Phase 02: Heart vs. Mind

108 29 6
                                    


"It's hard to sleep when your heart is at war with your mind."

-r.h. Sin-

____________________
 


Suram!

Hanya itulah kata yang pas untuk menggambarkan suasana hati Aletta saat ini. Terlebih, sejak sejam yang lalu ia dan teman-temannya bermain permainan sialan itu.

Gadis itu duduk sembari bertopang dagu, menatap lembaran kertas yang baru saja disobekannya dari halaman paling belakang buku beberapa saat yang lalu.

Ugh! Ini semua gara-gara permainan sialan itu! Kalo gue nggak ikutan, pasti nggak bakal, deh, disuruh ngedeketin si cupu itu! Batinnya berkecamuk, sebagian besar penuh dengan penyesalan yang mengakar dalam diri.

Merasa jengah, Aletta mengambil selembar kertas, meremas-remasnya hingga membentuk sebuah gundukan, kemudian melemparnya asal.

"Woi, Ta!" Memergoki aksinya, Deden—seksi kebersihan di kelasnya—lantas berseru lantang. "Buang sampah jangan sembarangan, napa! Gue laporin ke Bu Pipin mampus lo!" ancamnya.

Halah, peduli amat, deh.

"Ta, gue nggak main-main, lho," Deden memperingatkan.

"Iya-iya, bacot lo!" Aletta membalas gemas. Ia lalu melangkah dengan gontai menuju kertas-kertas yang berserakan di lantai kemudian memungutinya dengan malas.

Secara tak sadar, bola mata gadis itu berjumpa dengan satu orang yang berhasil memenuhi pikirannya dalam waktu satu jam terakhir.

Naufal Ardiansyah.

Ya, Naufal. Iya, Naufal yang itu. Laki-laki paling cupu di kelasnya—sebut saja begitu, karena siapa lagi yang pantas memegang predikat itu selain dirinya?—dengan penampilan yang kelewat aneh. Belum lagi, sikapnya yang benar-benar introvert—disamping kelakuan freaknya yang kerap kali berbicara sendiri dan memaki tak jelas. Tak heran jika Naufal dicap sebagai seorang nerd dan gamers akut.

Masalahnya, bukan hanya itu saja.

Aletta benar-benar tidak habis pikir. Mengapa seorang Vanesha rela mempertaruhkan Kamera SLR-nya hanya untuk permainan tak penting seperti ini?

Terlebih, mengapa harus Naufal? Mengapa bukan yang lain?

Apa jangan-jangan mereka ada sesuatu?

Tapi, rasanya tidak mungkin. Vanesha kelihatan biasa saja tatkala berurusan dengan Naufal. Dan Naufal pun begitu.

Ada yang aneh di sini.

Bukan apa-apa. Meski dirinya dan Naufal pernah bersekolah di SMP yang sama dan bahkan berada di kelas yang sama, ia sama sekali belum pernah benar-benar "berbicara" dengan Naufal.

Hm, tapi rasa-rasanya pernah, deh. Sewaktu pembagian kertas formulir klub bisbol yang sempat akan Aletta masuki—namun tidak jadi sebab ayahnya melarangnya, Aletta sempat bicara dengannya walau hanya sekilas.

Sejak SMP hingga keduanya duduk di bangku kelas X, Naufal tak pernah berubah. Penampilannya selalu seperti itu. Hanya tinggi badannya saja yang semakin hari semakin bertambah.

Tatapan itu hanyalah sekilas—dan rasanya tak pas jika disebut tatapan, barangkali hanya lirikan mata sekilas—sebab sedetik kemudian laki-laki itu sudah kembali asyik memainkan ponselnya. Larut dalam kefanaan gawai yang siap memakan tempo hidupnya secara berkala.

Samar-samar, Aletta bisa menebak bahwa lagi-lagi Naufal bermain game Mobile Legend—yang notabene memang sedang hits di kelasnya.

Aletta tersenyum pahit, merasa miris akan keadaan dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia ditantang untuk mendekati laki-laki sejenis Naufal yang jelas-jelas sulit untuk didekati itu? Belum lagi, ia harus mengubah penampilan dan kepribadian laki-laki itu yang bahkan sama sekali belum ia ketahui seluk-beluknya.

Would You Come To Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang