Bagian 3

41 2 0
                                    

"Huh, leganya."

Sekarang aku sudah berada di Indonesia. Kembali menikmati suasana yang sudah lama tidak aku rasakan. Sejak lahir hingga menamatkan pendidikan di salah satu kampus di Padang, aku langsung pergi ke Thailand untuk mencoba peruntungan. Merantau sudah menjadi kebiasaan kami orang Minangkabau. Apalagi Ibuku sudah tidak bersama kami lagi saat aku belum mengenal hidup. Masa kanak-kanak kuhabiskan bersama ayah. Ayah dan seorang adik laki-laki yang saat ini di sekolah menengah atas. Seharusnya sekarang ia kelas dua SMA. Kalau tidak salah. Karena sudah dua tahun aku meninggalkan mereka.

Seperti sebelumnya, belum ada sesuatu yang membuatku bangga untuk mengatakan "Ayah, aku sudah berhasil." Hanya menjadi beban bagiku selama ini. Bukan hanya beban dari segi material tapi menjadi beban pikiran yang memberatkan pikiran setiap saat. Memikirkan anaknya yang sampai saat ini belum mendapatkan pekerjaan. Barangkali setiap hari ia selalu mendoakan anak malangnya itu. Dan aku tahu itu.

Sekarang aku di sini. Bandara Internasional Minangkabau. Diluar sudah menunggu adikku yang baru saja aku ceritakan. Wajahnya masih tampak sama. Tapi dengan rambut yang sudah sedikit panjang sekarang. Mungkin ia mengikuti beberapa temannya yang demikian. Karena ia begitu polos sejak pertama kali aku tinggalkan.

Aku mendekati Harun. Ia masih saja berdiri di sana. Memandangku dengan pandangan panjang. Entah apa yang ada dibenaknya dan entah apa pula yang telah ia lalui. Tentu saja aku tidak mengetahui. Kuturunkan pandangan saat ia memandangku. Tak ingin rasanya aku mengetahui isi hatinya. Atau bahkan aku tidak sanggup.

"Sehat kamu, bang?" tanya Harun. Meskipun kami orang Minang, tetapi ia masih saja memanggilku Abang, bukannya Uda. Aku dipanggil Uda hanya oleh beberapa saudara saja.

"Alhamdulillah, sehat. Kamu?"

"Sehat juga."

Matanya memerah. Bibirnya yang semula terlihat cekung memperlihat senyum kebahagiaan, seketika menjadi bergetar. Memperlihat sisi lemahnya yang sudah lama tidak bertemu dengan Abangnya. Mata merah itu diikuti oleh air mata yang mulai merembes. Bibirnya yang bergetar membuatku tak sanggup untuk berdiri saja. Langsung saja kupeluk Harun.

Mataku sedikit terasa panas. Menahan rasa rindu yang sudah tak tertahankan.

"Kamu laki-laki, bukan?"

"Alhamdulillah, aku belum ganti kelamin."

"Masih saja menjawab pertanyaan Abangmu ini."

"Kamu bertanya, kan?"

"Soalnya kamu menangis, jadi aku tanya."

Harun memelukku semakin erat. "Memangnya laki-laki tidak boleh nangis?"

"Tentu saja tidak," kataku. Tercurahkan sudah rasa rinduku padanya. "Bapak mana?"

Kini ia melepaskan pelukannya. "Bapak di tempat parkir. Ia tidak mau masuk."

"Kenapa?"

"Katanya lantaInya licin. Takut jatuh."

Aku segera pergi ke lapangan parkir. Ingin cepat-cepat melihat wajah bapak. Sudah sangat lama bukan? Entah seperti apa wajahnya sekarang. Apakah keriput di wajahnya terlihat seperti dulu. Berpilin-pilin sepanjang garis wajah yang terlihat jernih.

Harun mengikutiku dari belakang. Ia membawakan barang-barangku yang tidak terlalu banyak. Menurutku. Palingan dua buah koper dan sebuah tas kecil.

"Bang, besok kalau pulang barangnya di tambah lagi. Terlalu sedikit," ia terlihat sulit membawa dua koper itu. Terlebuh lagi sebuah tas yang ia kalungkan di leher. Sedangkan kedua tangannya menarik koper.

I'll BeWhere stories live. Discover now