Chapter 8 ; Ungkapan

141 28 5
                                    

Suasana di lapangan kembali terlihat ramai dipenuhi pemain club basket, seperti biasanya. Sama halnya dengan kantin sekolah, yang tak pernah sepi di waktu istirahat.

Setelah hari perayaan Dies Natalis, Aurina yang masih berstatus murid baru, dengan cepatnya dikenal oleh banyak orang di SMA ANGKASA. Tidak sedikit murid cowok yang mengajaknya kenalan, namun hal tersebut terhalang oleh Dikta yang senantiasa berada di dekat Aurina.

Siang itu, Aurina harus mengambil beberapa buku di perpustakaan, untuk melengkapi catatan miliknya yang sedikit ketinggalan karena izin kemarin.

Koridor menuju perpustakaan cukup sepi, berbeda dengan koridor yang mengarah ke kantin, ramainya luar biasa. Aurina berjalan sendirian menyusuri koridor, di sepanjang jalan menuju perpustakaan, Aurina bersenandung indah menyanyikan lagu yang kemarin ia persembahkan di acara sekolah.

"Lagi suka sama seseorang, yah?" tanya seseorang yang berjalan di belakangnya, suara yang begitu familiar di telinganya.

"Bukan urusan lo." ketus Aurina, namun ia merutuki dirinya kemudian karena terlalu menjauh dari Zidan, padahal Zidan hanya biasa saja padanya.

Zidan mempercepat langkah kakinya, "Ikut gue." ucapnya, menarik tangan Aurina untuk ikut berlari mengikutinya.

"Mau kemana, sih?" Tanya Aurina, sorot matanya terus melirik tangan Zidan yang kala itu mencengkeram pergelangan tangannya.

Setelah memperhatikan kemana arah Zidan membawanya, Aurina tidak asing dengan jalan yang mereka lewati, samar terlihat pintu besi tua yang mengingatkan Aurina pada pertemuan pertamanya dengan Zidan. Benar saja, Zidan ingin mengajak Aurina untuk bolos.

Tepat saat mereka melewati pintu besi tua tersebut, Aurina menghentakkan genggaman tangan Zidan dan berhenti mengikutinya.

"Kita mau kemana, sih? Jawab dulu!" pintah Aurina.

"Karena lo anak baru, gue rasa perlu bagi lo untuk tau tempat indah di sekitar sekolah. Lo ikut aja, percaya sama gue." ucap Zidan.

Sebenarnya, sudah beberapa hari Zidan bingung dengan dirinya sendiri. Dari hari pertama dirinya bertemu dengan Aurina, ia sama sekali tidak peduli dan tidak mau tau. Akan tetapi, semesta terus mempertemukan mereka pada kebetulan-kebetulan yang tak terduga, membuat Zidan menjadi pribadi yang berbeda saat di hadapan Aurina.

Zidan yang sebelumnya dikenal sebagai pembuat masalah, sulit diatur, dan bersikap cuek pada sekitarnya. Namun, hari dimana Aurina menumpahkan lemon tea di seragamnya, dan menjadi perempuan pertama yang memakinya, itu adalah suatu pengalaman yang menarik baginya.

"Gimana? mau ikut nggak?" tanya Zidan, tidak ingin memaksakan kehendaknya sendiri.

Tampak raut wajah Aurina terlihat bingung, disisi lain entah kenapa dirinya bisa merasa senang saat melihat Zidan dihadapannya. Hati kecilnya seolah berkata bahwa, sekali-kali bolos di jam pelajaran terakhir tidak masalah.

Pada akhirnya, Aurina mengangguk setuju. Terlihat Zidan tersenyum lebar sehingga memperlihatkan lesung pipinya yang terlihat begitu jelas, tangan Zidan segera menuntun Aurina menyusuri jalan yang mereka tuju.

Terlihat dari ujung pandangan Aurina, sebuah dermaga terbentang indah, untuk pertama kalinya Aurina mengetahui bahwa tempat seindah itu berada tak jauh dari belakang sekolahnya.

Zidan bergerak membersihkan beberapa daun yang berguguran disana, begitupun dengan Aurina yang mengikuti apa yang dilakukan Zidan.

Setelah merasa cukup bersih, mereka kemudian duduk, berdampingan layaknya teman akrab.

"Oh, jadi lo sering bolos itu, larinya kesini?" tanya Aurina.

Zidan mengangguk, "Gue selalu kesini bareng Mahesa" ucapnya.

"Terus, kenapa hari ini lo ngajak gue? bukan Mahesa?" tanya Aurina, kedua alisnya tertaut dan telihat bingung.

"Karena gue ada urusan sama lo." jawab Zidan.

Angin berhembus pelan, membuat beberapa helai rambut Zidan sedikit teracak. Aurina terus menatap lawan bicaranya, ia terlihat menunggu Zidan menjelaskan maksud dari perkataannya.

Aurina menghela napasnya kasar. "Bisa ngomong nggak? gue daritadi nungguin, lo ada urusan apa sama gue?!" kesal Aurina.

Melihat gadis dihadapannya terlihat kesal, tawa Zidan pun pecah kala itu.

"Lo lucu, deh. Mirip banget sama Angry Bird, yang warna merah." ucap Zidan yang tertawa sampai memegangi perutnya.

Dan, benar saja. Aurina terlihat mengepalkan kedua tangannya, menahan kesal dan segera bersiap untuk beranjak meninggalkan Zidan.

Tetapi, saat Aurina baru saja berdiri dari duduknya, tangan Zidan lebih dulu berhasil mencegah gadis itu pergi. Hanya saja, tangan Zidan bukannya menarik tangan Aurina, melainkan ia menarik kaki Aurina, menyebabkan gadis itu tersungkur jatuh hingga membuat kedua telapak tangannya lecet.

"Gue nggak sengaja, sorry, Na." ucap Zidan membantu Aurina berdiri.

Aurina sontak menoleh, saat mendengar Zidan memanggilnya dengan sebutan itu.

"Lo barusan panggil gue apa?" tanya Aurina.

"Na. Aurina." jawab Zidan.

Aurina terdiam kaku. Pipinya kian memerah tanpa alasan. Panggilan 'Na' hanya biasa disebut oleh Dikta, bahkan keluarganya tidak memanggilnya dengan sebutan itu. Namun, entah kenapa saat Zidan menyebutnya, seperti ada listrik di hatinya.

"Pipi lo, merah." ucap Zidan, dengan polosnya mengusap pipi Aurina karena penasaran dengan warna pipinya.

Ckrek!

Suara kamera ponsel terdengar berada tak jauh dari sekitar mereka, Zidan mengedarkan pandangannya, mencari darimana sumber suara tersebut berasal.

AURINA [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang