Phana membereskan buku-buku yang akan dibawa untuk bahan materi diajarkan pagi ini.
Didepan cermin, Phana meluruskan dasinya agar terlihat lebih rapih.
Oke Pha, kau siap!
Setelah Pha beristirahat cukup. Pha dengan mood yang baik pagi ini, siap memberikan ilmu pasti bagi muridnya.
Pha masuk kedalam kelas, ada sekitar 24 murid disana. Sunyi, sepi itu aura yang diterima Pha.
Maklum saja murid dikelas khusus ini adalah tuna rungu, tidak dapat mendengar dan juga tidak dapat berbicara.
Hari ini kelas seni, kelas menggambar.
Pha membawa objek untuk mereka lukis, yang Pha bawa di kamarnya, vas bunga dengan satu tangkai bunga matahari.
Pas!
Dengan gerakan bahasa isyarat, Pha berkata, "Anak-anak, hari ini ke-las se-ni, gambar ini yang a-da di-depan ka-lian."
Anak-anak disana mulai menggambar, Pha sebagai guru turut mengawasi kegiatan mereka.
Pha berjalan mengitari kelas, dari deretan mulai sebelah kiri yang dia ambil sampai ke deretan kedua, sampai ke deretan ketiga,
Pandangan mata Phana tertuju pada satu anak, dengan apik anak itu dengan gerakan alih jemarinya, dia seakan bebas mengekspresikan dirinya kedalam sebuah kertas, anak itu menggambar dengan hasil yang menakjubkan,
Hasil lukisannya seperti duplikat, seperti cerminan kaca dengan objek yang berada didepannya, dengan bias warna yang dia berikan ke objek tersebut, menampakkan keaslian dan tampak sangat bagus.
Pha terpana disana, dia puas akan gambaran yang tercipta dari tangan anak remaja.
Pha kagum.
Pha menepuk tangan anak remaja tadi, dia menoleh ke arah Pha dengan wajah datar,
Pha membuat pergerakan tangan dengan menggunakan bahasa isyarat,
"Ka-mu sangat berbakat da-lam me-lukis, a-ku bangga pa-damu." begitu bahasa isyarat Pha untuk si anak remaja tadi, tanpa membalas dengan senyuman atau anggukan, dia kembali fokus pada lembaran kertasnya.
Pha hanya memasang wajah kecut dengan senyuman disungging.
Pha kembali berdiri, ada satu hal yang menarik, ada satu bangku kosong disebelah si anak remaja tadi.
Siapa yang membolos hari ini?
Lalu Pha kembali menepuk si anak polos yang jago menggambar tadi, "A-pakah ka-mu tahu, ke-mana perginya te-manmu?" Pha memberikan gerakan isyarat dan menunjuk ke bangku yang kosong tadi.
Mata si anak tadi membelalak, dia tiba-tiba resah dalam duduknya, dia menelan ludah, dia seperti menyimpan sesuatu yang dia ketahui.
Pha penasaran.
"A-da apa? Jangan ta-kut, aku ha-nya bertanya." gerakan tangan Pha,
Malahan anehnya, si anak tadi mengenggam keras pensil yang ada ditangannya, dia menahan amarah dan ketakutan sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
Pha menepuk lagi, "Wa-yo tidak apa-apa aku ti-dak marah, boleh-kah aku tahu si-apa na-ma teman sebang-ku mu?" tanya Pha dengan bahasa isyarat.
Wayo menganggkuk, tidak lagi memasang wajah datar seperti sebelumnya,
Dia menaruh pensil itu diatas kertas gambarnya, dia memiringkan tubuhnya, menghadap penuh ke depan gurunya,
Wayo menggunakan gerakan tangan dengan wajah polos dan pucat, "Teman-ku bernama Jonathan, bi-asa di-panggil Jo." begitu kata Wayo.
"Baik-lah. Teri-ma ka-sih." Wayo kembali menatap lukisannya, mulai beraksi kembali dengan alat tulisnya.
Sedangkan Phana kembali berdiri didepan kelas, sambil memandang ke segala arah kelas.
*****
-Ruang Guru-
Seorang Guru pria dia seperti kesetanan. Meluapkan seluruh emosinya, kekesalannya pada satu anak disana.
Dia menampar, dia memukul, dia menampar lalu dia memukul lagi.
Sesekali menendangnya, menghantamnya, bertubi-tubi tanpa ada celah untuk si anak bernafas.
Padahal saat itu ada tiga guru yang lain disana, seakan telinga mereka pun tuli. Seakan mata mereka pun buta, membiarkan saja kejadian dihadapannya,
Seperti setuju dan mendukung aksi guru yang menghajar habis-habisan muridnya.
Entah salah apa? Sampai sang Guru berani berlaku seperti itu, apa kesalahan muridnya sampai dia pantas mendapatkan kekejian, kesakitan yang luar biasa di sekujur tubuhnya, wajahnya saja tidak terlihat dengan jelas bentuknya, banyak lebam di sisi pipi kanan dan kirinya. Belum juga darah yang bercucuran diujung lubang hidung dan menetes di sudut bibirnya.
Seandainya dia dapat berbicara mungkin dia akan teriak meminta tolong, seandainya saja. Yang dia bisa hanya teriakan dengan suara melengking padam, berwajah datar ke arah wajah guru tadi.
Dia sekarang membanting tubuh rapuh itu menubruk lemari yang terletak menempel didinding ruang guru.
Tubuh murid itu ambruk.
Tidak puas dengan yang barusan, tubuh rapuh itu dilemparnya, dengan hempasan keras, terdengar benturan keras disana, suara gaduh.
Guru tadi menginjak kepala anak itu, diinjak! Diinjak! Ditendang perutnya, ditendang lagi kedua kaki itu, sekarang beralih ke tangannya, ditendang! Ditendang!
Air mata si anak tadi jatuh, menetes. Membasahi kedua pipi yang tidak bersalah itu.
Dia gemetaran, dia menutup kedua wajahnya dengan kedua tangannya, dia sudah tidak sanggup, dia ketakutan.
Tetapi wajahnya terukir dengan jelas, bahwa dia tidak merada bersalah, saat ini bukanlah kesalahannya.
Guru tadi dengan gemas, dia masih menggertak, wajahnya mengeras, dia seperti tidak menerima apa yang sudah dilakukan si anak kecil tadi, dia benar-benar kesal,
Satu-satunya pelampiasan yang tepat adalah satu anak laki-laki yang didepannya.
Guru tadi berjinjit dengan satu kaki bokongnya tertopang, dia sedikit berjongkok tapi tidak berlutut,
Guru itu menarik kerah seragam anak yang sudah menjadikannya korban,
"Sudah aku bilang bukan, jangan macam-macam denganku!"
"Haha, Aku jadi seperti dirimu, BODOH! Sudah tahu kau tidak bisa mendengar!"
"Terbukalah denganku." senyum miris, senyum kesetanan, senyum mengintimidasi lawannya, lawan yang sebenarnya tidak sesuai dengan umur, postur tubuh mereka. Mereka tidak seimbang, berat sebelah. Sudah pasti yang dewasa yang menang banyak.
"Jika kamu lakukan itu lagi, aku takkan segan-segan membuatmu menyusul adikmu!" itu ucapan terakhir dari si Guru,
Aksi beliau terhenti, Guru tampan itu masuk kedalam ruangan.
Lalu menarik tangan si anak tadi, dan mendorong tubuh Guru yang bernama Bastian.
"Apa yang telah kau lakukan?" teriaknya, dia pun menoleh ke arah kanan dan kiri, ada tiga orang dewasa lainnya, tapi anehnya kenapa tidak ada satupun yang membantu si anak ini.
"Kau baru disini, jadi kau tidak tahu menahu, jadi jauhi aku jangan campuri urusanku." begitu ucap Guru bernama Bastian. Biasa mengajar pelajaran IPA, biologi, kimia dan fisika.
Murid itu bersembunyi dibalik Guru berpunggung lebar disana, tubuhnya gemetaran, dia memegang secuil kemeja Guru itu berdiri dibelakang sana,
Guru itu tahu, anak ini butuh perlindungan.
Bersambung,
Follow Vote Komen ya
YOU ARE READING
The Emotional Unvieled [PhanaWayo]
Mystery / Thrillerauthor mau buat cerita ber genre psikologi mental, Dan kali ini penulis memakai Phana dan Wayo sebagai dua peran utama di cerita ini. Synopsis : Wayo anak yatim piatu, sekolah menengah atas, di sekolah terbuka. Seorang Guru SMA bernama Phana, terjeb...