VII. Perjuangan

55 6 0
                                    

" Aku tau...
Tidak selamanya kita bersama...
Bersama menghabiskan waktu...
Melihat embun dan juga langit yang menaungi kita...
Aku ingin...
Kamu bebas dari belenggu...
Yang selama ini menusukmu bagai angin...
Juga memukulmu bagai palu...
Kini...
Aku bertekad untukmu...
Mulai saat ini...
Ku kan lepaskan belenggu itu...
Agar meski ku pergi...
Kau tak akan pernah merasa sepi... "
~ Nazwa Raina Shafeera ~

®ⓐⓘⓝ

Setelah bel sekolah berbunyi, Nazwa langsung mengemasi barang-barangnya.

" Nazwa! Ikut yuk! Ada cafe baru, lho! " Ajak Kira yang cukup mengagetkan Nazwa.
" Aduh! Sorry banget, aku udah ada janji sama Danuar! " Nazwa menjawab dengan nada menyesal sambil menempelkan kedua telapak tangannya  sebagai tanda permohonan maaf
" Gak papa, ajak aja! " Shania menimpali.
" Tapi... Kami udah mau pergi ke suatu tempat! " Kata Nazwa sembari menggendong ranselnya.
" Ooh ya udah! Gak papa, have fun, ya! " Kata Zeze sambil mencubit pipi Nazwa.
" Kalian juga, ya! " Nazwa tersenyum.

Mereka bertiga pun pergi meninggalkan Nazwa yang sedang mengangkat kursinya ke atas meja.
Setelah selesai, Nazwa pun langsung berlari meninggalkan kelas, menuju halte bus.

" Lama banget, sih? " Protes Danuar sambil berkacak pinggang.
" Sorry! Gue tadi ngangkatin bangku dulu. Eh, btw lo udah sholat jum'at, kan? " Tanya Nazwa dengan ekspresi menyelidik.
" Udah! Ayo! " Danuar naik ke atas motornya, disusul Nazwa.

Setelah pulang dan berganti baju terlebih dahulu, Nazwa dan Danuar, pergi menuju sebuah tempat yang sebenarnya tak asing bagi seluruh masyarakat Jakarta yang berada di sekitaran tempat itu.

Danuar melepas helmnya. Diikuti Nazwa yang tampak menelisik setiap sudut tempat itu dengan matanya.
" Lo masih waras, kan? Ngapain ke sini? Ini tuh jalan gede, di atasnya juga ada jalan membentang. Lo mau ngamen? Atau karena jalan ini suka dipakai shooting sinetron, jadi lo mau ke sini terus siapa tau bisa ikutan, atau mungkin cuma jadi figuran? Lo tuh katanya- " Danuar berceloteh tiada henti hingga ucapannya dihentikan oleh Nazwa.
" Heh! Bisa diem gak sih? Aku bukan mau jadi figuran atau apalah itu. Tunggu aja! " Nazwa kembali fokus melihat-lihat setiap detail tempat itu.

Beberapa saat kemudian, sekumpulan anak kecil berlarian ke arah Nazwa dan Danuar. Anak-anak tersebut tampak tidak terlalu terurus.
Ada yang bawa kecrekan, ukulele dan plastik yang biasa mereka gunakan sebagai kantong uang hasil mengamen.

" Kak Nazwa!! " Mereka memeluk Nazwa bagai terharu dengan kedatangannya.
Nazwa membalas pelukan mereka. Seperti tak merasa tergangu dengan penampilan mereka, seperti yang dirasakan Danuar, Nazwa justru menikmati adegan penuh rindu itu.
Perasaan Danuar tiba-tiba menghangat. Dia merasa melihat sesuatu yang menenangkan hatinya.

" Kak Nazwa mau ikut kita ritual lagi? " Tanya seorang anak perempuan yang merupakan salah satu dari anggota pengamen itu.
" Iya, dong! Kan Kakak rindu, ngelakuin ritual itu sama kalian! " Nazwa tersenyum, mengacak rambut anak perempuan yang bernama Dila, itu.
Mendengar kata " ritual ", Danuar langsung bergidik dan memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal.
" Ya udah Kak, ayo kita pergi! " Ajak Kunto, yang merupakan pemimpin dari kelompok mereka.
Nazwa mengangguk mantap.
" Naz! Kita mau kemana? " Tanya Danuar dengan ekspresi ketakutan.
" Ayo aja! Nanti kamu juga bakalan tau, kok! " Jawab Nazwa yang sedang cukup terbawa suasana. Hingga ia lupa malah menuntun tangan Danuar. Agar Danuar bergegas mengikuti langkahnya.
Mereka berlarian menghambur di sebuah padang rumput luas yang cukup sejuk berangin.
" Nazwa, kita sebenarnya mau ngapain, sih? " Danuar kembali melayangkan pertanyaan yang sedari tadi membayangi fikirannya.
" Kamu siapin jas hujan ya! Nanti, pas aku bilang pake, berarti kamu harus memakainya. Oke? " Nazwa tersenyum sembari memejamkan matanya.
" Eh, sekarang gue beneran takut, kalo lo mau ngadain ritual yang lo sama anak-anak obrolin tadi! " Danuar berkacak pinggang sambil merunduk ke arah Nazwa, sehingga Nazwa menatapnya dengan perasaan sedikit takut.
" Kakak, siap-siap, ya! Sebentar lagi ritualnya akan dimulai! " Pemimpin anak-anak tadi memberitahukan Nazwa dengan antusias.
Nazwa mengangguk.
" Cepet pake jas nya! " Nazwa memberikan komando kepada Danuar.

Danuar gelagapan, sembari memakai jas hujannya. Danuar melihat Nazwa pun sama dengannya, sedang memakai jas hujan dan sarung tangan plastik.
" Kita pulang aja... yuk! Udah mau ujan nih! " Danuar merengek-rengek meminta pulang, seperti anak kecil meminta dibelikan eskrim

Tiba-tiba sentuhan angin yang berhembus mulai terasa. Meniup tali jas hujan yang mereka kenakan. Berbeda dengan Nazwa dan Danuar, anak-anak pengamen yang kurang lebih beranggotakan dua orang anak perempuan dan tiga orang anak laki-laki itu, tidak mengenakan pelindung seperti jas hujan.
Rintik hujan mulai berjatuhan. Danuar tubuhnya langsung gemetar dan tak kuasa untuk melihat. Sehingga ia hanya bisa memejamkan matanya dengan cukup dalam tanpa peduli sekitar.

Sentuhan yang cukup membuatnya lebih tenang, mulai terasa mengalir dalam darahnya. Danuar pun membuka matanya dengan cepat karena terkejut. Sontak, Danuar menoleh ke arah Nazwa yang sedang tersenyum menatap langit yang mengucurkan jutaan, bahkan mungkin milyaran butir air bagai sebuah tangis kegembiraan.
Nazwa menoleh ke arah Danuar dan tersenyum.

" Nikmati Danuar! Ini adalah sebuah keagungan dan rezeki yang Allah turunkan! Lihatlah anak-anak itu, mereka tertawa dan menari-nari di bawah guyuran hujan! "
Danuar menatap Nazwa dengan tatapan nanar. Lalu dia memandang anak-anak itu.

Tersirat betul, kesenangan dalam wajah mereka. Mereka bagai tak pernah memiliki beban yang sebenarnya mereka pikul setiap harinya.
Hujan mulai membesar dan menampakkan satu-dua kilat yang berkelebat dan memancarkan cahayanya tepat di hadapan Danuar. Seperti melihat sebuah pemandangan yang betul-betul menyeramkan, Danuar langsung menarik tangan Nazwa dan mengajaknya untuk pergi dari tempat itu.
Sadar tangan Danuar menarik tangannya, Nazwa pun menoleh dan ikut berjalan mengekor pada Danuar. Anak-anak yang menyaksikan hal itu, hanya bisa terperangah dengan apa yang mereka lihat.

Danuar menarik Nazwa, hingga mereka sampai di sebuah warung untuk berteduh.
" Nazwa! Lo gak bisa lakuin ini! Apa lo masih gak ngerti? " Ujar Danuar dengan nada membentak, sembari ia melepas jas yang menutupi bagian kepalanya.
Nazwa hanya menunduk.

" Kenapa lo lakuin ini? " Tanya Danuar yang masih merasakan gemetar di seluruh tubuhnya.
" Aku cuma mau nyembuhin phobia kamu, Danuar! " Jawab Nazwa pelan hampir seperti berbisik.
" Tapi, itu bukan hal yang mudah, dan gak kayak tadi juga caranya, Nazwa! "
" Tapi Dan! Please, beri gue kesempatan! " Nazwa memandang Danuar dengan wajah penuh pengharapan.

Danuar memalingkan wajahnya, mengernyitkan alisnya tanda sedang berfikir. Danuar berfikir sejenak. Berkacak pinggang sambil memandang Nazwa dengan tatapan ragu.
Lalu, ia pun mengangguk pelan.

Anggukkan itu pun kontan membuat Nazwa tersenyum penuh kemenangan.
" Tapi sesudah reda, kita langsung pulang! "
" Siap komandan! " Nazwa mengangkat tangannya ke kepala menunjukkan sebuah penghormatan.

Danuar yang gemas memandang Nazwa, mengacak hijab Nazwa sembari tersenyum puas.
Tetapi entah kenapa, sejenak melintas dalam fikiran Nazwa. Sebuah perasaan yang tak biasa saat Danuar mengacak kepalanya. Nazwa hanya bisa tersipu, dan pipinyapun mulai memerah.
Apa yang sedang ku rasakan ini?

®ⓐⓘⓝ

Rain PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang