Jika ada pertemuan, dialog, dan hubungan yang rutin namun tanpa perencanaan maka itulah yang terjadi antara aku dan Sasi. Pertama aku melihatnya di selasar kampus dan langsung terpikat olehnya. Jatuh hati.
Saat itu ia tengah berdiri di depan stall coffee milik himpunan mahasiswa, ia sedang mengarahkan teman setimnya. Rupanya Ia seorang leader tim wirausaha yang berhasil menjadikan usaha berjualan kopi Nusantara menjadi peraup omzet nomor satu di kampus.
Mataku tak bisa beralih saat mendapati gadis itu bertutur dengan wajahnya yang selalu berseri. Hijab yang membalut kepalanya sangat serasi dengan outer bohemian bernuansa oranye yang ia kenakan.
"Sasi, kalau butuh stok kopi aku bisa usahakan kopi dari Aceh. Di sini belum ada kan ?"
Aku sengaja membuka topik agar bisa dekat dengannya. Sayangnya jawabannya mengecewakan." Thanks Tristan, kopi aceh sudah ada supplier yang menawarkan. Salah satu teman kita juga. "
Modusku untuk mendekatinya dengan pura-pura menjadi supplier pun kalah sebelum perang.
Tapi beruntungnya, alam membantu pemuda yang sedang jatuh cinta ini. Setelah percakapan pertama itu kami sering bertemu secara kebetulan." Tristan.." Sapanya saat melihatku bersama teman-temanku di salah satu resto unik House of Raminten di kawasan Kotabaru Yogyakarta. Kami saling melempar senyum, lalu sempat mengobrol saat antri bayar di kasir.
"Sama siapa kesini ?" Tanyanya.
" Ada tamu dari Belanda, kebetulan nginep di homestay tempat aku part time, biasalah sekalian jadi guide." Jawabku.
"Menarik ya kerjaan part time kamu, beda dari yang lain. Biasanya mahasiswa kerja di restoran pizza, toko oleh –oleh atau di tempat futsal. "
Aku tersenyum sambil menaikkan alis seolah mengiyakan pujian Sasi.
Setelah percakapan singkat itu, kami berpisah dan akupun iseng mengirim email berisi Link jadwal Cabaret Show di Oyot Gidhing Café yang pemiliknya tak lain juga pemilik House of Raminten."Barangkali tertarik juga" pesanku.
Bisa kubayangkan Sasi tersenyum saat membaca email dariku. Dan saat itulah aku merasa ada sesuatu yang menghubungkan kita berdua.**
Seminggu berlalu, kami bertemu lagi saat Sabtu malam, dimana para mahasiswa bisa ditebak kemana arahnya. Kalau ga futsal, jalan – jalan ke mall, makan di angkringan rame- rame atau nonton.
"Mau nonton apa Sas?"
Aku tiba-tiba muncul di sebelah Sasi yang tengah membeli popcorn . Lagi-lagi tanpa sengaja kita bertemu di cinema XXI. Entah selera kita sama, atau Yogya yang terlalu sempit sampai kemana - mana ketemu orang yang sama.
"Hei... mau nonton Twilight. Kamu? Nonton twilight juga?"
"Enggaklah... preman masa nonton Twilight."
"Emangnya kamu mau nonton apa?"
"Madagaskar."
"Yeelaah.. preman kok nonton Madagaskar." Apa saja yang keluar dari mulut Sasi selalu membuatku berdebar, tersipu khas anak muda yang jatuh cinta.
Sasi permisi pergi, dan beberapa menit kemudian dia mengirim email berisi daftar film yang akan release tahun depan.
"Mungkin bisa jadi referensi" tulisnya.
Aku sudah pernah membaca daftar tersebut, tapi aku tetap senang mendapat perhatian Sasi. Lagi-lagi aku merasa terhubung.Kebetulan selanjutnya, mungkin sedikit disengaja.
"Sas, lagi dimana?" Aku sengaja meneleponnya.
" Di Toko tas Elizabeth, jalan Solo. Kenapa? " Aku terdiam beberapa detik. Ga percaya, karena saat itu aku tengah melipir di pedagang mie ayam persis di depan Toko Elizabeth.
"Mau nonton film ga?" Tanyaku
"Ga bisa Tris, maaf"
"Tapi, aku boleh samperin? Deket nih."
"Boleh."Dan ternyata setelah aku menemukannya di toko Elizabeth, dia sedang berbelanja bersama keluarganya. Mau tak mau sebagai teman yang sopan aku harus berkenalan dengan Ayah dan ibunya. Aku bisa merasakan kehangatan dan keharmonisan di keluarga mereka.
Alam tak kunjung bosan mempertemukan kita, bahkan yang selanjutnya terjadi terasa lebih mengena di hati kita masing-masing. Tak perlu duduk berdua di café layaknya muda mudi kasmaran, cukup dengan kebetulan yang bisa terjadi dimana saja. Bahkan aku mulai banyak mengutarakan tentang hobi fotografiku, tentang kesukaanku mengendarai motor dimalam hari bersama teman - teman club, dan lebih pentingnya aku menceritakan tentang keluargaku.
Seperti sore itu saat kami sama – sama terjebak hujan di parkiran motor kampus.
"Keluargaku terdiri dari tiga tim. Timku dan ayah yang saling support, tim ibu yang suka menuntut dan tim Abiyasa yang hanya bisa pasrah."
Ujarku padanya ditemani suara hujan yang lumayan lebat.
" Maksudnya ada geng gitu di sebuah keluarga. Itu konyol banget Tristan."
Sasi menatapku dengan serius sembari menekankan kalimatnya.
" Tuhan nyiptain manusia lewat proses yang ajaib, diawali dengan pernikahan sepasang kekasih, lalu lahirlah anak- anak dari rahim seorang Ibu dan terbentuklah sebuah keluarga. Kita bisa saling kompak dan menyayangi satu sama lain. Harusnya kita bisa memaknai prose situ. " Lanjutnya.
" Oiya? Menurut kamu, gimana cara kita memaknainya ?" Tanyaku.
"Dengan bersyukur, karena terlahir dari rahim ibu dan akan hidup dalam sebuah keluarga. Kita bisa saling kompak dan menyayangi satu sama lain. Ga perlu ada geng. Manusia ga perlu susah – susah cari tempat berlindung karena mereka punya keluarga. "
"Hm..sehebat itu ya sebuah keluarga menurut kamu?"
"Tentu. Bayangin aja kalau keluarga itu ga perlu ada, manusia ga perlu lahir dari rahim Ibu, tapi bisa jatuh dari langit seperti Mr.Bean atau muncul dari batu kayak Sun Go Kong. Artinya, tiap manusia akan sebatang kara. Menyedihkan"
" Ahaha...." Kami tertawa bersama. Tawa Sasi begitu lepas, sementara aku tertawa sambil memikirkan ucapan Sasi.
" Jadi, konyol ya kalau ada geng di sebuah keluarga? " Tanyaku lagi.
" Hm.. pikir aja sendiri. Udah ah, hujannya sudah reda. Aku dulun ya. Assalamualaikum. "

KAMU SEDANG MEMBACA
Moon
RomanceBagi Tristan semua yang ada di lingkungannya hanyalah kepalsuan. Ia benci saat orang - orang berpura - pura baik padanya bukan karena tulus namun karena ada udang di balik batu. Ia kecewa dengan keluarganya yang manis di luar namun sebenarnya sudah...