Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

3 - Behind The...

173K 12.4K 1K
                                    

"Sayang, kalian di mana?"

Ami merentangkan kedua tangannya pada kedua keponakan kembarnya yang bernama Ardana dan Ardina. Mereka berdua tersenyum lebar, kemudian berlari ke arahnya, dan memeluknya.

"Uh, kesayangannya Tanteeeee," kekeh Ami. Wajahnya berseri-seri ketika kedua anak itu memeluknya dengan erat.

Kata 'sayang' Ami ajarkan kepada mereka setiap bertemu, jadi otomatis ketika Ami mengucapkan 'sayang', mereka akan berlari ke arahnya dan memeluknya dengan senyuman hangat membahagiakan.

"Mbak Irna, ya ampun. Aku culik ya mereka, aku culiiik. Ih gemes bangeeet."

Irna tertawa. "Makanya, Mi, cepet cari calon atuh biar bisa punya yang kayak begini."

Ami terkekeh. "Kalau nyari calon kayak nyari ojek sih, udah dapet, Mbak. Sayang banget, cari calon itu udah kayak cari tanah kosong di Jakarta. Susah."

Irna menggeleng. "Kamu mah mau aku jodohin sama sepupu aku di Bandung malah nggak mau. Padahal betah hidup di Bandung, Mi, daripada di sini."

"Yah, kalau aku di Bandung, masa Mama berdua doang sama Mai di sini. Nggak ah, Mbak, lagian aku belum siap juga. Hehe."

Padahal kenyataannya ... Ami tidak akan pernah siap.

"Kamu nggak trauma gara-gara orang tua kamu kan, Mi?"

Mendengar pertanyaan itu Ami tersenyum. "Nggak kok, Mbak. Ngapain trauma? Itu kan hidup mereka, bukan hidup aku. Mama sama Papa pisah ya memang karena mereka bukan jodoh aja. Jalan hidup aku sama mereka itu beda, jadi aku percaya aku pasti bisa bahagia nanti."

Iya, jawaban yang selalu dilontarkan olehnya adalah kepercayaan diri yang melambangkan keberaniannya dalam menjalani hidup. Sebuah penyanggahan atas apa yang tengah menimpanya selama ini.

"Syukurlah kalau gitu, Mi. Aku tuh suka takut, kalau denger Kakakmu ngomongin kamu itu. Lagian ya, Mi, kata kakak kamu pas zaman Mbak sama dia masih pacaran, orang lain tuh sewaktu sekolah dan kuliah pasti kenalannya banyak. Pacarnya gonta-ganti, ke kondangan ada pendampingnya, nongkrong ke sana kemari sama cowoknya. Beda sama kamu yang ke mana-mana Mama aja terus yang dibawa. Aku bisa menyimpulkan sih, karena apa yang kamu alami, kamu juga pasti lebih selektif lagi dalam pilih-pilih pasangan ya, Mi, dan selektif begitu kan bukan buat pacaran, tapi buat nikah."

Ami tersenyum tipis. "Nah, itu Mbak tahu."


***


"Eh, Ami. Kok baru pulang jam segini?"

Baru saja membuka pintu rumahnya, tantenya yang tinggal di Bogor sudah menyambutnya. Omong-omong, keluarga Ami itu keluarga besar. Ibunya merupakan anak kesembilan dari kedua belas bersaudara, sehingga Ami mempunyai banyak sepupu dan keponakan. Sayang sekali, semua sepupu yang sebaya bahkan yang lebih muda darinya sudah menikah dan memiliki anak. Tinggal Ami satu-satunya yang belum menikah. Padahal umur Ami juga nggak tua-tua amat, baru juga dua puluh enam.

"Biasa, Tan. Abis mampir dulu ke rumah Kak Efran."

"Ya gitu lah, Dek. Kebiasaan si Ami, pulang pasti ke rumahnya Efran dulu, bukan ke rumahnya sendiri. Padahal di sini Mamanya udah cemas, kenapa kok anaknya belum sampe-sampe? Eh, taunya, dia main sama si kembar di sana."

Di dunia ini yang bisa melakukan banyak hal memang hanyalah seorang ibu. Selain menjamu tamu, ibunya sering menjadi juru bicara baginya kalau-kalau ada yang bertanya mengenai hal ini dan itu. Jadi yang dilakukan Ami hanyalah tersenyum saja, toh pertanyaannya juga sudah terjawab, kan?

All We Need is a BABY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang