Semilir angin membelai wajah gadis itu. Dengan kotak makan merah di pangkuannya, Milka mengulas senyum menatap langit. Gadis itu seperti sedang berpesan kalau ia sedang merindukan seseorang.
Di saat murid-murid lain memakai aksesoris yang memaparkan kekayaannya, Milka terlihat sangat sederhana. Rambut yang tergerai begitu saja dengan wajah polos tanpa make up.
Gadis itu membuka kotak makan miliknya, menampakkan roti isi mentega yang di beri gula sebagai pelengkap sarapannya. Milka memakan salah satu potongan roti itu sambil tersenyum. Betapa bersyukurnya ia pagi ini karena Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk memakan makanan mewah itu.
Tiba-tiba saja Milka menghentikan kunyahannya sejenak saat sesuatu melintas di pikirannya begitu saja. Apakah adik-adiknya sudah makan hari ini? Apa Ibunya baik-baik saja? Bagaimana kabar mereka sekarang?
Segelintir pertanyaan itu mulai muncul di kepalanya. Melihat makanan yang ada di tangannya saat ini, Milka teringat akan keluarganya. Gadis itu meletakkan potongan roti itu kembali dengan ekspresi sedikit sendu.
Tanpa ia sadari sebulir air mata jatuh melintasi pipinya.
Milka! Lo bukan cewek cengeng! —batinnya bergumam.
Milka tersenyum, menyapu air mata yang sudah terlanjur jatuh dengan telapak tangannya. Tidak bermaksud mengabaikan perutnya yang menagih, ia menutup kembali kotak makannya.
"CEBOL!"
Suara bass cowok itu berhasil membuat Milka terbelalak. Melirik penuh dramatis menuju sumber suara. Seorang cowok berambut cokelat sedang berdiri di ujung taman dengan kedua kaki yang terbuka lebar dan tangan yang berkacak pinggang. Merasa musibah menghampiri, Milka menghela napas berat.
Atharik kenapa lagi, Ya Tuhan?
"Woy! Lo, budeg? Gue tadi panggil lo!"
Milka menggeram. Laksana burung garuda, pandangan matanya menajam menatap cowok yang berdiri di ujung taman itu. Milka berdiri sambil mengepal erat kedua tangannya, menghampiri cowok itu dengan emosi yang ia tahan-tahan.
"Lama banget sih!" semprot Atharik, yang di balas putaran malas kedua bola mata milik Milka. "Udah cebol, budeg, pake lelet lagi!"
"Heh, Arik! Lo bisa gak sih kalau ngomong gak nyakitin perasaan orang? Kalau ngomong tuh di pikir-pikir lagi kenapa!"
"Suka-suka gue! mulut-mulut gue!" Atharik mengangkat dagu tinggi-tinggi dan membelokkan pandangan ke arah lain. "Mau ngomong apa kek itu hak gue!"
Milka memperlambat hembusan napas bersamaan dengan rasa kesal yang ia tahan mati-matian. Andai saja cowok arogan yang ada di hadapannya bukan adik dari pemilik yayasan, mungkin Milka sudah menonjok wajah sok gantengnya itu dengan kepalan tangannya.
Alih-alih meminta maaf, cowok itu justru menatap Milka dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kenapa diem? Ngomong, kek!"
"Lo, maunya apa sih? Suka-suka gue! mulut-mulut gue."
Seketika rona merah memenuhi pipi putih milik Atharik. Dengan urat yang timbul di pelipisnya, Atharik kembali menyemprot gadis yang ada di hadapannya itu. "Dasar plagiat! Lo copas kata-kata gue barusan!"
"Emangnya kata-kata ada copyright-nya?"
"Ada!" sergah Atharik. "Khusus buat gue semua ada copyright-nya. Termasuk jidat lo!"
Milka mengernyit. Membatin "amit-amit" sebanyak mungkin sambil menatap cowok aneh di hadapannya.
"Dasar cebol!" sambungnya sarkas.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHLAS
Teen FictionMemiliki ciri fisik yang berbeda dari kedua kembaran lainnya, Athlas Naluna Megantara, merasa bahwa dirinya bukanlah anak dari Nakula dan Aluna, di tambah lagi sikap Nakula yang selalu seenaknya dan membedakannya dengan Athalan dan Athilla membuat A...