Hari ini bukan hari baru yang selalu Bulan impikan. Ini pertama kalinya di pagi hari ia tidak banyak bicara. Bahkan Neela dan Mika sengaja menjaga jarak sejenak dengan temannya itu, memberikan Bulan ruang untuk menenangkan diri.
Semalam Bulan pulang dengan kondisi pakaian yang sudah agak kering. Sebelumnya Bintang sempat mengajak Bulan berteduh hingga bajunya sedikit kering, Bintang juga mengantar Bulan pulang. Neela dan Mika kaget melihat Bulan semalam, tak ada sama sekali sisa bahagia pada wajahnya.
Bintang melangkahkan kakinya masuk. Baru saja netranya menangkap Bulan, sebuah sapaan hangat menyapa telinganya. "Pagi, Bintang."
Bintang tersenyum mendapati Sunny berdiri di sebelahnya dengan senyuman manis pula. "Pagi, Sun. Ceria banget."
"Oh, ya, Tang. Makasih, ya, semalam elo udah bantuin gue ngerjain tugas kesenian. By the way, pudding yang elo bawa enak banget." Sunny terkekeh pelan.
Bintang mengangguk ramah dan menepuk bahu Sunny. "Sama-sama. Gue seneng kalau lo suka."
"Mau sarapan bareng nggak?" tawar Sunny. "Kata kelas sebelah, guru-guru ada rapat, jadi masuknya agak nanti. Gimana?"
Sempat sejenak Bintang menoleh kembali ke dalam kelas, tepat saat Bulan mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum dan sialnya bertepatan dengan matanya yang beradu dengan Bintang. Secepat mungkin ia kemudian menunduk, berbalik dan membiarkan Bintang selesai dengan urusannya.
Sedangkan Bintang kembali menghadap Sunny yang semangat terhadapnya. "Gimana, Tang?"
Perlahan, Bintang mengangguk mantap. "Gue traktir."
"Traktir? Jangan, Tang. Gue siapa lo juga."
Bulan mengintip keduanya yang asyik berbincang dari balik bahunya. Telinga Bulan tidak tuli jika hanya untuk mendengarkan percakapan di depan kelasnya.
Bintang tersenyum dan mengatakan, "Elo spesial buat gue. Jadi kenapa gue nggak boleh traktir elo?"
Udara di sekitar Bulan rasanya hilang seketika. Entah mengapa, jika Bulan mengingat akan kejadian semalam selepas ia nekad pulang sendirian di tengah guyuran hujan, saat Bintang mengenalinya dan membantunya. Apa yang Bintang ucapkan baru saja kepada Sunny tadi, cukup membuat kakinya bergetar.
Bulan menarik napasnya dalam-dalam, menutup matanya, membiarkan oksigen itu menjernihkan dan menenangkan pikirannya. Jika bisa jujur, perasaan Bulan kini mati sudah. Ia meninggalkan Dino begitu saja semalam tanpa pamit, dan Bulan yakin betul jika Dino tak terlalu khawatir akan hal itu.
Neela dan Mika kemudian menghampiri Bulan, mereka mengira Bulan sudah cukup waktu sendiri. "Lan, lo mau makan?"
Bulan menggeleng pelan. Pun ia kembali duduk sambil membuka novelnya dan memasang earphone dengan volume keras. Tak ada ekspresi jelas yang Bulan tunjukkan.
"Lan, lo udah chat Kak Dino? Semalam dia khawatir sama lo."
Bodoh.
"Lan, lo nggak boleh kayak gini. Lo nggak boleh egois, gue udah sering ngomong tentang ini ke elo, 'kan?"
"Neela, apa gue egois kalau gue patah hati? Patah hati itu sebuah hak karena elo merasa dikecewakan, bukan sebuah keegoisan karena ditinggalkan," bisik Bulan sambil tetap membaca novelnya.
Mika menyandarkan kepalanya di atas bahu Bulan. Ia juga mengusap lengan Bulan, hingga Bulan akhirnya merasa cukup. "Lan, sepatah hati apa pun elo ke Kak Dino, lo butuh jelasin ini ke dia."
"Apa yang mau gue jelasin?" Bulan kembali terisak. "Gue suka sama dia udah lama, dan selama itu pula gue nggak tahu kalau dia punya pacar. Dia juga nggak ngakuin kalau dia punya pacar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Flicker. [pending]
Teen FictionPondasi sebuah cinta yang kuat adalah sebuah persahabatan. Mencintai sahabatmu sendiri adalah sebuah keberuntungan, namun untuk melepasnya nanti disebut kedewasaan. Seperti bintang, walau saat dirinya tidak tertangkap mata, kerlipan itu sesungguhnya...