Phase 04: Wrong Address

76 25 10
                                    


"Sebuah masalah yang mustahil namun menjadi mungkin pada akhirnya. Apa itu ada?"

-Taliw, Kiss Me Thai (2013)-

____________________


Kata orang, hidup itu rasanya seperti sedang bermain game. Ada masanya kita berhasil, ada masanya pula kita kalah. Pada setiap tahap, selalu ada tantangan baru yang menghadang; seperti apa pun jenisnya.

Dalam game, jika memperoleh kemenangan, kita tak boleh lengah dan harus tetap mempertahankan kemenangan tersebut bagaimanapun caranya. Namun, jika kalah, kita masih bisa mengulang dari awal.

Sayangnya, di kehidupan, pengulangan tersebut hanya bisa terjadi pada keadaan tertentu-khususnya hanya pada keadaan yang memang bisa diubah. Akan tetapi, jika tidak bisa mengulang kembali apa yang sudah terjadi, itu hanya tinggal bagaimana kita menanggapinya; dengan sebuah penyesalan, atau justru menganggapnya sebagai sebuah pelajaran.

Dan aku, aku sudah terlanjur melakukannya. Itu nggak akan pernah bisa kuulang dan kuperbaiki lagi tentunya.

Kemarin, aku baik-baik saja dengan ide Mega. Bahkan, kuyakin ide Mega tersebut 100 persen akan berjalan dengan mulus dan berujung membuahkan hasil. Seharusnya, sih, cuma begitu.

Akan tetapi, perasaanku saat ini jauh berbeda dengan hari kemarin.

Aku merasa ragu. Ya. Sangat ragu.

Tadi pagi, aku sengaja datang ke sekolah pukul 5.45, 15 menit sebelum gerbang dibuka. Berharap tak ada orang sama sekali.

Dan sepertinya, Tuhan pun mendukung rencanaku. Gerbang sekolahku ternyata dibuka 10 menit lebih awal.

Dan, langkah pertamaku pun akhirnya dimulai.

Saat keadaan kelas masih sepi dan kosong melongpong-dan hanya ada satu dua siswa yang datang sepagi ini, kumanfaatkan waktuku yang mepet itu untuk membersihkan bangku Naufal, lalu menaruh satu buah cokelat di kolong mejanya.

Yap, ide Mega adalah memberi cowok itu cokelat. Gila, bukan?

Oke-oke, mungkin hanya aku yang berpikir bahwa hal ini sungguhlah gila. Toh menurut kalian hal ini lumrah dan wajar saja, bukan? Tapi, sayangnya, bagiku tidak.

Aku ini Aletta Maharani. Dan aku satu-satunya cewek di kelasku yang belum pernah berpacaran. Oh, uhm, sebenarnya bukan hanya aku, sih. Olivia dan beberapa sohibku yang lain pun belum pernah. Yah, bagaimanapun, intinya aku itu belum pernah berpacaran. Disukai seseorang saja belum pernah, apalagi pacaran. Haduh ....

Dan memberi cokelat pada cowok? Please, deh, seharusnya cowok, kan, yang ngasih cokelat ke cewek. Tapi, lihatlah aku. Apa yang kulakukan saat ini sangatlah berbeda dengan apa yang kuharapkan dulu. Akulah yang mendekati cowok, bukan cowok yang mendekatiku. Dan akulah yang memberi cokelat pada cowok, bukan cowok yang memberi cokelat padaku.

Dan disinilah aku. Duduk termenung-ditemani dengan deretan rumus matematika yang terpampang dengan jelas di depan mataku, tepatnya di buku tulisku. Menyesali perbuatan bodohku beberapa menit yang lalu. Sebelum aku berakhir dengan menyesali perbuatanku saat ini, aku bahkan sempat-sempatnya bertanya pada salah satu cowok barisan keempat, yaitu Raka, karena letak tempat tepat di dekat bangku Si Cupu itu.

"Eh, Ka," panggilku. Raka yang sedang sibuk mengeluarkan buku dari dalam tasnya mendongak menatapku, dengan air muka heran.

"Apa?" tanya Raka dingin.

"Si cowok cupu itu duduk dimana, sih?" tanyaku ragu.

"Cowok cupu?" Raka mengulangi dengan nada tak suka. "Naufal?" Ia memastikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Would You Come To Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang