Bulan membuka pintu kelasnya perlahan. Dikiranya ia adalah orang pertama yang akan menginjakkan kaki di kelas, namun tidak. Ia mendapati Sunny sudah duduk manis di dalam kelas, tepatnya di sebelah bangku Bintang yang masih kosong.
Bulan menggelengkan kepalanya pelan, menghapus pikiran-pikiran negatifnya. Segera ia berjalan menuju bangkunya, di depan bangku Bintang.
"Elo tumben pagi, Lan?"
Bulan merubah posisi duduknya. "Tadi sekalian anterin Aquarius, katanya mau ada kunjungan."
"Aquarius?"
Bulan mengangguk pelan. "Iya, itu nama adik gue. Biasanya gue panggil dia air minum dalam kemasan, sih. Jangan tanya kenapa," balasnya sambil terkekeh hambar di kalimat terakhir.
Sunny pun ikut terkekeh pelan selagi menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Ia kemudian membuat sikunya sebagai tumpuan di atas meja. "Lan, boleh tanya nggak?"
Bulan menaikkan sebelah alisnya sebagai jawaban.
"Menurut lo … Bintang itu anaknya gimana?"
Seketika Bulan melebarkan matanya. Pertanyaan Sunny bukanlah jenis pertanyaan yang ingin Bulan jawab kali ini. "Gue nggak terlalu kenal sama Bintang."
"Masa?"
"Iya." Bulan memberikan tatapan malasnya sejenak pada Sunny. "Tapi kalau menurut gue, Bintang orangnya cuek, nyebelin. Kayaknya dia susah bergaul gitu, dia juga kayaknya misterius."
"Tapi … menurut elo, dia ganteng, 'kan?"
Bulan melebarkan matanya, perlahan ia tertawa mendengar satu lagi pertanyaan konyol dari mulut Sunny. Bahkan ini belum pukul tujuh pagi.
"Kok elo ketawa?" tanya Sunny heran, tetapi diiringi kekehan canggung.
"Lucu aja." Bulan berusaha menghentikan tawanya. "Ganteng, cantik, jelek, tinggi, pendek, kurus, gendut, manis, asem, pahit, itu semua nggak penting. Gue paling nggak suka menilai orang dari fisik gitu, Sun. Ya … emang Bintang cakep, dikit, sih. Tapi di balik fisik dia yang sempurna, apa lo bisa menerima ketidaksempurnaan dia di dalam?"
Sunny tercengang mendengar jawaban Bulan. Sejenak Sunny diam, hal tersebut membuat Bulan hampir saja membenarkan kembali posisi duduknya. Sebelum kemudian Sunny bertanya, "Kalau misalnya gue suka sama Bintang, apa itu salah?"
Bulan menghela napasnya. Tidak sesak, rasanya masih baik-baik saja. Masih. Tapi Bulan tak yakin untuk sekedar berbalik lagi dan menatap wajah Sunny untuk membalas pertanyaan tersebut.
Rasanya memang Dewi Fortuna berpihak pada Bulan. Mika dan Kenta yang baru tiba di kelas langsung menghujani Sunny dengan ledekan begitu keduanya melihat Sunny.
"Ya, gitu, deh. Mentang-mentang sekarang sudah sama Bintang, datengnya pagi. Biar bisa lihatin Bintang pagi-pagi, 'kan?" ledek Kenta.
"Enak, ya, PDKT nggak perlu lama-lama udah langsung ada status," imbuh Mika.
Kenta langsung memicingkan matanya pada Mika yang masih berdiri sejajar di sampingnya. "Ngeledekin? Bukannya elo yang nggak kasih gue kepastian?"
"Abisnya elo nyebelin."
"Berisik banget pagi-pagi. Ayam aja masih males cari cacing buat anaknya," sela Bulan sarkas. "Lagian emang elo ngeledekin Sunny sama Bintang, lo yakin mereka pacaran? Nggak juga, 'kan? Mustahil juga elo lihat bintang pagi-pagi, ketutupan sama matahari."
"Kenapa lo, Lan? PMS?" Kenta menjatuhkan tubuhnya di atas kursi selagi terkekeh pelan.
Mika langsung mengambil posisi pada bangkunya sendiri, di depan Bulan. Ia menengok sedikit ke belakang. "Masih galau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Flicker. [pending]
Teen FictionPondasi sebuah cinta yang kuat adalah sebuah persahabatan. Mencintai sahabatmu sendiri adalah sebuah keberuntungan, namun untuk melepasnya nanti disebut kedewasaan. Seperti bintang, walau saat dirinya tidak tertangkap mata, kerlipan itu sesungguhnya...