Chapter 7 ; Suka?

159 34 6
                                    

Ting!

Aurina menoleh pada ponselnya yang ia letakkan di atas nakas disamping tempat tidurnya, mengintip notifikasi yang dikirimkan oleh nomor yang tidak dikenalinya.

Aurina menoleh pada ponselnya yang ia letakkan di atas nakas disamping tempat tidurnya, mengintip notifikasi yang dikirimkan oleh nomor yang tidak dikenalinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lah, kocak. Perasaan tadi gue nggak ngasih nomor gue, deh." ucap Aurina, kedua alisnya mengernyit sempurna.

Pandangan Aurina terus menatap layar ponsel tersebut yang masih setia berada dalam roomchat Zidan. Walaupun dirinya masih sedikit kesal pada Zidan atas kejadian sebelumnya, dimana ketua osis tersebut melaporkan dirinya yang pingsan kepada Ibu Feby, guru Bimbingan Konseling (BK) mereka. Sehingga kakaknya, Sadam, harus segera datang ke sekolah untuk menjemputnya.

Walau begitu, Aurina merasa tetap harus berterima kasih pada Zidan, yang ternyata menemaninya di UKS selama satu jam disana.

Walau begitu, Aurina merasa tetap harus berterima kasih pada Zidan, yang ternyata menemaninya di UKS selama satu jam disana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sadam yang melewati kamar adiknya seketika kaget, ketika mendengar suara cekikikan dari dalam kamar adiknya. Bahkan, saat ingin melangkah kembali, terdengar suara Aurina yang berteriak histeris seperti melihat hantu.

"Woi! Kenapa lo?!" teriak Sadam, beberapa kali mengetuk pintu kamar Aurina.

Pintu kamar yang diketuk pun akhirnya terbuka, terlihat wajah Aurina yang pipinya terlihat merah merona. Sadam sampai dibuat terheran oleh adiknya.

"Lihat apa lo? hantu?" tanya Sadam.

"Sembarangan, lagian lo ngetuk kamar gue ngapain?" kesal Aurina.

Sadam menatap adiknya dengan tatapan curiga, ia menyipitkan kedua matanya, tangannya mengusap dagunya pelan. "Cowok mana yang buat lo salting?" ucapnya.

"Dih.. Sok tau!"

"Pipi lo, nggak bisa bohong."

Aurina segera menangkupkan kedua tangannya di pipinya. Melihat hal itu, kini gantian Sadam yang cekikikan melihat tingkah laku adiknya.

"Ada Dikta, tuh. Di bawah, ruang tamu." ucap Sadam.

"Ngapain? kok nggak bilang daritadi, sih?"

"Sengaja."

"Biar apa?"

"Biar Dikta nggak mau lagi kesini, dan gue nggak jadi nyamuk lo lagi."

Aurina hanya menatap kakaknya tajam, segera dirinya berlari menuruni anak tangga, menemui Dikta yang terlihat berbincang dengan ibunya.

Terlihat pandangan ibunya tampak khawatir karena Aurina yang berlari, apalagi gadis itu belum sehat sepenuhnya.

"Pelan-pelan, gue nggak lari, kok." ucap Dikta.

"Kenapa nggak ngabarin kalau mau mampir?"

"Biasanya emang butuh izin?"

Aurina terlihat sedang berpikir. "Nggak, sih." ucapnya.

Pandangan Aurina kini beralih pada sebuah buket bunga yang bersandar di samping Dikta.

"Ih, itu buat siapa, Kak?" tanya Aurina

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ih, itu buat siapa, Kak?" tanya Aurina.

"Buat lo." jawab Dikta, "Lain kali utamain kesehatan lo, masa cuma karena mau manggung dan lo sampai lupa makan." lanjutnya.

Aurina hanya terkekeh, menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali. Ia kemudian ikut bergabung duduk di sofa disamping Dikta, terlintas di pikirannya untuk menanyakan sesuatu yang sangat ingin diketahuinya.

Sstt.. Sstt..

Aurina berbisik menganggil Dikta, namun yang di panggil tidak bergeming dari ponselnya, mengetik sesuatu yang sepertinya terlihat penting.

Sstt.. Kak Dikta.. Woi!

Dikta pun menoleh padanya. "Kenapa?"

"Mau nanya, boleh?" ucap Aurina dengan mata yang berbinar, terlihat bersemangat dengan apa yang akan ia tanyakan.

"Tanya aja, kenapa harus izin." ucap Dikta

Aurina terlihat berpikir sejenak, ada sedikit rasa segan untuk bertanya tentang hal tersebut pada Dikta. Namun, menurut Aurina, kesempatan untuk menggali informasi akurat yang hanya bisa diperoleh melalui Dikta.

"Tapi, lo jangan bilang siapa-siapa, yah!" ucap Aurina

"Iya."

"Zidan masih pacaran sama Kak Kanaya?"

Pertanyaan tersebut berhasil membuat Dikta terdiam kaku, tangan yang semulanya sibuk mengetik di ponselnya pun berhenti kala mendengar hal tersebut keluar dari bibir Aurina.

Raut wajah yang sebelumnya begitu semangat menanti jawaban Dikta, kini merutuki dirinya dan menyesali pertanyaan bodoh yang baru saja ia lontarkan.

Dikta terlihat menghembuskan nafasnya gusar, "Kenapa nggak tanya langsung sama orangnya?" jawabnya.

Aurina menunduk, keberaniannya menciut tak berani menatap wajah Dikta. Bahkan, perkataan Dikta pun menjadi angin lalu olehnya, karena terlalu rumit baginya untuk menjawab hal tersebut.

Ruang tamu menjadi hening beberapa saat, sebelum akhirnya Dikta beranjak dari duduknya.

"Gue pulang, besok gue jemput seperti jam biasanya ." ucap Dikta.

Aurina mengangguk pelan. Ia berjalan dengan pandangan yang tertunduk mengikuti langkah kaki Dikta yang berjalan menuju pintu rumahnya, hingga Aurina tak sadar bahwa Dikta telah berhenti melangkah, membuat dirinya menabrak punggung Dikta.

Merasa ada yang aneh pada Aurina, akhirnya Dikta membalikkan badannya dan bertanya.

"Lo suka sama Zidan?"

***

AURINA [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang