TIGA hari berlalu dengan cepat, sedangkan Emily masih belum bisa menebak siapa pelaku yang mengiriminya SMS misterius.
Sungguh, jauh di dalam lubuk hatinya ia sama sekali tak ingin untuk mempercayai, apalagi menuruti perkataan orang ini. Ia juga ingin menceritakan perihal masalah ini pada Jesse, tapi ... batinnya memberontak.
Bagaimana jika orang itu memang mengetahui apa penyebab Elizabeth meninggal?
Bagaimana jika orang itu tidak akan memberitahu Emily tentang Elizabeth, jika ia menceritakannya pada Jesse?
Bagaimana jika orang itu hanyalah penipu yang berniat untuk mempermainkan Emily?
Bagaimana, bagaimana dan bagaimana. Beribu-ribu pertanyaan menyelinap masuk ke dalam otaknya setiap hari hingga membuat sakit kepala yang ia alami semakin memburuk. Tidak hanya itu, Emily juga sering mimisan dan demam tinggi belakangan ini.
"Selamat pagi."
Sapaan Bu Vina membuat Emily tersentak dari pikirannya sendiri. Gadis itu menegapkan tubuhnya lalu memperbaiki posisi duduk hingga tubuhnya menghadap lurus ke depan.
"Kalian semua sudah tahu? Shania, Fanya dan Rebecca dikeluarkan dari sekolah?"
Pernyataan Bu Vina itu sukses membuat satu kelas heboh. Tentu saja, ketiga gadis itu memang tidak pernah masuk sekolah lagi sejak insiden pembullyan terhadap Emily. Dan sekarang, mereka tiba-tiba dikeluarkan?
"Mereka bertiga ketahuan menggunakan narkoba." Bu Vina menambahi penjelasannya sembari menghela napas, "Ibu harap, kalian semua sudah cukup dewasa untuk tidak menggunakan benda terlarang semacam itu. Jadi tolong, jangan tiru kelakuan teman kalian. Mereka sudah rusak dan tidak mau dituntun ke jalan yang benar."
Perkataan Bu Vina selanjutnya sudah tidak lagi di dengarkan oleh Emily. Daripada ceramah dari seorang ibu guru muda, Emily lebih tertarik untuk melirik ke arah pacar sekaligus teman sebangkunya yang sedaritadi hanya memasang ekspresi datar.
"Kenapa natep gue gitu? Gue tahu gue cakep Em."
Emily memutar bola matanya jengah. Kemudian, ia menopangkan kepalanya pada tangan tanpa mengalihkan pandangan.
"Lo ... yang ngeluarin mereka, Jess?"
Jesse mengangguk, "Ho'oh. Gue sewa detektif buat mata-matain tuh tiga uget-uget and boom! Gue dapet info mencengangkan. Gue bahkan gak nyangka kalau mereka segila itu."
"Tapi ... bukannya agak berlebihan ya ngeluarin mereka dari sekolah?" Emily bertanya sambil menggaruk pipinya yang tak gatal.
"Ck. Lo itu terlalu baik sama orang lain, tapi terlalu jahat sama diri lo sendiri, Em. Lo sadar gak sih mereka itu yang nyiksa lo beberapa pekan yang lalu? Secepet itu lo lupanya?"
"Gue sadar kok," ucap Emily sambil menghela napas, "tapi ya ... maksud gue, emangnya perlu bertindak sampe sejauh itu?"
"Perlu. Gue kan sudah bilang, mereka bakal dapet balasan yang setimpal." Jesse kembali berdecak sebelum tangannya menoyor kepala Emily pelan, "Denger ya Emily pacarku sayang, kalo mau baik itu baik dulu sama diri sendiri, baru sama orang lain. Gue miris aja gitu lihat lo sebegitu jahatnya sama diri lo tapi bisa jadi sebaik ini sama tuh cabe."
Emily hanya bisa tertawa hambar sembari mengangguk, "Ya, gue bakal coba buat mencintai diri sendiri."
"That's good. Btw, balik ini lo bisa nganter gue ke bandara? Ya lo tahu, gue mau ke Korea, sedangkan orang tua lo balik hari ini 'kan?"
Emily mengangguk lemas, "Benar mereka pulang hari ini."
"Jadi, lo mau bareng gue atau gimana? Lo jemput mereka, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sugar Boy [COMPLETED]
Teen Fiction[Follow dulu untuk kenyamanan bersama🙏] Kehilangan seseorang yang pernah ada sebagai bagian dari hidupnya merupakan pukulan terbesar bagi Emily. Sejak kematian adiknya--Elizabeth, Emily bukan lagi Emily yang sama seperti dulu. Keadaan sudah berubah...