Wendy mulai sibuk mengeluarkan buku-buku cetak dari totebag birunya. Kemudian Renala sadar bahwa Wendy menyembunyikan sesuatu di ponselnya sebab sekarang Wendy meletakkan benda silver itu di pertengahan buku cetak Fisika yang supertebal. Biar Rena tidak lihat, sepertinya."Elah mentang-mentang udah ganti Ipon 6s, nggak mau lagi minjemin ke kawannya," cibir Renala.
"Lu kira gigi, ha? Iphone monyot, bukan Ipon!"
"Iya, iya. Gua tau, Wen. Biasa aja dong. Maafin ya kalo nggak lucu."
Dengan memasang wajah menyebalkan, Wendy menyeruput susu kotak cokelat yang dia bawa dari rumah.
Hebatnya, susu kotak itu sedari tadi tersembunyi di saku kemeja putih Wendy. Renala saja sampai tidak sadar. Kadang-kadang Wendy memang ajaib.
"Sampah amat sih. Gua dorong ke Danau Lematang juga nanti."
"Astaghfirullah.. Wendy sekarang omongannya gitu ya. Ke mana Wendy yang dulu?"
Wendy menghela napas jengah. "Yang ngajarin kan lo."
"Aih? Saya tuntut kamu ya, atas tuduhan percobaan pembunuhan dan pencemaran nama baik! Lagian, emangnya saya guru ngajar-ngajarin kamu?"
"Stop dulu sih drama murahan lo itu. Percobaan pembunuhan apa coba? Gaje."
"Mau dorong gua ke Danau Lematang itu apa kalo bukan percobaan pembunuhan? Kayak nggak tau aja itu danau udah tercemar zat kimia sampe warnanya jadi ijo butek. Mau tah kawannya ini mati melembung di sana? TEGA!"
"Memangnya gue kawan lo? Percobaan pembunuhan?? Baru juga rencana, belum gue lakuin tuh."
Sementara dari pintu kelas, Anggini melangkah dengan girang. Walaupun dari luar wajahnya terlihat biasa saja bahkan terkesan agak jutek, Anggini benar-benar sedang bahagia hari ini. Karena kalau Anggini senang, yang sumringah bukan wajah atau gerak-geriknya, melainkan wangi parfumnya yang lebih menyengat dari biasanya.
Dan pagi ini, hampir seluruh warga kelas yang dilewatinya bisa mencium semerbak parfum bunga yang dipakai cewek dengan high ponytail itu.
Mood-nya pastilah sedang sangat bagus. Dan ketahuilah, yang bisa menghancurkan mood itu adalah hal-hal seperti..
"Weh, weh, apa ini?" Anggini menghentikan langkah di samping bangku paling belakang—bangku miliknya dan Vanka.
Wendy dan Renala yang sedang saling lempar kulit kuaci tidak sadar sedikit pun akan kehadiran Anggini. Kulit-kulit kuaci bertebaran di meja, kursi, dan lantai sekitar mereka. Bahkan di rambut mereka masing-masing pun ada kulit kuaci yang mendarat. Seolah-olah tak ada hari lain lagi untuk perang kuaci, mereka sepertinya akan terus-terusan menghamburkan sampah ke sana kemari sampai mentari terbenam senja ini. Wah, wah.
Poin utama yang membuat Anggini naik pitam adalah: Wendy dan Renala lempar-lemparan sampah kulit kuaci itu di bangkunya.
Mood Anggini seketika hancur lebur, piring yang berserakan karena dilempar Mami-nya saat melihat Kakak pulang larut malam saja tak cukup untuk mengumpamakan itu. Wow.
"WOY! SADAR NGGAK INI YANG DISAMPAHIN MEJA KURSI SIAPA?!" jerit Anggini, menarik perhatian kepala-kepala warga kelas untuk menoleh.
"Ini, ini apa?! Kenapa naro buku-buku cetak segede-gede bedul ini di meja gue, HAH?!"
Afif dkk. tertawa karena kalimat 'segede-gede bedul' yang dipekikkan Anggini. Lagian, apa tidak ada kata-kata yang lebih cool untuk digunakan saat marah?
"AAA! MAMI.. MEJA GUE BERANTAKAN! KESEL."
Naya—yang kalem dan seharusnya diam saja—tertawa tanpa bisa ditahan. Gigi kelinci yang menyembul di sela tawanya seakan mengejek di mata Anggini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saint | ssw, pcy, hmh
Fiksi PenggemarNamanya Wendy, an "angel" and a rare songs lover. Hidupnya baik-baik saja. Hingga secara tiba-tiba, semua jadi tak sama lagi untuknya. She turned herself into a "demon". © radiody12, bonkersheadswan; october 2017