mengecek lagi tampilan, diikuti Yati yang meskipun masih dongkol, tapi tetap melakukan hal yang sama.

Lalu, saat kami keluar, benar saja. Hotel jadi ramai tak seperti hari biasa. di hari libur saja, tidak seramai ini.

Aku sudah menebar senyum gratis sejak keluar dari lift. Yati yang jalan di sampingku pun sama.

“Pelangi!”

“Apaaa?” sahutku tanpa terlihat masih berbicara.

“Gue ke sana ya?”

Aku menoleh. Yati menunjuk bagian tengah lobi yang sangat ramai. Aku langsung mengangguk dan mencari posisi lain.

*

Iron Cook with Chef Tirta

Gusti... kapan terakhir kali aku cek mata?

Bawaannya dari tadi pengin senyum terus waktu lihat MMT berukuran besar terpasang di ballroom hotel. Nggak bisa dikatakan ballroom juga sih, karena ruangan itu ada di lantai dasar dan langsung menjorok ke halaman belakang serta kolam renang besar outdoor. Kameramen, yang kutahu dari stasiun televisi swasta, wartawan, tamu hotel, sampai host papan atas kulihat sudah wira-wiri.

Rainbow PastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang