5 - Jurnal Papa

6.6K 902 39
                                    

Seminggu sudah sejak Papa meninggal, Mama makin susah makan, dan atmosfer kesedihan seolah enggan pergi dari rumah.

Bukan artinya gue pengen ketawa-ketiwi saat baru saja kehilangan seorang sosok Papa. Cuma, Papa pernah bilang ke gue kalau orang pergi itu gak minta dicari, gak minta ditangisin, hanya ingin diikhlaskan.

Dan, yak.
Gue ikhlas, gue sepenuhnya ikhlas Papa pergi. Gue tahu rencana Tuhan selalu yang terbaik. Dan mungkin, pulang ke Alam baka adalah hal terbaik untuk Papa, meskipun bukan yang terbaik untuk kami.

Yaks, Papa... my first hero.
Gue tahu itu. A father is a hero for his son and a first love for his daughter. Jadi yang berat karena kehilangan di sini bukan cuma gue, tapi juga adik gue, dan tentu saja Mama.

Sementara itu, Kakak gue belum membalas lagi pesan gue. Sepertinya gue memang harus menyusulnya ke Hongkong kalau gini caranya.

Kembali ke kerjaan, gue berusaha fokus seratus persen sekalipun pikiran gue terbagi kepada banyak hal.

"Za? Tadi pagi kamu naik grab ya?" Tanya Lika saat gue akan pulang.

"Iya, kenapa?" Gue bertanya balik. Sekarang gue berusaha biasa aja sama Lika, gak musuhin, gak juga terlalu deket. Kaya partner kerja aja.

"Bareng aja yuk pulangnya, mau?" Tawarnya.

"Gak usah, gue mau pesen grab lagi aja." Kata gue. Susah tidur dan gak nafsu makan adalah alasan gue jadi gak berani bawa kendaraan sendiri ke kantor. Ngeri kecelakaan.

Gue lalu pergi ninggalin Lika, turun pakai tangga, sempat menyambar apel yang ada di pertengahan tangga lalu memakannya sambil jalan. Astaga, jangan sampe deh gue drop juga.

Di bawah, gue menunggu abang grab datang, hanya sekitar menunggu 3 menit, grabnya datang, gue langsung minta dianter pulang tanpa basa-basi.

Sampai rumah, suasana masih sepi, Ulfa dan Fira lagi belajar di ruang tengah, TV menyala dengan volume kecil, dan gak terlihat Mama di ruang manapun.

"Mama mana?" Tanya gue sambil menghempaskan diri di sofa.

"Di kamar Bang, hari ini mama gak keluar sama sekali." Jawab Saphira.

"Eh? Terus Ulfa tadi ke sekolah gimana?"

"Aku titip Mbak Yuni, terus aku beres-beres rumah. Abang kalo mau makan, ada sate tuh tadi aku beli." Jawabnya santai.

Mbak Yuni, tentangga yang punya anak seumur Ulfa.

"Yaudah Abang mau mandi, terus nengok Mama yaa, makan mah gampang." Kata gue.

Keduanya mengangguk, jadi gue langsung masuk kamar, ambil handuk dan keluar buat ke kamar mandi. Selesai mandi, sesuai omongan gue tadi, gue ketuk pintu kamar Mama, lalu masuk.

Bisa gue lihat, Mama tertidur, masih sambil memeluk foto Papa dalam pigura. Gue mendekat, lalu duduk di pinggir kasur. Mata Mama terbuka, gue tersenyum kepada cinta pertama gue ini.

"Makan yuk Ma?" Ajak gue.

Mama menggeleng.

"Mama seharian ini gak keluar kamar kata Fira, artinya Mama belum makan dari kemarin sore. Yuk? Mau Eja belin apa?" Tanya gue.

Mama kembali menggeleng.

Gue mengelus rambut Mama yang sudah didominasi warna abu, mama tersenyum lalu menangis.

"Ma, udah dong. Papa gak mau dinangisin terus, udah lewat 7 hari loh Ma."

"Kamu malem ini tidur di sini ya? Temenin Mama?" Mama akhirnya buka suara.

KOMEDI PUTAR ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang