Pagi yang cerah untuk memulai aktivitas. Setelah beberapa hari telah berlalu, Aurina mulai terbiasa menjadi murid yang tiba paling awal di sekolah. Sebenarnya, semua itu berkat Dikta yang menawarkan diri pada Netta— ibunya Aurina untuk di izinkan berangkat dan pulang bareng karena jarak rumah mereka yang hanya beda beberapa petak.
Setiap hari, Dikta dan Aurina berpisah di parkiran sekolah untuk terhindar dari banyak pasang mata yang nantinya akan membuat rumor keduanya.
Aurina berjalan menyusuri koridor, sedangkan Dikta menaiki tangga karena kelasnya yang berada di lantai dua. Seperti biasa, suasana pagi yang masih sepi. Hanya beberapa murid dari kelas lain yang juga baru datang.
"Oi! Aurina!"
Seseorang berteriak memanggil namanya dari belakang, Aurina segera menoleh ke arah sumber suara tersebut.
Aurina menghela napasnya pelan. Orang itu adalah Zidan yang sedang berlari kecil menyusulnya sambil tersenyum dan melambaikan satu tangannya ke atas.
Ya Tuhan, apalagi ini? — batin Aurina.
Zidan berhasil menyusul Aurina tepat di depan pintu kelas. Dia mengatur napasnya yang tersengal karena berlari, padahal tidak dikejar pun mereka tetap bertemu di kelas yang sama.
"Lo kenapa?" tanya Zidan.
"Gue sehat."
"Lo menjauh dari gue? bahkan chat gue nggak pernah lo balas, kenapa?"
Aurina bingung. Memang dirinya memutuskan untuk menjauh dari Zidan selama beberapa hari ini, namun yang membuatnya bingung adalah sikap Zidan yang kini menimbulkan tanda tanya di benaknya.
Padahal udah punya cewek, ganjen banget. — batin Aurina menatap lawan bicaranya sinis.
"Oh.. gue tau. Paket data lo habis, kan? mau gue isiin?" ucap Zidan dengan nada yang mengejek.
"Sok tau. Chat lo aja yang nggak penting buat gue. Lagian, lo juga punya pacar, ngapain nunggu chat dari gue?" ungkap Aurina sedikit kecoplosan. Padahal dia ingin berpura - pura tidak tau saja.
Zidan terdiam. Tanpa mengatakan apapun lagi, dia meninggalkan Aurina begitu saja dan masuk ke dalam kelas. Aurina merutuki dirinya yang terlihat mencampuri urusan Zidan. Padahal, kalau pun dia punya pacar, hts, atau apapun itu tetap saja bukan urusannya.
Suasana pagi yang awalnya cerah harusnya membuat Aurina bersemangat, tetapi suasana hening di dalam kelas justru membuatnya tidak bersemangat seperti ada yang mengganjal di hatinya.
Bel pelajaran pertama berbunyi. Zidan terlihat masih enggan menoleh kearah Aurina yang terus menatapnya dari belakang. Aurina sesekali memanggilnya, atau melemparkan gulungan kertas ke arahnya, namun tidak ada yang berhasil membuat Zidan bergeming.
Aurina merasa sangat bosan, sedangkan Kalea terlihat begitu fokus merangkum catatan yang ditulis oleh guru di depan, Aurina sungkan untuk mengganggunya. Sedangkan, Dara baru saja mengabari di grup kelas bahwa dirinya sedang diare dan telah izin pada wali kelas.
Angin sejuk berhembus pelan melalui jendela di sampingnya, kelopak mata Aurina menjadi terasa berat dan mulai mengantuk. Kepalanya perlahan menunduk di atas meja agar terhindar dari pandangan guru yang sedang mengajar.
Zidan akhirnya menoleh ke belakang, karena bingung mengapa Aurina berhenti mengganggunya. Sorot matanya melihat Aurina yang sedikit tertutupi oleh badan Mahesa yang duduk di samping Aurina. Zidan berbisik pada Mahesa minta agar bertukar kursi dengannya, tetapi permintaannya itu di tolak. Mahesa tau kalau dia membiarkan Zidan dan Aurina berdampingan, mungkin guru akan menyuruh Zidan keluar karena mengganggu Aurina dan membuat keributan.

KAMU SEDANG MEMBACA
AURINA [REVISI]
Dla nastolatków[REVISI] "Jadi, kamu yakin mau coba jatuh cinta sama dia?" tanya Dikta penasaran. Aurina mengangguk. "Mungkin, iya... karena konon katanya jatuh cinta di masa putih abu-abu adalah kenangan terbaik yang pernah ada. Aku juga mau punya seseorang yang...