01 - Sebuah Penyesalan

16.3K 1.3K 87
                                    

Lana

Aku tidak pernah menyesali keputusanku saat menerima lamarannya, satu tahun yang lalu. Tidak pernah. Sampai beberapa minggu yang lalu, satu kenyataan membuatku menarik kembali pemikiran itu.

Aku menyesal. Menerima lamaran Bara adalah salah satu kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidupku. Lebih dari enam bulan berpacaran dengannya, ternyata hanya kepalsuan yang diberikan laki-laki itu padaku. Dia tidak pernah benar-benar mencintaiku. Dia mungkin hanya menyukaiku, karena ketertarikan fisik yang kami miliki. Dan pemikiran itu semakin membuat hatiku berdenyut nyeri.

Ternyata sesakit ini saat dihancurkan oleh orang yang sudah memberikan harapan dengan begitu tingginya. Tapi kemudian dijatuhkan dengan cara yang paling menyedihkan. Aku dipecundangi. Tanpa ampun.

Padahal, dengan bodohnya aku sudah memberikan hatiku padanya. Benar-benar utuh. Sama sekali tidak setengah-setengah. Aku berharap banyak padanya. Pada pernikahan ini, aku menggantungkan banyak hal. Semua yang terbaik selalu aku lakukan agar bisa membuatnya bahagia di sampingku. Tapi ternyata itu tidak cukup membuatnya hanya menatapku.

Dia berkhianat. Dengan perempuan yang aku kenal sebagai sekretarisnya di kantor. Mereka merusak kebahagianku dari belakang. Menusukku tanpa ampun, sampai membuatku seakan mati rasa.

Aku kembali menyusut air mataku. Sejak mengetahui pengkhianatan Bara, aku berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja. Aku tidak ingin terlihat lemah di depannya. Menangis diam-diam adalah cara terbaik bagiku untuk menyampaikan perasaan sakit yang sudah ditancapkan Bara pada hatiku.

Tiba-tiba ponselku berbunyi, menampilkan nama Bara di sana. Setelah menarik napas panjang, aku mengangkat panggilannya. "Halo."

"Hai, belum tidur, ya?"

Aku tersenyum tipis. Bodoh sekali. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah merindukan laki-laki itu. "Belum. Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Aku pulang agak malem lagi, nih. Kamu tidur duluan aja. Jangan nungguin aku. Oke?"

Senyumku langsung memudar. Berganti dengan senyum miris karena tahu apa alasan suamiku itu pulang terlambat malam ini. Jadi aku hanya bergumam kecil.

"Jangan bukain pintu sembarangan. Dah. Aku kerja dulu, ya."

"Iya. Jangan lupa mak—"

Kalimatku terputus saat menyadari kalau Bara sudah mematikan panggilannya. Aku kembali menarik napas. Tapi sialnya, air mataku justru meluruh turun. Aku pikir, aku pasti kuat menerima semuanya, asalkan Bara tidak meminta perpisahan, aku akan baik-baik saja. Tapi ternyata aku tidak bisa baik-baik saja. Bahkan mungkin tidak akan pernah bisa membaik. Karena yang memberikan luka padaku saat ini adalah orang yang aku tahu sudah membuatku mencintainya tanpa ampun.

•••

Bara

Gue tahu ini salah. Salah banget. Gue punya istri tapi gue justru nyaman sama perempuan lain. Gue brengsek. Iya, gue akuin itu. Tapi gue juga nggak bisa ngelak kalau rasa cinta yang dulu gue bilang buat Lana itu udah mulai menghilang pelan-pelan. Bahkan kadang bikin gue merasa nyesel karena ngelamar dia, satu tahun yang lalu.

Sialan banget, kan?

Demi apa pun, nggak ada yang kurang dari Lana. Semua yang pengin dimiliki sama perempuan, ada sama dia.

Dia cantik, siapapun pasti setuju sama hal ini.

Dia mandiri. Jelas. Tinggal sendirian selama bertahun-tahun, sebelum ketemu gue, udah bikin dia bisa cari duit dari masih SMA.

Dia pinter masak. Nggak ada yang bakal ragu sama hal ini. Semua orang sangat tahu kalau dia itu chef paling sukses sekarang ini karena masakan-masakan enak yang dia buat.

Dia penurut. Untuk yang satu ini, mungkin cuma gue yang tahu. Orang-orang yang kerja sama dia, pasti bakal bilang dia itu keras kepala. Tapi sama gue, dia itu penurut. Pake banget. Masalahnya, karena sikap dia yang satu ini bikin hubungan kami jadi adem-ayem. Lurus kayak jalan tol. Bikin gue mulai merasa... bosan.

Gue nggak pernah denger dia ngeluh apa pun sama kelakuan gue. Kalau gue mau pergi ke mana-manapun, dia lempeng aja setuju. Itu bikin gue kayak nikah sama bawahan, bukan sama perempuan yang bisa ngimbangin gue.

Beda waktu gue jalan sama Sesil.

Sesil ini sekretaris gue di kantor. Tapi sebenernya gue udah pernah kenal sama dia waktu di kampus dulu. Dia junior gue, setahun di bawah gue. Sama Sesil, gue ngerasain sesuatu yang bikin gue merasa tertantang. Kalau dia nggak suka sama sesuatu, dia bakal langsung bilang. Dia punya pendirian yang nggak gampang diubah sama siapapun, termasuk gue. Dan itu yang nggak gue dapet dari Lana.

Sialan, kan? Lagi-lagi gue bandingin mereka.

"Bar. Hari ini lembur lagi?"

Gue senyum waktu ngelihat Sesil nongolin kepalanya dari pintu ruangan gue. "Kamu yang lembur, kan?" cengir gue. "Aku temenin. Tenang aja."

Gue mulai lagi. Semuanya berawal dari gue. Dua bulan yang lalu, gue yang mulai deketin Sesil. Minta dia pake 'aku-kamu'. Panggil gue pake nama aja. Semua gue lakuin biar gue bisa deket sama dia, tanpa gue mikirin perasaan Lana kalau tahu tingkah brengsek gue.

Sesil ikut tersenyum. Manis banget. Selalu bisa bikin gue lupa diri. Bikin gue lupa sama senyum Lana yang dulu selalu gue bilang senyum paling cantik yang pernah gue lihat.

Seandainya gue nggak buru-buru lamar Lana, mungkin gue nggak bakal terjebak sama perasaan sialan kayak sekarang. Ya, mungkin.

•••

Republish: 04 Oktober 2021

Headlock [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang