Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

2 - Zaidan Gusti Zulfikar

178K 12.2K 440
                                    

"Aidan ... kamu denger nggak kemarin Oma kamu bilang apa? Kalau kamu nggak nikah-nikah, nggak punya anak, beliau nggak bakal bagi warisan itu ke kita, Papa kamu nggak akan dapat jatah, Sayang."

Aidan menghela napas. "Ma, warisan sama cicit itu nggak ada hubungannya. Dalam agama kita juga udah ada hukumnya, anak itu harus kebagian. Kalau anaknya nggak kebagian, nanti Oma yang nanggung dosanya. Lagian itu ancaman biar Aidan mau nikah, kan?"

"Itu bukan ancaman, Sayang. Kamu sendiri tahu kalau kamu itu cucu kesayangan di keluarga kita."

"Kalau Aidan cucu kesayangan, Oma seharusnya ngertiin Aidan, bukan neken Aidan, Ma."

"Cara menyayangi setiap orang itu beda-beda, Nak. Kamu kan memang cucu kesayangan, sampe si Abdul aja iri sama kamu. Lagian kamu juga selalu dengar kan, Oma kamu bilang apa? Katanya Oma kamu ingin gendong cicit sebelum beliau meninggal, sementara keadaannya sekarang udah begitu, Sayang. Oma kamu udah sering sakit-sakitan."

"Masalahnya, Mama, Aidan juga kan belum mau nikah."

"Kamu itu udah tiga puluh tahun. Abdul udah punya anak dua, Nisa juga anaknya udah satu, sepupu kamu juga udah pada punya anak. Sayang, kamu aja yang belum. Lagian kamu itu bukannya belum mau nikah, Mama juga tahu, kamu nggak mau nikah, kan?"

Aidan tak pernah suka jika hal yang menurutnya begitu privasi harus diungkap begitu jelasnya ke permukaan. Permasalahan ia tidak mau menikah adalah keyakinan yang ia pegang erat-erat dalam hidupnya.

Aidan tidak suka terikat. Ia tidak akan suka dengan sebuah pernikahan, yang jelas-jelas akan membuatnya kerepotan seumur hidup. Rengekan istri, ancaman mertua, lalu ibunya yang mengadu karena kelakuan istrinya. Belum lagi dengan cekcok antar keluarga yang memengaruhi kehidupan rumah tangganya. Oh tidak, Aidan bersumpah ia tidak ingin merasakan hal itu seumur hidupnya.

Lihat saja sekarang, ibunya yang selalu kalah karena omanya selalu menjadi mertua menyebalkan yang apa-apa harus menuruti permintaannya, termasuk permintaan konyolnya. Kalau ibunya tidak bisa menuruti kemauannya, otomatis omanya akan mengadu pada ayahnya. Dan apa yang ayahnya lakukan? Tentu saja memarahi ibunya habis-habisan. Mengatakan bahwa ibunya tak becus melakukan hal remeh temeh yang menurutnya begitu mudah.

Ya, begitulah. Seperti inilah bobroknya keadaan keluarganya. Kalau saja ibunya punya keluarga dan keahlian, mereka mungkin sudah pergi dari rumah ini sejak lama. Hanya saja ibunya terlalu mencintai ayahnya, sementara ibunya tidak punya siapa-siapa untuk menjadi tempatnya bernaung, selain suaminya yang selalu mengutamakan kemauan konyol ibunya.

Iya, seorang laki-laki milik ibunya sampai mati, jadi apa yang ayahnya lakukan memang benar. Hanya saja, hasutan dari tantenya memperparah segala hal.

Ah, orang lain mungkin bahagia berkumpul dan dekat dengan keluarga besarnya. Tapi Aidan tidak. Omanya hanya punya dua anak dan tiga cucu, tetapi dengan jumlah sedikit saja rasanya begitu memuakkan bagi Aidan.


***


"Mana Aidan?!"

Sudah sejak lama Aidan mempunyai keinginan untuk membeli apartemen agar hidupnya bisa damai tanpa teriakan dari ayahnya. Sayang sekali, ia adalah anak satu-satunya di rumah ini sehingga mau tidak mau Aidan harus tetap tinggal dan memastikan bahwa ibunya tetap berada dalam jangkauan. Hey, setiap kali ayahnya meneriaki namanya, Aidan selalu merasa bahwa ia seperti bocah belasan tahun yang ketahuan bolos hanya untuk bermain di warnet. Sungguh memuakkan.

"Aku udah bilang ke Aidan, Mas, tapi dia kayaknya lagi nggak enak badan. Kita obrolin lagi besok-besok aja, ya. Kasihan, Aidan pasti banyak pikiran juga. Badan lagi nggak fit tapi kerjaan dia juga repot."

Setiap mendengar pembelaan ibunya tentang dirinya, rasa bersalah itu menggunduk dan hanya sampai di kepalan tangannya tanpa bisa ia ayunkan ke wajah ayahnya. Kasih sayang seorang ibu memang tanpa batas, sekalipun Aidan berdebat sangat parah dengan ibunya, yang ibunya lakukan di depan ayahnya adalah membela dan menutupi semua kesalahan Aidan. Bahkan Aidan merasa hidup ibunya adalah hidup yang paling menyedihkan di antara ibu-ibu lain.

Lihat saja tantenya, pekerjaannya hanya menghambur-hamburkan uang suami, pamer berlian ke sana kemari, bergonta-ganti mobil layaknya ia berganti pakaian, bahkan tantenya tak pernah mempermasalahkan jika suaminya bermain dengan perempuan lain asalkan ia mendapatkan apa yang semestinya ia dapatkan; uang. Terkadang Aidan berpikir, kenapa ibunya juga tak bisa melakukan hal yang sama? Bahkan ia merasa kekayaan ayahnya seperti tertimbun karena ibunya tak pernah membelanjakannya untuk sesuatu yang bisa membanggakan dirinya. Sial sekali, ibunya yang menjadi wanita terbaik di dunia harus bersanding dengan ayahnya yang menjadi pria paling bajingan di dunia.

"Kamu itu terlalu memanjakan anak kamu! Setiap kamu ngomong sama Aidan pasti hasilnya nggak akan bener! Bisa kamu apa sih, Asna?! Bela saja terus anak kamu! Kamu nggak tahu kalau Mama marah-marahin aku? Beliau bilang apa? Katanya buat cari calon untuk anak kita aja aku nggak becus!"

"Bukan gitu, Mas. Memang belum waktunya aja buat Aidan—"

"Halah! Sejak bertahun-tahun yang lalu juga jawaban kamu itu-itu aja! Terus aja begitu, Asna! Coba kalau kamu nggak keguguran, kamu nggak kena kista, dan rahim kamu nggak diangkat, aku mungkin bisa dapet anak yang lebih nurut dan bisa diatur lagi dari Aidan! Urus anak satu aja kamu nggak becus! Bisa kamu apa, sih?!"

Kepalan tangan Aidan semakin kuat. Ia membuka pintu kamarnya dan tatapannya jatuh pada ibunya yang tengah menundukkan kepala dengan tangannya yang gemetar.

Semua orang akan merasakan hal yang sama; akan terluka begitu dalam ketika luka terbesarnya tak pernah mengering bahkan seiring dengan berjalannya waktu. Dan keguguran yang menimpa ibunya hingga penyakit mengerikan yang membuat ibunya merasakan akhir dunia, adalah hal yang selalu Aidan benci ketika ayahnya mengungkit-ungkitnya.

"Papa bisa nggak sih, nggak usah teriak-teriak begitu sama Mama? Malu, Pa, udah tua masih teriak-teriak begitu, memangnya salah Mama apa?"

"Salah Mamamu? Salah Mamamu adalah dia nggak bisa menangani kamu. Itulah akibatnya Mama kamu memanjakan kamu, kamu jadi nggak pernah nurut sama orang tua. Kalau kamu nurut, Mama kamu juga nggak akan Papa marahi!"

Aidan tersenyum miring. "Nurut? Nurut apa maksud, Papa?"

"Oma kamu sudah mau cicit! Masa kamu nggak ngerti juga?"

"Ya memangnya Oma pikir dapat cicit itu semudah dapat uang? Bahkan dapat uang aja harus kerja dulu, harus kesusahan dulu, dan harus—"

"Berani-beraninya ya kamu lawan Papa kamu!"

Aidan mendengus. "Aidan diem dibilang durhaka, karena Papa merasa Aidan mengabaikan Papa. Dan sekarang ketika Aidan berbicara untuk mengemukakan pendapat Aidan, hasilnya juga sama. Papa nggak terima dan pasti Papa bakalan bilang kalau Aidan juga durhaka sama Papa. Papa nggak inget sama kelakuan sendiri?"

"Aidan!" teriak Syarif dengan penuh emosi.

"Mas, udah, dong. Aidan capek habis kerja, kasihan."

"Aku juga habis kerja, Asna. Kamu nggak kasihan sama suami kamu?!"

Bukannya berhenti, ayahnya malah semakin menjadi. Padahal ibunya sudah menundukkan kepala bahkan hampir menangis, tetapi pria yang ia sebut Papa itu tak menghiraukannya, dan malah terus menerus memarahinya. Aidan benar-benar tidak terima.

"Oke, yang Oma butuhin cuma cicit, kan? Oma mau Aidan punya anak aja, kan? Kalau gitu, tunggu aja, Aidan bakal punya anak dan Aidan bakalan bawa Mama pergi dari rumah ini setelah Aidan punya anak! Silakan telan aja semua warisan dari Oma untuk Papa."

Setelah mengucapkannya, Aidan membanting pintu kamarnya, sementara ayahnya berteriak-teriak kepadanya.

Ah, rumah memang bukan tempat yang cocok untuknya.

All We Need is a BABY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang