Hey, You!
Tulisan di depan pintu kafe sederhana milik ayah, membuatku sedikit geli. Pasalnya ayah selalu bilang kalau tulisan itu dibuat agar pelanggan mampir ke kafe meski sekadar haha-hihi tidak jelas, bahkan sekadar untuk foto-foto atau cuma beli kopi termurah. Katanya begitu saja ayah sudah senang. Kafe Simple yang ayah rintis dua tahun lalu, mengalami perkembangan yang sudah kami nikmati hasilnya. Aku yang masih muda, ikut memberi ayah ide supaya kafe banyak digandrungi semua usia. Meski ternyata, kebanyakan muda-mudi yang datang. Sisanya pria paruh baya yang ingin menikmati kopi hitam.
Beberapa detik menatap kafe yang mulai ramai karena hari ini weekend, aku masuk ke dalam. Karyawan ayah mulai kerepotan ini dan itu. Dan seperti biasa, aku nggak boleh membantu apapun! Itu sebabnya aku cuma boleh duduk sambil menyalurkan ide karena tahun lalu, dapur hampir saja terbakar. Bukannya aku nggak becus masak sih, tapi kata ceroboh memang belum pudar dariku. Kadang, aku cuma bantu ayah di kasir, membungkus pesanan, dan antar pesanan pakai skuter karena kami juga menerima delivery order untuk pesanan banyak. Kalau ojek online beli, itu beda lagi. Ayah menghormati pembeli ojek online yang menerima order pelanggan, tapi beliau juga menerima pesanan khusus kue atau kopi untuk satu lusin lebih. Jadi, tidak ada yang dirugikan di sini-baik ayah, maupun ojek online.
Aku mendatangi Mbak Rina. Dia karyawan ayah, sejak Simple didirikan.
"Mbak." Ia memutar badan, sambil menjawab sapaanku. Relfeks, aku memberikan cengiran. "Ayah mana? Kok di kasir nggak ada, ya?"
"Duh! Tadi Om Bowo tuh ada di kasir, tapi suruh Billy gantiin." Mbak Rani menunjuk Bang Billy yang sibuk dengan mesin hitungnya. "Mungkin ke kamar mandi, deh, Dek?" Aku langsung cemberut.
Meski usia sudah 22, seperti lagu Taylor Swift, tapi aku sering sekali dipanggil adek, dik, atau dek Pelangi oleh siapapun. Membuat bibirku selalu refleks maju beberapa senti. Salahkan tubuhku yang masih mini. Atau memang suaraku yang masih cempreng? Padahal, sejak aku bisa menghasilkan uang sendiri, aku selalu membeli pakaian dewasa-bukan pakaian pantai kok!
"Mbak Rani jangan panggil Dek, dong! Aku udah dua-dua."
Mbak Rani sontak tertawa renyah. "Iya, kamu udah dua-dua. Dan Mbak udah dua-empat."
"Rani! Meja nomor dua, please!" Bang Billy menginterupsi pembicaraan kami. Wajahnya sangat lelah dan memang butuh bantuan yang membuatku kasihan.
Mbak Rani yang peka langsung pamit padaku, lalu ia pergi begitu saja ke meja nomor dua. Dimana ada satu gerombolan remaja SMA, sedang haha-hihi di dekat jendela-salah satu spot terlaris di Simple.
Saat lihat mereka tertawa seperti itu, aku selalu melihat ke belakang. Dimana masa SMA-ku dulu bukanlah hal yang menarik. Terlalu banyak pengorbanan dan air mata. Terlebih satu cowok penyimpan rahasia terbaik, yang sekarang masih tinggal di negara lain.
Poor you, Pelangi...
Tidak ingin membuang waktu, aku segera mengambil apron biru laut-seragam kafe Simple, dan ikut melayani pelanggan sambil sesekali menengok ke arah televisi yang nempel di tembok kafe. Siapa tahu, ada berita terbaru tentang Tirta. Cowok tidak berperasaan itu! Mbak Rani bahkan sampai hapal, kalau aku mampir ke kafe pasti juga mampir nontonin berita hangat di negeri ini. Dan seminggu ini, kudengar chef yang pernah belajar di London serta Amerika akan pulang ke negara asalnya, Indonesia. Dialah Tirta. Tirta Sombong Natawijaya!
"Hai, masih di Gosiiiip! No Secret! Muwahh! Kabar-kabarnya nih, chef muda tampan berkarisma yang masih single ini, sudah pulang ke Indonesia. Mari kita lihat foto-fotonya, ya." Aku mencebik saat host terkenal itu menyebutkan kalau Tirta single. Lalu, televisi menayangkan foto-foto Tirta di luar negeri yang diambil dari akun official penggemarnya. Karena yang kutahu, foto di akun milik Tirta hanya random. Sebatas foto hasil jepretan amatir Tirta yang rata-rata pemandangan, atau hasil masakan. Tanpa caption. Kalau itu masakan, pasti judulnya apa yang dia masak. Nggak pernah neko-neko kasih caption, bikin hatiku lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Pasta
ChickLit"Cinta bakal datang pada tuannya. Ia tidak pernah salah jalan, atau salah arah."-Nina, teman Pelangi. Bertemu kembali dengan cinta pertama ternyata tidak membuat Pelangi merasa di atas awan. Bertemu kembali dengan cinta pertama, malah membuat Pelang...