Kalau saja keahlian Ami adalah menjahit seperti ibunya, Ami bersumpah akan membuka sebuah tempat jahit dan menerima jahitan. Lalu menyibukkan diri dengan banyaknya benang dan kain seumur hidupnya. Hanya saja, keahlian Ami—yang sialnya Ami sesali—adalah dalam bidang perpajakan, yang menurut Ami, begitu memuakkan. Iya, Ami bukan orang yang teliti, sehingga seringkali ia salah mencantumkan angka. Hey, satu angka saja sudah berpengaruh buruk sehingga Ami harus buru-buru memperbaikinya. Dan lelah ketika ia harus melawan macetnya kota Jakarta, hanya untuk memenuhi panggilan AR padahal kesalahannya tak seberapa.
Ami keluar dari mobil seraya memeluk amplop yang dibawanya. Ponselnya berbunyi, membuat Ami meraih headset, lalu berbicara seraya berjalan. "Halo. Ami di sini."
"Hai, Mi!" sahut suara di seberang sana.
Ami mengerutkan kening. Ia masuk, memencet tombol, melihat nomor antreannya, kemudian duduk di barisan paling belakang. "Rara! Ya ampun, lo nelepon di saat nggak tepat banget! Gue lagi di kantor pajak."
"Aduh, Mi. Katanya udah capek kerja, capek urusin faktur pajak, kok masih aja seneng datengin tuh kantor?"
"Ya gimana lagi, Ra. Namanya juga butuh."
"Apa banget deh, Mi. Lo minta kerjaan sama Tante Isti juga pasti nyokap lo kasih. Tinggal maunya aja, sih."
"Kerjaan bikin baju? Yang ada malah si Mama kasih gue kerjaan buat bersihin benang-benang doang."
"Eh, tapi kan nyokap lo desainer terkenal, Mi. Gaji buang benang juga pasti setara gaji PNS."
"Mimpi lo, Ra, ketinggian."
Di seberang sana Rara tertawa sementara Ami menelusuri pandangannya ke seluruh kantor tempatnya duduk. Aman. Semua orang tidak terganggu dengan kehadiran dan pembicaraannya, jelas. Ami nyaris seperti berbisik.
Ami melanjutkan pembicaraannya, tetapi Rara menghilang sejenak.
"Halo, Ra?"
"Sorry, Mi, anak gue bangun. Yuk lanjut lagi ngobrolnya, ini gue sambil nyusuin nih ya, Sayang, ya?"
Kalimat terakhir Rara ucapkan untuk anaknya karena suaranya berubah menjadi lebih riang. Ami tersenyum, ia ingat dengan Abi yang dipeluknya pagi ini. Ya Tuhan, senang sekali sepertinya memiliki bayi seperti sepupu dan teman-temannya.
"Eh, Nanda udah lahiran ya, Mi?"
"Iya, Ra."
"Lo gimana?"
Setiap kali sahabatnya bertanya, "Lo gimana?" Ami tak pernah merasa baik-baik saja.
Ami menundukkan kepala, kemudian berkata, "Ra, gue bahagia Nanda udah lahiran, tapi makin dilihat si Abinya, makin gue pengin nangis, tahu."
Di seberang sana Rara tak menjawab, tapi perasaan Ami tiba-tiba saja campur aduk.
"Gue pengin punya bayi, Rara. Serius. Makin dipikir-pikir, makin ditahan-tahan, gue malah makin yakin gue pengin punya bayi."
"Ya masalahnya lo punya bayi dari mana? Lo kan nggak bisa membelah diri. Cari dulu suami, baru lo bisa punya bayi."
Membelah diri? Sialan si Rara.
"Tapi lo tahu sendiri, gue nggak mau nikah."
"Eh, Cinta, nikah itu enak. Semuanya anget. Dapur anget, hati anget, dompet anget, badan juga anget. Lo nggak ngiler liat gue?"
Blush! Pipi Ami memerah, ia malah malu sendiri mendengar ucapan Rara.
"Gue lebih ngiler liat yang punya bayi daripada liat yang punya suami, Rara."
KAMU SEDANG MEMBACA
All We Need is a BABY!
ChickLitAmi dan Aidan berusaha mendapatkan anak di awal pernikahan, membuat pernikahan kontrak mereka lebih berwarna. *** Azmina Nurul Safa menginginkan bayi. Tumbuh sebagai anak broken home, Ami sempat trauma, dan tidak berencana menikah. Begitupun Aidan...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir