Mata Anak Panah

8 2 0
                                    


Aku hanya membidik ke arah yang bisa kulihat ketika ia menjadi gumpalan kabut. Aku melakukannya mengambil resiko karena satu alasan, bukan karena ingin menyelamatkan Tuan Albes namun hanya ingin merebut permata yang ia kalungkan. Aku yakin benda itulah yang disebut Bloodstone. Aku masih terlamun berdiri di halaman istana lantai atas membayangkan kejadian tadi ketika mahluk hitam itu menyerang.

"Ehm ehm." Suara batuk menyadarkanku.

"Tuan Albes?" Hentaku terkejut segera hormat membungkukan tubuh.

"Sudah sudah tidak perlu begitu." Ucapnya memandangku.

"Maaf Tuan Albes, ada perlu apa kemari?" Tanyaku masih menunduk.

"Nona Luna, bolehkah aku mengundangmu untuk makan malam bersamaku di istana?" Ajak Tuan Fredrick.

"Makan malam?" Tanyaku gugup. Astaga Tuan Albes setampan dan segagah dia mengajaku untuk makan malam. Tutur bahasanya sopan dan lugas walaupun ia seorang yang bertahta. Tuan Fredrick mengangguk. "Maaf Tuan Albes sepertinya aku..."

"Aku memaksamu." Potong Fredrick tersenyum padaku. Aku mengangguk paham. Mungkin ia mau berterimakasih dengan cara mengundangku makan malam.

****

Malampun tiba, Niyta pulang diantar oleh para pengawal, ia masih merinding sisa ketakutan tadi. Brenda menyampaikan pesan lewat pengawal bahwa aku harus segera pulang. Pulang dalam artian berjaga jaga untuk tetap menutupi identitasku seorang declension.

Aku duduk di hadapan Tuan Fredrick. Meja makan cukup panjang memisahkan jaraku dengan Fredrick. Aku berada di sebuah ruang makan yang sangat besar, semuanya serba putih dengan sisi menghadap jendela yang sangat besar. Terlihat pemandangan pedesaan saat malam hari. Indah dan kecil seperti sekumpulan kunang kunang yang bertaburan.

Satu per satu makanan dihidangkan mereka. Makanan di sini sangat sederhana. Makanan pembukaku hanyalah sebuah kue berwarna hijau berbentuk desak dengan air yang membanjiri piringnya tipis. Fredrick memakan makanan yang sama sepertiku. Ia segera melahapnya secara perlahan. Aku cukup penasaran makanan seperti apa lagi di dunia ini terutama makanan khas kerajaan. Sesendok aku coba memakannya. Aku kira ini makanan manis namun tidak. Rasanya seperti campuran sayur dan daging dengan air kaldu yang sungguh nikmat. Penampilannya cukup aneh dan tidak menggoda namun rasanya unik luar biasa. Fredrick tersenyum menyadari aku sedikit terkejut dengan makanan yang ia sajikan.

"Boleh aku berterimakasih soal panahmu yang menyelamatkanku? Itu sungguh luar biasa." Ucap Fredrick membuka perbincangan.

"Sama sama Tuan Albes, itu hanya kebetulan saja." Jawabku tersenyum kikuk.

"Bagaimana kau bisa memanah mahluk itu hanya dengan sekali panah, padahal seluruh pasukanku tidak ada satupun yang mengenainya." Tanya Tuan Fredrick penasaran.

"Aku, aku tidak tau. Ketika aku memanah hanya satu hal yang kupikirkan."

"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Fredrick.

"Keyakinan bahwa aku bisa menembak mahluk itu." Jawabku yang terlintas dipikiran. Karena akupun tidak tau bagaimana panah itu bisa mengenainya.

"Jawaban yang sangat masuk akal. Ketika seluruh pasukan dihantui kabut hitam itu tidak ada satupun yang tidak merasa takut, hanya keraguan dan perasaan takut ketika menyerangnya. Akupun begitu. Namun aku tidak percaya gadis sepertimu memiliki keberanian yang sangat hebat ketika berada di sana." Ucap Fredrick memujiku. Aku hanya tersipu malu kembali menyendok makanan yang disajikan.

"Jadi, boleh kau ceritakan tentang dirimu sebelum datang kemari?" Tanya Tuan Albes. Aku ragu ragu menjawab namun aku sudah memiliki jawaban sesuai yang direncanakan Brenda dan Niyta bahwa aku seorang tukang kebun di desa yang bernama Felantini. Ceritaku terbilang singkat saja penuh kebohongan dan mengada ngada menceritakan perkebunan. Entah Fredrick percaya atau tidak namun terlihat di wajahnya ia menikmati ceritaku.

DeclensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang