Phase 01: Dare

123 31 27
                                    


"I've loved you. Since the wind brought you to me."

-Naoko, The Wind Rises (2013)-


____________________


Sebuah pensil diputar di tengah-tengah sebuah meja yang dikelilingi oleh beberapa siswa dan siswi berseragam abu-abu. Beberapa pasang netra menatap benda tersebut lekat-lekat—tak lupa memperhatikan pergerakan masing-masing.

Perlahan, kecepatan memutar pensil tersebut mulai melamban. Ujung runcingnya kemudian terarah pada seorang laki-laki berambut cepak yang tengah duduk di tepi kanan meja tersebut.

"Han, kena lo!"

Rehan mendengus kasar, kemudian berkata, "Gue pilih T."

"T, ya ...?" Semua yang duduk melingkar disitu menimbang-nimbang.

"Ah, gue tahu!" pekik salah seorang pemain. Gadis itu terlihat sangat antusias—dibumbui oleh senyuman maut yang kini menghiasi wajah kurusnya.

"Berhubung lo pilih T, jadi lo harus jujur, ya?" tegas gadis itu. "Udah sejauh mana hubungan lo ama si Viona?"

Rehan tersedak dengan pertanyaan yang diajukan oleh salah satu kawannya barusan. Bahkan, semua yang mengikuti permainan tersebut menatap gadis itu horror.

"Kenapa? Apa ada yang salah?" Gadis itu meneliti ekspresi rekan-rekan bermainnya yang kini menatapnya terheran-heran.

Mulut Rehan menganga lebar.

"Lo gila, ya?" cetus Rehan tak terima.

Gadis itu terkekeh santai. "Gue nggak gila, Han. Kalo gue gila, nggak mungkin gue bisa sekolah di sini." kilah cewek itu santai.

Benar juga, Rehan membatin, mau tak mau menyetujui ucapan retoris gadis itu.

"Iya-iya, Ma," Angguk salah seorang temannya yang lain.

Gadis yang dipanggil Rachma itu menguap sejenak, kemudian menatap Rehan kembali dengan penuh selidik. "Jadi?" tanyanya kemudian.

"Jadi apa?" Rehan menggaruk kepalanya, berpura-pura tak mengerti.

"Jadi apa jawaban lo, Han? Tinggal jawab doang, apa susahnya?"

Rehan menelan ludahnya dengan gugup, tingkah lakunya tak ubahnya ibarat seekor kucing yang ketahuan mencuri ikan oleh majikannya. "G-gue—"

"Apa, Han? Lo udah ngelakuin itu?" cerocos Irvan, yang langsung disambut dengan jitakan dari teman-temannya.

"Ya nggaklah, bambang. Mana mungkin gue berani gituin si Viona?" sangkalnya. Irvan hanya manggut-manggut takzim mendengar penjelasan Rehan.

"Sebenernya, gue belum ngapa-ngapain sama si Viona," Akhirnya, sebuah ujaran penuh kejujuran terlontar dari bibir Rehan.

"APA?!"

Semua yang mengelilingi meja itu refleks berteriak kaget. Rehan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat respon dari teman-temannya itu.

"Demi apa lo, Han?" Ghani terbahak.

"Gila, segitunya lo cinta sama dia, Han?" sambung Dimas, laki-laki berambut keriting sembari asyik mengunyah chocochips-nya.

"Iri gue, Bang!" Zalfa, gadis berambut hitam kecoklatan yang duduk di seberang Rehan menanggapi dengan nada penuh ejekan.

Rachma, gadis yang mengajukan pertanyaan kejujuran pada Rehan hanya mampu tertawa geli. "Han, lo lagi kerasukan setan, ya?"

"Ah, gimana sih lo semua? Gue udah jawab jujur, masih aja dihujat!" Rehan, dengan gamang memprotes tak terima.

Would You Come To Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang