006. debaran

6.7K 210 8
                                    

Dua pasang mata terkunci, bising suara lenyap oleh detak jantung berdebar seirama, saling tersenyum dengan pipi bersemu merah.

***

Upacara dilaksanakan setiap hari Senin, para murid berseragam putih abu tiga angkatan berkumpul di lapangan yang sama. Berdesakan, tapi senang juga bisa bercengkrama atau sekalian modus dengan kakak bahkan adek kelas. Itulah enaknya kelas sebelas yang menjadi anak tengah sekolah. Sekali lagi, SMA 97 Desember sama seperti jutaan sekolah lainnya di Indonesia.

Mengenang para pahlawan, lagu mengheningkan cipta mengalun di tengah keheningan. Para siswa menunduk, ikut hormat pada pahwalan yang berkorban nyawa demi meraih kemerdekaan.

Namun, tidak semulus itu. Ada saja murid nakal malah asyik mengobrol.

Contohnya, kelas IPS 3. Rafli dan Asri, saling senggol karena sempitnya tempat mereka berdiri.

"Ih, sana Raf! Jauhan!"

"Nggak. Gue udh sempit!"

"Ck. Lo tuh ngalah sama cewek dong."

"Lah, lo emang cewek?"

"Raf!"

"Asri Gendut!"

"Rafliii!!!"

Suara dari baris belakang menggema rendah namun tegas.

"Diam kalian berdua! Tunduk kepala!"

Ah, mereka dari penegak disiplin siswa. Menyebalkan.

Di sebelah Rafli, Dirga menghela napas jengah juga melihat kelakuan keduanya.

"Kalian pasti jodoh."

Sontak kedua manusia itu menoleh syok, Rafli segera buang muka berlawanan dengan Asri yang kesal atas perkataan Dirga seenak jidat.

Emang anak IPS rata-rata seperti ini, ya? Syukurlah ia masuk pada kelas yang tidak kaku, jadi sebagai siswa baru pemuda itu tak susah beradaptasi.

Beda halnya kelas sebelah, kelompok IPA yang Dirga lihat adem-adem saja seolah menjaga kelakuan mereka dan terkesan datar selempeng triplek. Dari mata batinnya, ia mengakui bahwa kelas sebelah itu pintar-pintar dan ambisius.

Ya, selama lima hari sebelumnya ia sempat mengorek informasi dari penghuni sekolah ini. Entah itu di toilet, halaman belakang, terkecuali dalam kelas. Bisa-bisa ia dianggap tak waras jika mengobrol sendirian, di mata teman sekelasnya.

Penghuni tak kasat mata juga menceritakan suatu hal yang buat Dirga tertarik, kejadiannya enam bulan lalu.

"Ga?"

Alis Dirga terangkat, menoleh pada Rafli. "Hm?"

"Hilih. Sok ganteng banget lu, nolehnya biasa aja!" Ujar Rafli keki. Jika dia cewek, pasti pingsan di tempat oleh gerakan noleh Dirga sambil angkat alis apalagi wajah tirus itu penuh keringat.

Rafli jadi merinding.

Mengheningkan cipta usai, protokol membacakan sesi selanjutnya.

"Apaan? Gue biasa aja."

Rafli berdehem. "Di sini ada dua aturan dibuat sama siswa sendiri pas upacara. Pertama, lo boleh ngobrol sepuasnya kecuali pengibaran bendera, mengheningkan cipta, terakhir pembacaan doa."

"Kedua?"

"Kedua, ingat lagi aturan pertama." Cengir Rafli tanpa dosa.

Dirga menipiskan bibir menahan kesal. Ia memalingkan wajah ke sembarang arah, namun jadi diam perlahan melebarkan mata. Bibirnya terkatup rapat, seakan tertembak tepat oleh sebilah panah.

Daffa & Deliana (without you)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang