Senja Yang Terus Menggantung

195 12 5
                                    

Dan akhirnya hal itu terjadi juga. Sesuatu yang sangat dikhawatirkan namun cepat atau lambat pasti akan terjadi. Kehidupan memiliki alur dan lika liku yang siapapun manusianya tidak akan mengetahui. Tak selamanya akan terisi dengan hal-hal manis dan romantis. Namun juga butuh bumbu kesedihan dan konflik permasalahan sebagai penyeimbang ketetapan Sang Pencipta.

Hari demi hari terasa senja. Jam terus berputar mengikuti poros yang telah terlekat, menunjukkan pukul yang terus berganti. Namun hari tetap senja. Ya, senja. Orange kejinggahan ditahan kelabu yang menggumpal. Gelap, gelap sekali. Berulang kali terseka buliran yang kian terbendung tanpa sadar. Berharap senja berlalu oleh gelap dan seketika tergantikan dengan terpahan mentari pagi. Namun nyatanya senja masih enggan pergi dari ufuk itu.

Cerita dan kisah yang setiap harinya penuh dengan keceriaan dan tawa kedua insan muda itu, kini senyap. Sepi tertelan oleh kata yang terucap. Kian hari kian dalam, kian sepi dan senyap. Namun untuk mengatakan "hilang"' tidak akan pernah terpikir, walaupun relung telah tergores dengan keetidaksopanan yang pergi tanpa izin.

"PERGILAH" kata yang terus muncul dan menghantui pikiran Elsa. Berharap seolah mimpi disiang bolong yang terkagetkan akan petir hujan badai. Namun tidak, tidak. "Itu nyata Elsa" kembali Elsa menyakinkan diri. Jatuh hati yang telah menghabiskan daya. Kehilangan malaikat yang tak bersayap, tak rupawan, namun cemerlang dalam impian yang sempurna.

Ntah apa yang membuat lelaki itu mengucapkan kata penyayat luka yang sebegitu dalam tanpa alasan. Memilih bungkam dan tak memberi maksud yang jelas. Seolah maksud yang ia kehendaki akan terjelaskan nantinya saat waktu benar-benar sesuai. Seketika lidah membeku dengan tatapan kosong yang berisi genangan hujan yang menggantung dikantung mata Elsa setelah kata demi kata teresapi. Tak percaya apa yang telah ia baca namun itulah adanya, "Pergilah".

Pelangi terlihat sama, senja. Orange memenuhi langit walau gerimis telah mengundang ketujuh warna indah itu. Seolah paham akan keadaan yang tak seperti biasanya. Khawatir dan berempati dengan dongeng yang tak lagi sama saat dipertunjukkan oleh kedua insan itu kepada alam.

Angin ikut berbisik menghembus lembut hijab yang terkulai panjang itu, ingin menemani dan ikut bercerita pada gadis yang kali ini senyuman itu tampak hambar meskipun melintang penuh, menegur diamnya untuk tidak menyembunyikan wajah manis itu dibalik lengan tangannya yang terlipat. Lalu pergi saat senja itu belum menegur, karena sebenarnya saat ini selalu senja dan senja, buram. Alam yang mengetahui keadaan berbeda itu kian lama semakin mengerti apa yang sebenarnya diharapkan oleh gadis itu. Berharap keajaiban datang, berharap penjelasan terucap, berharap lisan meneguhkan hati, berharap ia disini, dan berharap semua baik-baik saja.

Berbalik pada lelaki itu, ntah apa yang saat ini dipikirkannya. Kekacauan juga menimpa hati dan pikiran. Tak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan. Kata telah terucap, hati telah berserak. Maksud tak kunjung tersampaikan. Mengetahui dan menyadari kesalahan yang ia lakukan, mengetahui keadaan yang membutuhkan kejelasan akan perubahan ini namun lagi lagi ia takut kembali salah akan kata yang akan terucap. Memilih untuk membisu sementara, dan berharap Elsa bersabar dalam keadaan yang kian membungkam hari semakin sepi dan bisu.

Ramai yang terlihat oleh mata kian lenyap akan hambarnya rasa. Serasa bumbu yang sengaja tak diberi pada sarapan pagi tadi. Asyik mengikuti alunan rengekan hati yang selalu menggebu akan ketidakberdayaan. Menghitung hari, detik demi detik hingga masa nanti yang akan berakhir. Bukan puitis yang akan diukir secara sengaja, namun keadaan yang apa adanya dan benar benar sendiri.

Kesunyian yang menggoda kian menjadi-jadi dengan memainkan rekaman-rekaman indah didalam pikiran, jelas terlihat dihadapan mata. Hujan membasahi bumi mengiringi tawa yang tercipta, bermain seolah hujan hanya diturunkan atas dasar permintaan mereka, suara lembut yang mengalun menyanyikan senandung lagu, dan ekspresi wajah memperlihatkan kejengkelan atas tingkah yang menggoda. Semua terputar dengan sendirinya, menambah senja semakin jingga. Semua tentang kebersamaan yang semakin hari semakin nyaman.

Kini semua telah berubah, tergantikan oleh kisah yang baru. Kisah yang senja dan kelabu menjadi satu. Berbaur dan melebur dengan kehambaran. Ya, titik itu pasti akan tiba. Putih akan bertemu dengan pasangannya si hitam, begitu juga siang yang akan tergantikan oleh malam sebagai tetapan Illahi.

Tak terkecuali dongeng yang telah disusun matang oleh kedua pemuda ini, Faudzan dan Elsa. Kisah sempurna yang mereka harapkan tidak akan lebih indah dan sempurna tanpa sentuhan yang Maha Kuasa. Dengan menabur bumbu bumbu yang diserahkan pada-Nya, kisah sempurna akan terasa sempurna bukan karena cerita indah nan serba mewah, namun dengan memahami dan menerima kekurangan akan terasa kesempurnaan pada kisah yang telah ditulis sebagai takdir mereka berdua.

Kini telah terdengar langkah langkah menjauh, memudar tanpa jejak dan menghilang. Ntah sampai kapan waktu mengakhiri, berharap hati bersabar akan penantian.

𝛂 𝛂 𝛂

Langkah itu terus menapaki jalan setapak yang sedikit diselimuti oleh keringnya dedaunan, jatuh secara bersamaan dengan jumlah tak sedikit. Menambah manisnya tiap-tiap adegan dalam skenario yang Maha Kuasa. Dengan senyuman hambar itu, kini langkah terhentikan pada tempat yang tak asing. Suatu tempat yang biasa Faudzan dan Elsa menghabiskan waktu hingga senja menegur. Dikelilingi pohon rindang yang ikut terbuai akan kenyamanan suasana itu. Pandangan tanpa harap ia disana sudah pasti terjelaskan. Tersenyum seolah menunjukkan pada alam bahwa ia baik-baik saja, meski tanpa disadari telah mengalir hujan dipipi itu. Buru-buru Elsa menyeka, enggan terlihat pada kuntum yang akan merekah dihadapannya. Mengeluarkan secarik kertas dalam ransel yang ia bawa, serta beberapa makanan ringan yang biasa menjadi cemilan mereka. namun kali ini Elsa harus menghabiskan itu semua sendiri. Ingin rasanya melayangkan pesan singkat agar Faudzan datang ke tempat itu namun hati tak sanggup menerima balasan penolakan. Berdiam menunggu takdir Illahi mungkin akan menjadi yang terbaik.

Menulis sajak dan cerita singkat yang pernah direncanakan Faudzan dan Elsa kini terus dilanjutkannya meskipun penulis menjadi tunggal. Tinta terus bergerak mengikuti jari-jemari yang kian merangkum kata-kata indah. Berlanjut tanpa editan yang kian dibuat-buat, pasih dan nyata akan suasana yang ada. Sejenak ujung tinta terhenti dan membentuk coretan tak beraturan. Terjatuh bergelinding menuju sudut meja. Angin itu memahami dan menghembuskan sejuknya ia di siang ini. Menghentikan Elsa sejenak untuk menikmati pertunjukan angin. Menyentuh wajah Elsa yang sedikit memutih akan ketidakberdayaan tubuhnya yang sedang tidak baik. Melambaikan ujung hijabnya yang terkulai indah. Seolah membisikkan bahwa ini akan baik-baik saja, nikmati prosesnya maka akan kau dapat hasil yang tiada kau sangka lebih dari indah.

Elsa mengangguk pelan dengan senyuman tipisnya yang tak seindah biasa. Mengambil tinta yang jauh menggelinding hingga kesudut meja. Kembali dituliskannya sajak indah itu yang menjadi impian Faudzan dan Elsa untuk menjadi seorang penulis, minimal untuk diri mereka masing-masing. Elsa memang dalam kondisi yang tidak baik, sakit telah melemahkan tubuhnya untuk berpura-pura hati sedang baik. Kini tak terbendung, mata itu kembali berkaca-kaca saat kalimat terakhir menyentuh keadaan tawa dan bahagia yang saat itu menghampiri keduannya. Awalnya hanya setetes air yang jatuh, namun hujan membantu meredamkan itu semua. Angin bertiup memanggil rinai untuk segera datang. Dan tepat saja, hujan datang dengan derasnya yang sedari tadi telah menggumpal dibalik kelabunya awan yang menghitam. Membentuk rinai yang tanpa spasi dan jarak. Hujan mempersilahkan Elsa untuk ikut manurunkan hujannya tanpa harus berpikir akan ada seseorang yang melihat. Memahami itu semua, kedua tangan itu membungkam bibir yang menahan isakan kesedihan untuk tidak terdengar. Walaupun sebenarnya sekuat apapun ia menjerit saat ini, tiada yang akan mendengar karena teralihkan oleh merdunya rinai berjatuhan dengan ikhlasnya.

Membiarkan bulir yang jatuh dari pipi itu menuju secarik kertas yang sedari tadi Elsa isi dengan sajak maupun cerita yang menjadi impian Faudzan dan Elsa. Keadaan dan kondisi yang sama telah tergambar jelas dan sangat jelas di hadapan mata bersama Faudzan. Hujan deras yang kemarin disini, ditempat ini. Dihias tawa, bermandikan air yang turun dari langit. Membasahi seluruh yang ada di bumi termasuk hati yang kian terbuka untuk kembali mengukir. Berjalan dan melangkah pada tujuan yang sama dengan tawa yang selalu menghias. Enggan pergi. Menetap hingga terlekat tanpa spasi. Kini kembali hujan itu menghampiri, namun dalam kondisi yang berbeda. Dimana Faudzan ? dimana tawa itu ? daun kembali berbisik saat satu sama lain saling bersentuh dihembus angin.

Kini parodi film itu terus terputar dihadapannya. Manayangkan adegan-adegan yang membuat mata memilih untuk bersembunyi pada lipatan lengan diatas meja. Hujan tak kunjung pergi, semakin banyak film yang terputar hingga menyeret pada awal pertemuan Elsa dengan Faudzan.

"Yang Katanya" HEART OF THE ONE FREQUENCYWhere stories live. Discover now