My Sugar Boy - Chapter 62 - Thankyou for everything

5.7K 419 7
                                    

EMILY memandang kosong langit-langit rumah sakit yang terasa suram untuknya. Entah sudah berapa lama ia terperangkap di dalam ruangan pengap ini. Ia muak.

Semua yang terjadi padanya terasa seperti mimpi. Rasanya baru kemarin Emily bercanda dengan Mikael dan Jesse. Tapi sekarang? Ia sudah tak punya tenaga ataupun kesempatan untuk melakukannya lagi.

Pandangan Emily teralih ke arah Bi Ira yang tampak sangat diam, berbeda dari biasanya. Sikapnya itu berubah setelah dokter tadi mengajaknya berbicara di luar ruangan.

Tentu Emily tahu, semuanya akan berakhir. Semua yang ia alami di dunia ini sebentar lagi akan ia tinggalkan.

Emily tak perlu penjelasan dokter lagi. Ia sudah tahu semuanya.

"Bi," panggil Emily dengan susah payah. Tubuhnya memang masih sangat lemas, lehernya masih bengkak dan ia merasa sesak napas. Tapi semuanya lebih baik di saat malam. Entah bagaimana, Emily lebih tersiksa ketika siang tiba.

"I-iya, Non?" Bi Ira bangun dari tempat tidurnya dengan tergesa-gesa sembari berjalan mendekati Emily. Ia tampak bingung karena nonanya tiba-tiba saja memanggil di saat wanita paruh baya itu tengah sibukd dengan pikirannya sendiri.

Perkataan dokter tadi sungguh menganggu Bi Ira. Ia bilang, umur Emily mungkin tidak akan lama lagi. Kanker itu sudah menyebar dengan begitu cepat ke seluruh tubuh. Jika saja Emily memeriksakan diri lebih cepat, mungkin ia bisa selamat dan kanker itu pasti bisa dibasmi.

"B-bisa ... tuliskan a-aku s-sesuatu?" Emily berucap dengan susah payah.

Bi Ira sempat bingung. Namun dengan sigap, ia segera mengambil selembar kertas dan pena yang memang disediakan untuk Emily dengan maksud, bila gadis itu kesulitan untuk berbicara maka ia bisa menggunakan pena dan kertas untuk menulis sebagai alat komunikasi.

"Tulis apa, non?" Bi Ira sudah siap di posisinya. Ia menunggu Emily bicara karena memang kondisi gadis itu mengerikan. Untuk berbicara saja, Emily butuh banyak usaha.

"Surat ... untuk Jesse."

***

"Jess, capek?" Mikael menyerahkan sebotol air mineral ke arah Jesse lalu meyandarkan kepalanya sendiri sembari menatap langit yang tampak cerah. Ya, mereka berdua sudah sampai di LA. "Gue suka di sini ... tenang."

"Gue juga," balas Jesse setelah ia menegak habis air mineral yang Mikael berikan. Mereka berdua habis melakukan olaraga basket singkat. Sebuah rutinitas yang sangat jarang Jesse lakukan, tapi ia senang bisa bermain dengan Mikael di sini. "Gue suka di sini ... ga ada tempat kenangan dengan dia."

"Hmm, lo harus berhenti mikirin dia kalo mau move on." Mikael menepuk-nepuk pundak Jesse pelan. "Lagian besok kita sudah ga bisa keluar-luar lagi. Ga bisa pegang ponsel. Ga bisa mikirin yang lain lagi karena jadwal kita padat banget. Jadi lo tenang aja ... ga bakalan ada waktu buat lo mikirin dia lagi."

"Menurut lo, Emily bakalan sembuh?" Jesse bertanya sembari membayangkan bagaimana nantinya Emily pulih dari penyakit itu. Ia pasti akan menjadi seorang wanita dewasa yang cantik. Jesse yakin, mata hijaunya yang indah itu akan menarik banyak kaum adam untuk mendekat ke arahnya. Dan kebaikan hatinya itu pasti membuat banyak orang jatuh cinta.

"Mungkin?" Mikael mengendikkan bahu, tanda bahwa ia tidak tahu sekaligus tak mau tahu. Pelatihan karantina ini adalah salah satu metode terbagus untuk Jesse. Ia perlu lingkungan baru yang fresh. Ia juga butuh kesibukan agar tidak berlarut-larut dalam kesedihannya. Jika dilihat dari sini, Mikael memang jauh lebih dekat dengan Jesse dibandingkan Tyler.

Mereka berdua dan polisi sudah mencari keberadaan Tyler, namun lelaki itu benar-benar hilang tanpa jejak. Hingga Jesse dan Mikael kemudian mendapat panggilan modeling dari salah satu brand ternama di mana mereka berdua harus dikarantina.

Kesempatan ini bagaikan sebuah peluang besar bagi keduanya. Dari beribu-ribu peserta, mereka berdua lolos dan berhasil masuk menjadi salah satunya. Mikael bangga dengan dirinya sendiri, ia juga bangga dengan Jesse. Masalah Tyler, mereka hanya bisa menyerahkan semuanya ke tangan polisi.

Lagipula saat ini Emily tengah terbaring di rumah sakit berkat penyakitnya, bukan karena asap yang mungkin Tyler sebabkan.

Justru, jika memang benar Tyler yang menyebarkan asap di dalam gedung dan ialah yang menemui Emily di sana, maka ia adalah penyelamat untuk Emily sendiri.

Kenapa?

Karena dari yang Mikael dengar, Emily tidak pernah mau memeriksakan diri ke rumah sakit sebelumnya. Dan karena tragedi itu, ia terpaksa dibawa ke rumah sakit dan dokter tidak sengaja menemukan penyakitnya hingga ia bisa dirawat dengan cepat.

Bukankah secara logika, Tyler sudah menyelamatkan Emily?

"Gue harap dia cepet sembuh," gumam Jesse pelan, ia menarik seulas senyum dari bibirnya. "Gue sekarang gak muluk-muluk. Gue cuma mau dia bahagia. Itu aja. Meskipun orang yang ngebahagiain dia ... bukan gue."

Mikael menghela napasnya pelan. Lagi-lagi, ia merasa kasihan, sedih, sekaligus marah ketika melihat fake smile Jesse.

Bohong sekali.

Ia sama sekali tidak baik-baik saja hingga bisa tersenyum seperti itu.

Ia pasti tidak rela melihat Emily berbahagia dengan orang lain seperti dirinya.

Lantas kenapa ... kenapa ia berpura-pura seakan ia sudah rela?

Kenapa ia bersikap seakan dia baik-baik saja?

"Gue juga harap dia bahagia, Jess." Mikael mengulangi sembari berusaha meredam emosinya. Ia berpikir dari dua sudut pandang. Sudut pandang Emily dan Jesse. Setelah memikirkannya ulang, Mikael tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Emily atas keputusannya.

Tapi mau bagaimanapun juga, naluri sahabat lebih kuat. Mikael tidak rela Jesse terus-terusan hancur dengan alasan yang sama.

"Lo harus inget satu hal." Mikael menggeser tubuhnya lalu menatap mata cokelat milik Jesse serius, "Lo enggak ninggalin dia. Lo ada untuk dia di saat-saat terhancurnya. Lo selalu ada. Lo enggak pernah pergi menjauh dari dia. Tapi dia yang mendorong lo. Dia yang gak mau ketemu sama lo."

"Kok?" Jesse mengernyitkan dahi mendengar perkataan Mikael. Aneh sekali tiba-tiba Mikael membicarakan perihal masalah ini. "Aneh banget lo tiba-tiba ngomong gitu."

"Ya," ucap Mikael sembari memutar bola basketnya di tangan, "Gue cuma gakmau ... di saat terjadi sesuatu dengan Emily, lo malah nyalahin diri lo sendiri."

"Maksudnya?" Jesse kembali mengerutkan dahi, tapi kali ini ia tidak suka dengan perkataan Mikael. Entah kenapa, sahabatnya ini seperti mengisyaratkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada Emily dan Jesse benar-benar membenci perasaan ini.

"Gak, cuma ngingetin doang." Mikael berdiri dan berlari meninggalkan Jesse yang masih terpaku pada tempatnya.

Kemudian setelah berlari beberapa putaran, Mikael kembali menoleh ke arah Jesse sembari meringis pelan.

"Gue pikir dia bakal nyembuhin lo dan ngajarin lo apa arti cinta. Ternyata gue salah, Jess. Dia malah semakin nyakitin lo."

***

Tyler memegang cairan bening yang baru saja ia dapatkan secara ilegal. Ia suka sekali dengan obat-obatan semacam ini. Membunuh secara perlahan tapi pasti.

Semuanya sudah disiapkan. Ia sudah menentukan tanggalnya dan hari itu akan terjadi ... besok.

"See you tomorrow, little girl."

***

My Sugar Boy [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang