Aurina mulai menjalani pelatihan vocal setelah dirinya direkomendasikan oleh Dikta untuk masuk ke dalam club musik. Dengan keahliannya dalam memainkan gitar, Aurina terpilih menjadi perwakilan dari kelasnya untuk menyumbangkan bakat pada kegiatan Dies Natalis sekolah yang akan datang. Aurina memutuskan untuk membawakan sebuah lagu dengan tempo acoustic, yang akan ia nyanyikan di tengah panggung nanti.
"Lo harus fokus, gue percaya sama bakat lo." ucap Dikta, memberikan semangat pada Aurina.
Selain Dikta, di dalam aula sekolah saat itu juga ada Pak Bastian yang senantiasa memperhatikan kegiatan Aurina. Kedua sahabatnya pun, Dara dan Kalea setia menunggunya.
"Bapak harap, kamu bisa mengabaikan apa yang akan mengganggu dalam perhatianmu nanti." ujar Pak Bastian.
"Baik, Pak." jawab Aurina.
"Huft. Biasanya yang bakal ganggu perhatian Aurina, sudah pasti Zidan, Pak." ucap Dara, membuat Aurina menoleh kesal padanya.
"Apaan, sih. Enggak!" kesal Aurina.
Dikta terdiam memperhatikan kedua gadis di hadapannya yang sedang meributkan hal yang membuatnya sedikit kesal, pandangannya kini fokus memperhatikan Aurina yang wajahnya kini terlihat memerah setelah membahas Zidan.
"Lo suka?" tanya Dikta.
Aurina menoleh padanya. "Hah?!"
"Lo suka sama Zidan?" tanya Dikta sekali lagi.
"Waduh.. Kalau sudah hal seperti ini, sepertinya bukan urusan bapak lagi. Kalau begitu, bapak mau balik ke ruang guru aja." ucap Pak Bastian, terkekeh melewati muridnya dan melengser pergi.
Dikta masih tetap pada posisinya, menunggu jawaban Aurina yang terlihat salah tingkah dengan pertanyaannya.
Kedua sahabatnya pun, turut mengarahkan pandangannya pada Aurina seakan menunggu jawaban dari mulut gadis itu.
"Katanya disuruh fokus, ini malah bahas hal yang nggak penting." jawab Aurina.
Nggak penting. Dikta tersenyum mendengar jawaban gadis itu yang sedikit bisa membuat hatinya berhenti berkecamuk. Dikta memastikan ini hanya perasaan khawatir kepada sahabatnya , bukan karena dia cemburu.
Setelah cukup lama mereka disana, dering bel yang menandakan berakhirnya jam istirahat pun telah bunyi. Dara dan Kalea harus segera kembali ke kelas mereka, begitupun dengan Dikta. Mereka harus meninggalkan Aurina seorang diri untuk menghabiskan waktunya berlatih, karena semua murid yang ingin sedang mempersiapkan penampilannya telah mendapatkan izin untuk tidak mengikuti beberapa mata pelajaran hari itu.
"Kita balik kesini lagi kalau udah selesai, yah." ucap Kalea kemudian beranjak pergi bersama Dara yang mengikuti langkahnya di belakang.
"Semangat." ucap Dikta sebelum meninggalkan ruangan itu dan menyisakan Aurina seorang diri.
Gadis itu kemudian kembali pada posisi awalnya, mengambil gitar yang ia simpan di samping kursinya. Tangan putihnya kini memangku gitar kesayangan miliknya, perlahan memetik satu per satu senar yang mulai mengeluarkan melodi yang indah. Bibirnya perlahan bergerak menyanyikan lagu yang ia telah ia pilih untuk dibawakan pada acara besok. Suasana hening aula pada saat itu turut meromantisasi penghayatan dari lagu yang ia nyanyikan.
Aku t'lah mengerti ~
Arti senyuman itu ~
Namun, aku takkan berani ~
Tuk melangkah lebih jauh lagi ~Aurina terus menghayati makna dari lagu tersebut, perlahan yang muncul dalam ingatannya justru orang yang tak ia duga. Aurina justru mengingat kembali pertempuan pertama dirinya dengan Zidan, dan hari - hari selanjutnya yang menggambarkan bagaimana lelaki itu menghiasi harinya di sekolah baru ini.
Sampai ketika lamunannya tersadar, saat sebuah tangan menggenggam jemarinya, membuat Aurina berhenti memetik senar gitarnya. Aurina membulatkan pandangannya ketika melihat lelaki itu kini berada di hadapannya.
"Jari lo berdarah, Rin." kata Zidan.
Aurina memandangi jemarinya, dan apa yang dikatakan Zidan memang benar adanya. Namun, rasa dari perih jemarinya tidak kalah dengan rasa terkejutnya melihat kehadiran Zidan di hadapannya. Aurina menarik tangannya agar lepas dari genggaman Zidan.
"Maaf. Gue nggak bermaksud buat modus." ucap Zidan.
Aurina hanya menunduk, membersihkan jarinya yang masih meneteskan darah akibat dirinya yang belakangan ini terlalu banyak berlatih.
"Ketua osis ngapain disini? harusnya sekarang lo di kelas." ketus Aurina. "Bolos lagi?"
"Kelas kalau nggak ada lo, nggak menarik sama sekali. Gue juga baru tahu, kalau ternyata besok lo bakal perform." ucap Zidan.
"Ketua osis apaan lo, gitu aja nggak tau."
"Ngejek banget."
Keduanya akhirnya tertawa, memecah rasa canggung yang menyelimuti sebelumnya. Zidan menggenggam jemari Aurina yang terluka, membersihkan darah luka itu dengan seragam sekolahnya. Aurina yang melihat hal itu segera menarik tangannya, wajahnya kini merah padam karena perbuatan Zidan.
"Lo apaan, sih?" kesal Aurina mengalihkan wajahnya, menyembunyikan rona pipinya yang kian memerah.
"Gue cuma ngelap?" jawab Zidan, singkat.
Bagaikan tersambar petir, Aurina semakin terdiam karena malu. Dia merutuki dirinya, mengapa hatinya terlalu lemah untuk salah tingkah dengan perbuatan cowok 'friendly' seperti Zidan ini. Merepotkan saja.
"Lo bisa pergi? Gue mau latihan." ucap Aurina.
"Istirahat dulu, jangan dipaksain."
"Nggak usah ngatur gue bisa?" jawab Aurina yang sedikit kesal dengan sikap Zidan yang selalu bersikap seolah peduli dengannya.
"Judes banget, jadi makin lucu." ucap Zidan terkekeh dan meninggalkan Aurina kembali seorang diri.
Aurina menghela napasnya kasar. Tangannya merogoh tas miliknya dan mengambil plaster yang sudah ia bawa selalu di dalam tasnya.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/130122054-288-k724070.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AURINA [REVISI]
Teen Fiction[Perubahan alur, belum selesai revisi] Orang bilang, jatuh cinta untuk pertama kali biasanya seperti cahaya di pagi hari yang mempesona. Namun, bagaimana jadinya jika menjatuhkan hati untuk yang pertama kali kepada orang yang tidak mencintai? Cinta...