PEMBACA YANG BAIK ADALAH PEMBACA YANG MENGHARGAI KARYA PENULISNYA
"Dandelion adalah definisi, apa itu rapuh yang sebenarnya"
Langit senja memudarkan gurat jingganya perlahan. Rupanya tugas sang surya telah selesai hari ini dan dia bersiap kembali ke peraduannya. Mega pada cakrawala menggumpal bak kapas namun warnanya berubah kelam. Sejurus kemudian rintik air tumpah melebur ke bumi hingga menghasilkan bau petrichor yang menyeruak. Rintik air hujan yang bertabrakan dengan permukaan tanah rupanya menimbulkan kesan tersendiri bagi Alina. Alina mengeratkan jaket yang ia kenakan guna menutup akses udara dingin menelusup setiap celah tubuhnya. Dengan langkah tergesa, Alina menapaki setiap ubin yang berjejer manis di lorong koridor sebuah bangunan dengan nuansa putihnya yang kental. Sang gadis berusaha mengontrol ritme nafasnya yang tersengal-sengal.
Alina melemparkan pandangannya pada sebuah ruangan bertuliskan angka 108. Jemari Alina bergerak lincah merapikan helaian surai hitam miliknya. Setelah itu, sang gadis meraih gagang pintu dan memutarnya hingga sebuah ruangan terekspos. Berbagai macam aroma obat-obatan menelasak memasuki indera penciuman Alina. Gadis itu tampak terbiasa dengan keadaan disekitarnya. Satu langkah, dua langkah, gadis itu mendekat ke arah ranjang dengan seorang wanita paruh baya rebah diatasnya.
"Assalamualaikum, Bunda. Bagaimana keadaan Bunda?" tanya Alina seraya melepaskan jaketnya yang sedikit basah.
"Alhamdulillah, bunda merasa baikan sekarang, kamu pasti kehujanan ya?" Alina mengangguk menjawab pertanyaan retoris yang diajukan bundanya. Ia kemudian menarik sebuah kursi dan mendudukinya.
"Bunda nggak bosen apa tinggal di rumah sakit terus?"
Bunda Alina tersenyum tipis lalu menjawab, "Ya bosenlah, Sayang,"
"Makanya bunda harus cepat sembuh biar bisa keluar dari tempat ini," ujar Alina.
"Iya, Bunda pasti cepat sembuh kok,"
***
Alina menghela nafas dalam, setelah bergulat dengan antrian yang sangat panjang, ia pun dapat menebus obat milik bundanya. Satu kantung obat dengan beraneka macam jenisnya sudah ada ditangan, ia segera melangkahkan kakinya untuk kembali ke kamar inap sang bunda. Sayup-sayup Alina dapat mendengar percakapan sepasang suami istri yang sedang berdiri tepat disamping kamar inap bundanya. Percakapan itu cukup menarik bagi Alina, hingga gadis itu memperlambat laju langkahnya.
"Bagaimana dengan Kinar, Pah. Penyakitnya sudah parah," keluh sang istri. Mata sang istri sudah tak kuasa membendung air mata yang terus merengek keluar.
"Papah harus bagaimana lagi, Mah, Kinar itu menderita leukimia, semua pengobatan sudah kita tempuh, tapi hasilnya masih sama saja. Bahkan keadaannnya kian hari bukan semakin membaik tapi malah semakin memburuk," balas sang suami kemudian merengkuh tubuh sang istri memeluknya.
Spontan, Alina membekap mulutnya sendiri. Setelah itu ia mengalihkan pandangannya pada pintu kamar inap yang berada di belakang pasangan suami istri itu. Melalui kaca bening yang terpasang apik disana, Alina mampu menyaksikan bagaimana tubuh seorang gadis terbaring lemah dengan berbagai alat terpasang pada tubuhnya.
"Kinara, gadis itukah yang kedua orang ini maksud?" gumamnya lirih.
Alina tidak bisa melihat jelas paras gadis itu, walaupun begitu hatinya merasa ngilu saat mengetahui penyakit leukimia yang bisa setiap saat merenggut nyawa sang gadis. Alina melanjutkan langkahnya yang sempat terpenggal, ekor matanya tidak sengaja menangkap sebuah aksara bertuliskan Kinara A.
"Bunda ternyata masih beruntung karena tidak mengidap penyakit separah gadis itu. Semoga gadis itu diberi kesembuhan, aamiin,"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
plu·ral·ism
Short Storyplu·ral·ism /ˈplo͝orəˌlizəm/ . (n.) a theory or system that recognizes more than one ultimate principle . Kepingan inspirasi yang dirangkai dalam untaian aksara. ©Copyright by Mira Ayumi 2017