07

1.4K 244 78
                                    

"Mungkin kau senang dikejar, karena mungkin kau tak pernah merasakan lelahnya mengejar. Aku takut kau terlalu sering berlari sampai lupa aku sudah berhenti jauh-jauh hari."

.
.
.

Lai Guanlin

.
.
.







Lima hari kau mendiamiku. Kau terus bersamanya. Jika dulu dengan bodohnya aku berkata 'tidak apa-apa, kebahagianmu adalah kebahagianku', maka sekarang tidak. Perasaan juga punya waktu kadaluarsanya.

Kualihkan pandanganku darimu. Memilih menatap nasi goreng di hadapanku. Bang Danik menyikut lenganku dan bertanya, "kenapa dengan Jihoon? Putus?"

"Jadian aja belum," sahutku datar.

"Hooo melas amat. Haha."

Mengabaikan gelak tawanya, aku melahap nasi goreng yang terasa hambar di lidahku. Efek tidak ada Jihoon sangat luar biasa. Tsk.

"Lin? Mau cewe gak?"

"Uhuk—" tersedak. Buru-buru kuambil es teh dan meneguknya hingga tersisa seperempat gelas. Lalu melempar tatapan tajam ke arah bang Danik. "Gue maunya Jihoon."

"Jihoon kagak mau sama lo."

"Bangsat."

"Ketimbang galau? Cantik nih."

"Yaudah mana?"

"Hooo pantes Jihoon gak mau sama lo. Playboy cap kaki badak sih."

"Buat main-main doang. Hiburan."

"Hooo brengseknya."

"Dari dulu. Ke mana aja?"

"Sibuk main di selangkangan Ong."

Kemudian kita tertawa. Dan obrolan berlanjut hingga ke mana-mana. Random sekali memang.

Tak apa. Paling tidak dengan begini aku dapat sedikit melupakanmu.







🍀🍀🍀







Kau pulang sendiri. Menelusuri trotoar dengan earphone yang menyumbat pendengaranmu. Kerikil terus kau tendang, sesekali terdengar senandung merdu dari labiamu.

Dan aku masih sibuk sebagai stalker. Mengekorimu diam-diam dalam radius aman. Memperhatikan tiap gerak-gerik yang kau lakukan. Seperti biasa, Jihoon-ku selalu tampak menggemaskan.

Langkah kakiku terhenti kala sebuah motor berhenti tepat di sebelahmu. Senyum itu kembali terukir di wajahmu, bersama dengan luka yang kembali melebar di dadaku.

"Jangan pulang dengannya. Kalau kau lakukan itu, aku akan benar-benar melupakanmu."

Kau tidak mendengar kata hatiku. Tidak pernah sekali pun. Kini kau naik ke atas motornya. Kau meninggalkanku sendiri. Padahal aku tak pernah membiarkanmu sendiri.

"Tidak. Mana bisa aku melupakanmu. Demi apapun di dunia ini, kau yang paling berharga Jihoon-ah."

Kupandang terus punggungmu sampai menghilang di persimpangan. Kembali bersikap bodoh sembari mengatakan, "baguslah, kaki Jihoon gak perlu sakit karena jalan jauh."







🍀🍀🍀







Kita sudah berteman dari kecil. Rumah berdampingan. Jarak antara balkon kamar kita hanya semeter. Jika kita mau, kita tinggal melompat untuk sampai ke kamar masing-masing. Terkadang karena malas, kita akan menarik tali dari telepon kaleng yang dibuat saat berumur 7 tahun. Lalu berbincang hingga salah satu dari kita jatuh terlelap.

Mengingat kenangan lama membuat kedua sudut bibirku terangkat. Kebiasaan berbincang melalui telepon kaleng itu berhenti saat kita berumur 14 tahun. Kebiasaan baru mulai terbentuk. Kita tidak bisa tidur kalau tidak memeluk satu sama lain.

Tidak ada aku di sisimu selama enam hari ini. Apa tidurmu nyenyak?

Jika kau bertanya tentang tidurku. Jawabannya sangat buruk.

Hanya lampu tidur yang menghiasi kamarmu. Dari balik tirai yang sedikit tersibak, aku dapat melihat kau memeluk boneka beruang pemberianku saat ulang tahunmu kemarin. Kau bilang beruang cokelat itu mirip denganku. Apa karena itu tidurmu tetap nyenyak?

Drrttt. Drrttt.

Ponselku bergetar. Setelah menggumamkan, "selamat tidur, Jihoon-ah. Mimpikan aku ya?" segera kubawa langkahku masuk ke dalam kamar. Lalu mengangkat panggilan telepon dari bang Danik.

"Jam sebelas ini," sindirku saat mendapat umpatan dari seberang telepon karena baru mengangkat panggilannya setelah nyaris sepuluh kali menghubungi.

"Bangsat!" Tanpa mendengar penuturan bang Danik lebih rinci, aku segera mengambil mantel yang tergantung di belakang pintu. Lalu melenggang pergi dengan terburu-buru.

"Mati lo, Bae Jinyoung!"







TBC.

FRIENDZONE [ PANWINK ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang