Pagi ini jendela langit tertutup oleh kelabunya awan, terasa dingin ketika angin berhembus pelan menggelitiki wajah yang siap beranjak. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan pikirku selagi menatap jendela keluar rumah. "Luna! Lili! Bangun!" Teriak ibu dari lantai bawah.
Ibuku tidak tau aku sudah terbangun dari satu jam yang lalu. Aku mendengar suara gaduh ibu dari dapur yang sibuk memasak. Seharusnya aku segera turun dan membantunya namun entah mengapa hari ini tubuhku begitu lemas selepas dari tidur semalam. Sesekali terbayang sepercik ketidakjelasan seperti bayangan yang menyambar dalam pikiranku. Aku tersenyum kecil berpikir mungkin itu adalah sisa mimpi indahku semalam.
Lima belas menit kemudian aku sudah berada di dapur ikut membantu ibu menyiapkan sarapan, Lili turun perlahan lahan, kusut, masih terkantuk. Ayah sedang mandi, sebentar lagi harus bekerja.
"Ka Una, mengapa tidak membangunkanku?" Tanya Lili mengambil langkah masih memejamkan mata. Ibu dan aku tersenyum saling menatap. Aku menghampirinya kemudian menarik pipinya yang tembem. "Bangun gendut! Hahaha." Jawabku usik membangunkan. Lili bangun terkejut memegang pipinya sakit, cemberut sebal menatapku. Aku dan Ibu tertawa kembali menyiapkan sarapan.
Beberapa menit kemudian semua sudah berkumpul di meja makan siap menyantap sarapan. "Yah, hari ini pulang jam berapa?" Tanya Lili. Ayah menatap Lili, Ibu juga. Aku tau maksud Lili, belakangan ini ayah selalu pulang tengah malam karena sangat sibuk dengan proyek barunya membangun apartemen sehingga Lili hanya bisa berjumpa dengan Ayah saat sarapan pagi saja.
"Ayah akan pulang secepatnya, jika sudah selesai pasti akan segera pulang." Jawab Ibu. Ayah mengangguk tersenyum pada Lili.
"Bagaimana sekolahmu Ka?" Tanya Ayah padaku.
"Seperti biasa, hanya saja jamnya sudah mulai padat, dan banyak sekali materi baru yang sulit dimengerti."
"Sesulit apapun itu kamu harus bisa, inilah waktu waktu yang menentukan masa depanmu Ka, jika awalnya sudah sulit kemudian Kaka menyerah maka selanjutnya akan babakbelur." Ayah mulai menceramahi. Aku hanya duduk menyendok makanan.
"Lili bagaimana sekolahmu?" Tanya Ibu.
"Aku? sangat menyenangkan, setiap hari selalu tidak sabar untuk segera ke sekolah. Apalagi teman teman di sekolahku mengasyikan semua dan bla bla bla" Lili antusias menceritakan banyak hal, cerewet. Ibu tersenyum mengerti arah pembicaraan dan maksud Lili, aku bersunggut sunggut pasti karena ada Brian kekasih barunya. Ayah tidak menghiraukan, hanya menyendok makanannya dan sesekali menengok ke koran yang diletakan di meja.
Jam dinding berdenting menunjukan pukul 06.15 pagi. Waktunya Lili dan Luna berangkat sekolah, ayah yang mengantar kemudian pergi bekerja. Ibu melambaikan tangan tersenyum mendadahi aku, Lili dan Ayah. Awan semakin gelap, sesekali rintik hujan Menetesi jendela mobil. Udaranya dingin di luar. Beberapa orang berjalan kaki dengan payungnya memenuhi pinggiran jalan. Aku menatap sekitaran mobil yang melaju mulai dirinktiki oleh hujan yang masih menyangkut di kelabunya awan. Lili sibuk mendengarkan musik dari handphonenya menggunakan headset. Sesekali Ayah mengajaku bercerita tentang ini itu, ceritanya lebih banyak tentang pendidikan ayahku. Aku tau menjadi seorang arsitek seperti ayah tidaklah mudah, butuh pendidikan tinggi dan kemampuan yang hebat namun kadang kala jika pembicaraan sudah mulai memasuki topik ceramah dan pendidikan aku lebih baik menghiraukan, bosan dan itu itu saja ceritanya.
Beberapa menit kemudian hujan turun begitu deras ketika depan halaman sekolahku. Sekolahku lebih dekat satu kilometer dibanding sekolah Lili. Ayah menyodorkanku payungnya.
"Bawa payung ayah saja." Ayah tersenyum padaku.
"Tapi ayah dan Lili?"
"Ayah parkir di basement apartement, Lili sudah dibawakan ibu payung. Bawalah!" Ayah sigap. Aku tersenyum mengangguk, segera aku menyalami ayah dan melambaikan tangan pada Lili. Lili hanya menengokku sesaat dan kembali sibuk dengan handphonenya.
Belpun berbunyi tanda masuk kelas, anak anak bergegas memasuki kelasnya masing masing, aku melangkah melewati koridor, lantai begitu kotor dengan jejak basah anak anak. Sedikit menghela nafas, berpikir kembali mengapa tubuhku begitu lemas hari ini. Aku memasuki kelas dan duduk di kursi tengah.
"Luna, kamu sudah mengerjakan tugas?" Tanya teman sebangkuku Mona, ia adalah sahabat terbaiku, ia anak yang sedikit anti sosial, lebih senang dengan dunianya sendiri, sibuk menggambar, senang menulis ataupun mendengarkan musik. Mungkin aku satu satunya teman sekaligus sahabatnya yang membuatnya untuk angkat bicara tentang berbagai macam rahasia miliknya. Namun terkadang rahasia yang ia bicarakan selalu tidak masuk akal dan terlalu berimajinasi. Mungkin karena ia memiliki jiwa seni jadinya seperti itu.
Pelajaran pertama diawali dengan Bahasa Inggris, kemudian Matematika dan yang terakhir Fisika. Pelajaran dasar dari suatu ilmu jika mau melanjutkan ke perguruan tinggi. Pelajaran memang penting sebenarnya namun siapa yang suka belajar jika tidak memiliki ambisi hebat dalam memandang suatu cita cita yang akan diraihnya.
Hari ini sekolah terasa sangat cepat, belpun berbunyi keras tanda jam sekolah selesai, namun tidak untuk tingkat tiga, masih ada tambahan mata pelajaran untuk persiapan ujian kelulusan. Aku menghela nafas malas.
"Yaah padahal jika pulang sekarang kita tidak akan kehujanan." Mona menghela nafas, mengeluh. Aku mengangguk meng-iyakan sekalipun baru tersadar hujan sudah berhenti, padahal beberapa saat yang lalu di jam istirahat masih hujan lebat.
“Luna, kamu sudah baca buku Charles C Vive jilid ke enam?” Mona meliriku, aku menoleh. Charles C Vive adalah sebuah novel fantasi tentang petualangan hebat dan tidak terduga yang sangat aku gemari. Aku mulai menyukai novel ini sejak berumur 13 tahun. Mona juga ikut tergila gila dengan buku ini karena aku yang memperkenalkannya.
“Buku itu yaa, bukankah itu jilid terakhir?”
“Iya buku terakhir, aku sudah membacanya. Sangat menakjubkan sekali. Ending ceritanya tidak akan bisa kamu tebak. Belum lagi saat dramanya muncul, aku tidak bisa berhenti menangis. Kamu harus membacanya Luna!” Mona menjelaskan sangat antusias. Aku mengerti betapa serunya buku jilid terakhir itu karena buku sebelumnya saja banyak hal hal tidak terduga.
“Benarkah? Tapi Mona, aku belum mau membaca buku itu sekarang.”
“Kenapa?”
“Charles C Vive adalah novel kesukaanku sejak SMP, rasanya ada yang ganjil jika buku jilid terakhir itu aku baca sekarang.” Ucapku pelan, kening Mona mengkerut tidak mengerti maksudku.
“Aku tidak mau membaca buku jilid terakhir itu Mon, karena jika buku kesukaanku tamat, tidak akan ada cerita selanjutnya lagi yang selalu aku tunggu.” Aku menjelaskannya terdengar sederhana, namun memang itulah yang aku rasakan. Sedih rasanya jika buku kesayanganku harus tamat di saat aku masih sangat menyukainya, seperti berakhirnya sebuah perjalanan yang menyenangkan ketika aku belum mau ini semua berakhir.
“Aku tetap tidak mengerti maksudmu Luna, padahal hari ini aku membawa bukunya jikalau kamu mau meminjam.” Raut wajah Mona tampak lemas melihatku yang kurang antusias.
“Hahaha maafkan aku Mon, mungkin nanti aku akan meminjamnya.” Aku tersenyum kecil menggoda Mona. Raut wajahnya masih tampak sebal bercanda.
Waktu menunjukan pukul 14.25, lima menit lagi jam tambahan akan dimulai. Aku memanfaatkan waktu ini untuk pergi ke toilet, cuci muka agar segar kembali. Di tengah langkahku menuju toilet Pak Guru yang pengisi jam tambahan datang dengan tas jinjing dan beberapa kertas diselipkannya.
"Selamat sore Pak, saya permisi mau ke toilet." Sapaku dengan senyuman. Pak Guru hanya mengangguk dan berjalan kembali. Aku melanjutkan langkahku menuju toilet. Hari ini sepenuhnya menjadi cuaca yang gelap kelabu, bahkan jendela mataharipun tidak sempat untuk membukakan kemilaunya dari pagi hingga sore. Suasana terasa dingin, sejuk, namun basah cukup mengganggu mengotori setiap lantai dengan jejak jejak kotor. Sesampai di toilet aku segera mencuci muka, menggosokan mata perlahan dan membasuh wajah. "Aaah, segarnya! dengan begini bisa konsentrasi kembali." Ucapku bicara depan cermin. Perlahan aku mendekati cermin, mengusap wajah melemaskan pipi, memperhatikan mataku lebih dekat. Sungguh dekat. Tiba tiba sesuatu yang aneh terjadi. Aku sedikit terkejut, beberapa saat tadi mataku terlihat berbeda setelah membasuh wajah dan berbicara pada cermin. Mataku memandang dari balik cermin jauh lebih tajam dari biasanya. Seperti mata bukan miliku, itu terlalu tajam.
"Mungkin sebentar lagi aku akan terkena demam." Ucapku menghibur diri berpikir positif bahwa hal barusan hanya sebuah halusinasi sesaat ketika aku merasa kelelahan dan akan demam. Segera aku keluar dari toilet. Di tengah langkahku keluar toilet seorang pria memanggilku dengan gaya berpakaian rapih, mengenakan shout , dasi, mantel dan payung hitam. Bergaya orang kelas atas. Semuanya serba hitam.
"Hai, kamu." Panggil orang itu.
"Eh oh aku?" Tanyaku memastikan. Orang itu mengangguk.
"Namamu Luna?"
"Iya benar, anda siapa?" aku melihatnya lamat lamat, sangat rapih.
"Luna Sagitarius?"
"Permisi? Sagitarius? Maksud Anda bintang kelahiran saya?" Tanyaku kebingungan dengan orang ini. Perlahan langkahku sedikit menjauh menjaga jarak.
"Bukan, maksudku kau Luna berdarah sagitarius penyandang Ancient?." orang itu perlahan melangkah mendekatiku. Langkahku reflek menjauh.
"Anda siapa? Apa maksud anda sagitarius?" Tanyaku antara penasaran dan takut. Matanya tiba tiba menatap punggung tanganku, kemudian kembali menatap wajahku. Seakan akan ia sedang memastikan sesuatu.
"Sekali lagi aku tanya anda siapa? Aku akan segera masuk kelas. Tidak ada waktu untuk menjawab hal aneh yang anda maksud." Aku melangkah mundur semakin menjauh siap meninggalkannya. rumit, membalikan badan untuk
"Tunggu! Aku tidak bisa menjawabnya sekarang ini terlalu namun ambilah ini, kau akan membutuhkannya setelah ingatanmu kembali." Orang itu mengeluarkan sebuah botol kaca bening seukuran penghapus besar dan terdapat tiga butir kapsul berwarna merah, hitam dan biru muda.
"Apa maksudmu? Apa itu?" Tanyaku penasaran.
"Kau masih belum mengingatnya? Sulit jika aku yang harus menjelaskan, cepat atau lambat kau akan tau dengan sendirinya. Ambilah obat Declension ini, gunakan obat ini ketika kepalamu terasa sakit dan teriang riang oleh masalah saat itu."
"Apa yang sedang kau bicarakan sebenarnya? Maaf aku harus masuk ke dalam kelas." Jawabku segera meninggalkannya. Aku menoleh ke belakang, ia masih berdiri menatapku dari kejauhan. Siapa orang itu sebenarnya? Apa maksudnya sagitarius? Dia seperti sudah mengenalku, namun aku sama sekali tidak tau. Apa dia hanya bercanda? Sungguh aku takut apalagi menawarkanku semacam obat aneh seperti itu. Mungkin dia akan membiusku atau mempengaruhiku untuk mengkonsumsi obat keras. yang jelas orang seperti itu harus aku jauhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Declension
Science FictionBagaimana jika sesungguhnya mimpi adalah sebuah dimensi lain yang tidak pernah kita bayangkan bahwa di sana terdapat dunia nyata. Kita hanya melewati mimpi dengan cara sederhana selama ini, tidur dan terbangun. Namun bagaimana jika kita terjebak dal...