"Lo!"
Tyler menatap tajam ke arah Emily. Seluruh emosi yang sudah ia tekan mati-matian sejak awal masuk sekolah sudah lepas dengan liarnya. Ia sama sekali tidak peduli dengan dampak dari tindakannya setelah ini. Tapi bagi Tyler, kehilangan Elizabeth berarti kehilangan segalanya.
Elizabeth bunuh diri karena Emily. Ia bunuh diri karena merasa Emily membencinya. Oleh karena itu, Tyler dendam setengah mati dengan gadis ini.
Bagi Tyler, Emily sudah merebut semua yang ia punya.
Bagi Tyler, Emily adalah penyebab dari semua rasa sakit yang Elizabeth alami.
Oleh karena itu, Emily juga harus merasakan apa yang Elizabeth rasakan.
Mata dibalas mata.
Gigi dibalas gigi.
Nyawa dibalas nyawa.
Bukankah begitu?
Tyler sudah menendang, menampar bahkan memukul Emily hingga wajah gadis itu babak belur. Ia yakin, kaki Emily sudah tak mampu lagi berdiri karena kemungkinan besar tulangnya patah berkat tindakan Tyler.
Tyler tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya, tapi baginya semua ini sudah cukup setimpal dengan apa yang Elizabeth rasakan. Meskipun tindakannya tidak sampao di sini saja.
Elizabeth yang malang ... ia pasti sangat menderita.
Ia pasti sengsara sambil memikirkan Emily waktu ia menyayat nadinya sendiri. Hari itu, hampir tiga tahun yang lalu.
Tyler berjalan mendekati sebuah tombol yang Emily tidak tahu pasti kegunaannya. Sebelum menekan tombol itu, lelaki itu menyeringai sesaat dan memandang Emily sinis.
"Tyler, lo mau apa?" Emily bertanya dengan susah payah karena napasnya tiba-tiba saja tercekat. Entah bagaimana, gedung ini mendadak berasap dan Emily merasa sesak karenanya.
Sungguh, ia tidak bisa bernapas.
Tyler mengeluarkan sebuah alat dari pinggiran gedung dan memakainya. Itu masker yang biasanya digunakan agar tidak terhirup asap dan segala macam udara beracun.
"Sudah gue bilang, gue gak bakalan ngotorin tangan gue buat bunuh lo," ujar Tyler dengan senyumnya yang mengembang sempurna.
Emily tidak bisa melihat dengan jelas lagi karena rasa sesak itu memenuhi paru-parunya. Ia terbatuk-batuk kencang dan berusaha untuk mendapatkan oksigen, tapi yang ada napasnya malah semakin pendek.
"Rasakan." Tyler berucap tajam, membuat Emily mendongak dengan susah payah. "Rasakan bagaimana sakitnya. Rasakan betapa sengsaranya setiap detik. Rasakan bagaimana menderitanya ketika kausekarat!"
Tyler tertawa lagi, namun karena tawanya itu pula, Emily menangis meskipun tidak bersuara.
"Elizabeth pernah sekarat seperti yang lo alami sekarang Em. Dan dari semua ini, gue pengin lo mati secara perlahan-lahan. Nikmati rasa sakitnya, dan segera matilah. Karena gue sudah muak melihat wajah lo!"
Emily tidak lagi mendengarkan perkataan Tyler selanjutnya karena napasnya sudah benar-benar terputus. Ia bahkan sudah bertingjah seperti orang yang terkena asma.
"Selamat tinggal Emily Heather. Sampai jumpa di neraka."
Tyler berjalan keluar dari gedung dan meninggalkan Emily sendirian, dengan senyum penuh kelegaan yang terpasang di wajahnya.
***
"Jess! Astaga lo itu kenapa sih?" Mikael bertanya frustrasi karena Jesse sedaritadi bertingkah laku layaknya orang gila yang hampir kehilangan pacarnya. Gila, padahal ia baru saja bertemu dengan Emily, tapi kenapa sekarang ia malah bersikap seolah Emily akan meninggal?
"Gue udah hubungin Aryo, Kel.
Tapi dia belum nelepon gue lagi," gumam Jesse dengan suara bergetar.Saat ini, ia sedang berada di dalam mobil bersama dengan Mikael. Mereka berdua sedang menunggu kabar dari Aryo--teman yang sering clubbing bersama Mikael, Jesse dan Tyler.
Aryo itu sangat jago dalam urusan lacak-melacak, oleh karena itu Jesse menyerahkan sepenuhnya kegiatan tersebut padanya. Ia yakin, Aryo tahu di mana keberadaan Emily.
Jesse tahu, Mikael berpikir ia gila. Tapi, ia tidak masalah jikalau Mikael mau berpikir hal yang tidak-tidak tentangnya. Tapi, sekarang ia merasa sangat cemas. Seolah hidup Emily sedang berada di dalam bahaya.
"Lo baru nelepon dia 47 detik yang lalu Jess, Ya Tuhan!" Mikael menutup wajahnya dengan kedua tangan sembari menghela napas berat. "Diem dulu, tarik napas dan tenangin diri lo. Jangan panik gitu karena lo nantinya gak bakal mikir jernih dan rasional."
Jesse mengigit bibir bawahnya sebelum melemaskan bahunya. Ia menarik napasnya pelan dan menghembuskannya secara perlahan, sesuai dengan instruksi Mikael.
TRTTT TRTTTT
Suara ponsel yang bergetar refleks membuat tubuh Jesse kembali menegang. Ia mengambil benda pipih itu dengan cepat, lalu menekan tombol hijau sebagai tanda bahwa ia mengangkat telepon.
"Hallo, di mana Emily?!" tanya Jesse langsung tanpa basa-basi.
Aryo tampak tertegun sejenak di tempatnya. Baru kali ini ia melihat Jesse sepanik dan separanoid ini karena seorang wanita. Biasanya, lelaki itu termasuk dalam kalangan cool dan tidak ambil pusing ketika ada yang ingin berkenalan atau menarik perhatiannya.
Malah, Aryo sempat berpikir kalau Jease itu gay atau aseksual karena kebiasaannya yang senang mengacuhkan wanita, di saat lelaki lain berusaha mati-matian untuk menarik perhatian kaum hawa itu.
Jadi ... sekarang ia sudah menemukan tempat di mana hatinya berlabuh?
"Aryo!" sentak Jesse yang membuat Aryo terkesiap karena terkejut. Sempat terdengar deru napas sejenak sebelum Aryo menenangkan dirinya dari keterkejutan itu.
"Cewek yang lo cari ada di jalan pahlawan, gedung xxx, Jess. Di sana rawan karena sepi. Gue bingung kenapa dia di sana."
"Gedung?" Jesse mengernyit.
"Iya."
"Bisa lo perjelas gedungnya semacam apa supaya gue mudah carinya?"
"Gedung tua warna putih. Dulu itu pabrik tapi semenjak mereka bangkrut, gedung itu gak digunain lagi."
Jesse merasa napasnya tercekat saat mendengar informasi dari Aryo.
Untuk apa Emily datang ke gedung tua yang tidak berpenghuni lagi?
Sungguh! Sebenarnya apa isi dari kepala cantik itu, Ya Tuhan?
Kenapa Emily hanya pintar di pelajaran, tapi tidak pintar di dalam kehidupan sosial?
"Aryo bilang apa, Jess?" tanya Mikael dengan kening yang berkerut karena Jesse tampak terdiam dan hanyut dalam pikirannya untuk sejenak.
Jesse menoleh dan menatap Mikael, "Pasang GPS ke jalan pahlawan gedung xxx, Kel. Emily ada di sana," jawabnnya.
Mikael mengangguk patuh tanpa mau banyak protes. Ia mengaktifkan ponselnya lalu mencuri-curi pandang ke arah Jesse. Sebenarnya, ia merasa bersalah karena sempat meragukan insting Jesse dan menganggap lelaki itu gila.
Sedangkan Jesse menghidupkan mesin mobilnya. Memasang sabuk pengaman dan melirik ke arah Mikael sejenak.
"Pasang sabuk pengaman Kel," ujar Jesse dengan nada datarnya. "Karena gue, bakalan ngebut."
Sebelum Mikael sempat bereaksi, Jesse sudah menekan gas sekuat yang ia bisa, membuat Mikael hampir saja mati karena terkejut.
Di dalam hati Mikael, ia berharap Emily baik-baik saja di sana. Dan lagi, ia berharap mereka berdua akan sampai dengan selamat ke gedung itu karena Mikael belum mau mati sekarang.
Tidak, ia masih ingin menikah dan memiliki anak.
Setidaknya begitu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sugar Boy [COMPLETED]
Fiksi Remaja[Follow dulu untuk kenyamanan bersama🙏] Kehilangan seseorang yang pernah ada sebagai bagian dari hidupnya merupakan pukulan terbesar bagi Emily. Sejak kematian adiknya--Elizabeth, Emily bukan lagi Emily yang sama seperti dulu. Keadaan sudah berubah...