18. The Past

3.9K 322 38
                                    

“Me..nikah?” Hinata mengernyitkan keningnya. Ia memandang serius pada pria paruh baya didepannya. “A..aku tidak-,”

“Jika kau menolak, aku tidak tahu bagaimana nasibmu ke depannya. Siapa yang akan menanggung biaya hidupmu?” Hinata tersentak. Ia tidak mengalihkan pandangannya kepada sumber suara yang tiba tiba memotong kalimatnya tetapi justru memilih untuk menundukkan kepala. Hinata tahu jika wanita itu tidak menginginkan kehadiran Hinata.

"Sampai kapan kau hidup disini?”

“Hana!” Pria paruh baya itu setengah berteriak pada istrinya. Itu terlalu keterlaluan lagipula Hinata adalah ponakannya sendiri. “A..aku akan memikirkannya paman.” Hinata menggigit bibirnya sendiri setengah tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya. Matanya kini terlapisi lapisan kristal bening yang telah siap untuk meluncur.

“Permisi paman.” katanya setengah mati menahan agar suaranya tidak terdengar menyedihkan. Hinata meninggalkan ruangan itu. Melewati wanita yang ia panggil sebagai bibi tanpa melihat padanya.

“Sampai kapan anak itu akan berada di rumah kita?! Kau pikir ini tempat penampungan?"

Suara itu terdengar jelas pada gendang telinganya. Ia segera memasuki kamar kecil di dekat dapur. Sebelum Hinata menempatinya, kamar ini dulunya adalah gudang,  bahkan beberapa barang lama masih berada di sana bersampingan dengan barang-barang Hinata.

Hinata menutup pintunya rapat. Ia mengusap air matanya yang hendak jatuh.

"Papa~" Hinata meringis. Ia menepuk tangannya tiga kali lalu memejamkan matanya. Dulu, Hinata berdoa kepada ibunya. Namun setelah kepergian ayahnya, ia lebih sering berdoa kepada ayahnya.

Paman Hinata yang menawari untuk tinggal bersamanya. Awalnya semuanya baik baik saja, bibinya menyambutnya dengan baik.

Hanya waktu yang bisa menguji seseorang. Hinata meyakini itu. Bibinya mulai menyindirnya bahkan hari ini ia mendengar perkataan itu secara langsung.

Hinata tidak bisa memasak, ia tidak bisa mengurus rumah. Segala kebutuhannya selalu dicukupi ayahnya. Tetapi dirumah pamannya, ia harus bisa melakukan segala hal. Ia bahkan memindahkan besi besi besar saat membersihkan gudang.

"Roda kehidupan selalu berputar."

Itu sindiran pertama yang pernah ia terima saat Hizashi membahas tentang keberhasilan ayah Hinata. Dan Hinata menyetujuinya, ia berusaha tersenyum dan mengangguk.

"Anda benar."

Hinata baru saja selesai berdoa. Pipinya basah tanpa ia ingat kapan ia mulai menangis. Lalu suara gemericing alat alat dapur mulai bersuara. Suara seperti seseorang sengaja melempar panci ke atas kompor, atau memotong sayuran seperti akan memotong talenan. Hinata mengeluarkan sapu tangannya, ia mengeringkan air matanya lalu berusaha tersenyum. Ia bergegas menuju dapur, tempo hari sebelum Hinata belajar memasak bibinya mengatakan pada anaknya.

"Kau pikir aku pembantu ? Jika kau tidak membantuku maka kau tidak boleh makan."

Hinata mengerti apa yang dimaksud dari kata itu. Namun ia berlaku seolah tidak mendengar apapun. Ia berusaha untuk tersenyum dan menyalahkan dirinya sendiri yang tidak banyak membantu.

"Ku beritahu."

Wanita itu memulai lagi. Hinata ingin menutup telinganya.

"Kau hidup sebatang kara. Lalu ada yang ingin menikah denganmu. Kenapa kau tidak segera menerima pernikahan itu?"

"Dia orang kaya. Kau pikir kau bisa lebih baik selain menjadi istri seorang kaya?"

"A..aku belum siap." Hinata segera mengusap air matanya sembarang.

Not A Perfect WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang