8. Cerita kala senja

44 1 0
                                    

Tris , kamu mau membawa aku kemana ?
Bukankah kita tidak memiliki tempat spesial ?
menikmati malam di bukit bintang jelas tak mungkin, itu terlalu jauh , sementara ijin kita hanya sebentar.
Lalu..apakah kamu akan menciptakan ruang khusus untuk pertemuan kita saat ini ?

Hai Sasi , jangan banyak bermimpi , ini bukan kisah putri dan pangeran, ini pasti hanya kebetulan seperti yang terjadi bertahun lalu,
sejenak bahagia dan kemudian akan hilang.

"Kita mau kemana?"
Tanyaku pelan
"Ada.. liat aja nanti ya, biar ada kejutan."

dan ternyata Tristan membawaku ke Indraloka Cafe & homestay yang hanya 1 kilometer dari rumah kos.
Dulu, Tristan pernah bekerja di sana sebagai marketing. Tugasnya mencari calon pengunjung, dengar- dengar dia menjadi kesayangan bos karena pencapaiannya melampaui target.

Begitu sampai, aku langsung merasa lebih tenang.Bukan karena seorang pemuda mengajakku menghabiskan sore bersama, tapi karena aura sejuk dari pepohonan di depan cafenya.

Kami memilih tempat di bagian teras yang lebih terbuka agar bisa menikmati matahari tenggelam dengan lebih sempurna.

Lintang dan Doni ?
Rupanya Lintang mengajak Doni duduk di dalam, aku tahu sahabatku itu sengaja membiarkanku dan Tristan ngobrol berdua saja.
Untuk membujuk Doni agar tak bergabung dengan kami pastilah cukup sulit, tapi Lintang tak pernah kehabisan akal.

"Tunggu sebentar ya,"
Tristan meninggalkanku duduk sendiri. Ia kemudian masuk ke dalam. Aku khawatir dia mencari Shine, anak pemilik cafe and homestay ini. Kalau benar begitu, rasanya aku ingin pulang saja. Aku tahu, pertemanan Tristan sangat luas. Tapi mengajak Shine untuk bergabung sekarang hanya akan membuatku merasa kecewa.

Saat aku berpikir demikian,
tiba- tiba Tristan muncul. Ia berdiri di tengah teras sembari memainkan saxophone.
Apa maksudnya?
Tristan sengaja menghadiahkan ini untukku?
Tenang Sasi, jangan lekas ge er. Bisa jadi dia hanya iseng bernostalgia dengan salah satu hobbynya di masa lalu.
Yang jelas aku lega karena pikiranku keliru, Shine tidak muncul diantara kami.

Dari tempatku duduk, aku bisa melihat Lintang dan Doni ikut berdiri agar bisa melihat ke arah Tristan yang khusyuk memainkan saxophone nya.
Pengunjung yang lain pun mengarahkan pandangan mereka pada pemuda itu. Hingga beberapa saat ia puas memainkan lagu dan berhenti sembari membungkuk memberi hormat. Aku bertepuk tangan untuk mengapresiasi penampilannya, dan dia pun membalas dengan senyuman.

"Bagaimana ? Bagus tidak ? Ini hobby lamaku. Tadi aku iseng saja ke dalam dan mengecek apakah masih ada saxophone atau tidak. Ga tau nya masih ada, jadi aku mainkan saja."

Ternyata bisikan hatiku untuk tidak mudah Ge er ada benarnya, Tristan memang hanya iseng saja, tidak ada maksud untuk memberi kejutan untukku.

"Bagus."
Jawabku.

"Sasi, aku ingin mulai hal baru mulai detik ini juga."
"Maksudnya?"
tanyaku.

"Ingin lebih banyak bercerita sama kamu."
"Boleh saja. Tapi dimulai darimana ya?"
sejujurnya lidahku sedikit bergetar mengucapkan itu. bisa jadi aku merasa nervous.

"Dimulai dari kesan kamu melihat penampilanku tadi. Masa hanya dibilang bagus saja."
"Kamu narsis , masa minta dipuji puji. Mendingan kita ngobrolin tentang pertemuan kita di masa lalu saja, karena banyak hal yang membuatku kesal , dan kamu harus bertanggungjawab"

Aku tidak percaya bisa seberani itu mengajak Tristan kembali ke masa lalu. Tapi aku memang sangat ingin mencari jawaban, aku ingin kejelasan.

"Baiklah, so.. kebetulan mana yang masih ingin kamu ingat?"

Tristan..
aku masih ingat semuanya.
Saat kamu datang menawarkan tiket konser David Foster , musisi favoritku.
Kamu menghampiri dengan sumringah saat kita bertemu di kantin ,lalu kamu bilang
"Sasi, mau nonton David Foster?"
Aku hampir tersedak mendengar pertanyaanmu. Tentu karena aku pikir kamu akan mengajakku pergi bersama, menikmati karya sang musisi idola.
Toh nyatanya kamu malah berkata lain

"Aku jual tiketnya, kalau mau beli bisa ke aku ya."

Bunga yang merekah dihatiku mendadak layu , aku kecewa karena ternyata kamu hanya menawariku tiket. Tahu tidak? Setelah itu aku membeli dua buah tiket untukku dan untuk Lintang, dan kemudian kita nonton David Foster berdua , bergabung dengan rombongan Doni dan teman-temannya.
Akupun harus melihat kenyataan kamu datang di konser itu juga bersama seorang gadis. Adjeng namanya. Adiknya Doni, adik angkatan paling cantik.

Lalu, aku juga masih ingat saat aku harus menumpang motormu, karena motorku mogok. Yang terjadi malah ditengah jalan motor kamu mogok juga, akhirnya kita duduk di trotoar pinggir jalan menunggu jemputan dari temanmu. Saat menunggu, bukannya mengajakku ngobrol, kamu malah pamit "Sasi.. sasi.. aku ngantuk sekali, aku ijin tidur sebentar" dan kamu benar- benar tertidur. Meninggalkanku bersama nyamuk - nyamuk jalanan. Menemani pertanyaanku: Kenapa pemuda ini masih punya niat memberiku tumpangan. Walaupun mungkin tak semulus harapannya.

"Sasi, kok bengong? Ayo pesan makan saja dulu"
Suara Tristan membangunkanku dari lamunan.Rupanya kenangan masa lalu tadi hanya berani berkecamuk dipikiranku, sementara lidahku masih saja terdiam kaku.
"Ah ya, spaghetti saja dan lemon tea" Jawabku.
Lalu Tristan memanggil waitress dan memesan makanan untuk kami.

"Sasi.. aku tahu kamu kecewa karena aku tidak membalas email mu. Warsawa terlalu sulit untuk ditaklukkan. Aku seperti kapal yang kehilangan nahkoda. Terombang ambing, beradu marah dengan deburan ombak. "

Iya Tristan, aku sudah bisa menebak, tapi bukan itu yang ingin aku bicarakan. Aku lebih ingin tahu tentang sejarah kenapa kita harus berkirim email kala itu? Bukankah teman biasa tidak perlu begitu?

"Sas, gimana sudah seperti pujangga belum kalimatku? Hehe"
mengesalkan! Tristan malah bercanda.
Aku hanya membalas dengan ekspresi cemberut.

"Maaf.. jangan marah."
"Tidak kok."
"Aku lanjut lagi ya."
"Baiklah"
"Aku beberapa kali gagal membangun bisnis fotografi bersama Leo, sahabatku. Kamu tau kan? Banyak orang yang butuh menarik diri, butuh diam saat berada dibawah?"

Aku mengangguk.Mengiyakan.

"Jadi, aku memilih menunggu waktu yang tepat untuk bisa bercerita sama kamu. Sampai akhirnya aku dikontrak sebuah majalah, dan ditugaskan untuk menjadi fotografer di rubrik travelling. Di Indonesia."

Aku bisa melihat mata Tristan berbinar cerah. Ia pasti sangat senang mendapat kesempatan itu.

"Lalu?" tanyaku.
"Lalu kamu harus menemaniku hunting foto, mulai besok sampai beberapa minggu ke depan."

Aku senang mendengar ajakannya.
"Tapi.. aku tidak tahu apa- apa tentang fotografi. Aku takut hanya merepotkan."
Oh tidak, jawabanku bukanlah jawaban yang optimis. Aku sendiri juga kesal mendengarnya. Kenapa tidak aku iyakan saja ajakan Tristan?

"Yasudah, nanti sambil menemani sambil aku ajarkan tentang foto ya. "
Rupanya Tristan benar-benar ingin aku menemaninya.

Aku pun mengangguk sambil tersenyum.
Tristan membalas senyumanku, bisa aku lihat sorot kebahagiaan di wajahnya. Aku senang bisa menjadi bagian dari kecerahannya hari ini.

Rasa ingin tahu tentang masa lalu pun sejenak hilang, berganti dengan harapan baru bahwa akan ada persahabatan yang seru antara aku dan Tristan.
Dari meja sebelah kudengar suara biola mengalun merdu menyambut tamu- tamu yang hadir.
Lalu aku dan Tristan sama -sama mengarahkan pandang ke langit luar. Cahaya matahari mulai terpecah, bersiap ditenggelamkan waktu.

Senja kali ini begitu indah, begitu berbeda, karena akan ada sebuh cerita baru. Antara aku dan Tristan.

Kira-kira bagaimana ya serunya hunting foro bersama Tristan? Tunggu bagian selanjutnya ya
Terimakasih.❤️❤️❤️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang