Nikmatilah hujan, sebab tempiasnya mampu mendamaikan rasa bosan yang menyelimuti hati.
Aletha POV's
Hujan?
Hujan membangunkanku rupanya. Ah, bukan. Ternyata kucing yang membangunkanku. Dia menjilat pipiku dengan mata sendu yang sepertinya menahan lapar dan lelah. Meskipun kepalaku belum pulih sempurna, aku berjalan pelan mencari pohon berkanopi lebar. Hujan memang masih mengenai tubuhku, tetapi aku takut kucing di pangkuanku terkena hujan.
Di saat aku mengucap bulu kucing yang lebat ini dengan jariku yang ringkih, aku melihat seekor rusa berlari kencang kemudian melompat—yang sialnya gagal karena kakinya terbentur pohon. Bukannya menolong, aku malah tertawa terbahak-bahak. Selera humorku memang receh. Bahkan aku kerap tertawa terbahak-bahak ketika Zake—saat itu dia dengan PD-nya pergi membeli celana dalam ke tukang kue—hanya karena kataku di sana menjual celana dalam. Lucu, bukan? Ah, Zake. Sepertinya aku telah jatuh cinta padanya.
Lima menit aku menunggu. Syukurlah hujan turun sebesar pasir, jadi aku bisa melanjutkan perjalanan. Di saat kakiku berjinjit dan pandanganku mengedar, tiba-tiba bongkahan—sepertinya bongkahan bulu—melayang dari atas kemudian terambau di sampingku. Mataku membeliak tatkala melihat bongkahan bulu ini ternyata tubuh rusa yang tadi terjatuh karena kakinya tersandung pohon.
Sontak aku menjerit histeris. Kucing yang kupegang serta-merta meloncat kemudian berlari tunggang-langgang menembus hutan. Beberapa detik kemudian, rombongan orang berpakaian rapi berjalan menghampiriku. "Apa yang sedang—what the hell is that!" kata perempuan berambut panjang semampai. "Are you okay?"
"Yah, aku baik-baik saja." Mereka tersenyum mencurigakan, terutama laki-laki kurus bermata tajam di depanku. Nafasnya terengah-engah, dan aku tidak mengerti kenapa nafasnya bisa tidak teratur seperti itu.
"Tentu, kamu akan baik-baik saja."
"Kalian mau ke mana?" tanyaku. "Ngomong-ngomong namaku Aletha," lanjutku.
"Aku Sean, dia Sacha, pria kurus di depanmu Tom, dan pria besar kayak beruang itu namanya Richard," jawab wanita yang bertanya padaku tadi.
Mataku menatap penuh selidik ke arah Ricard. Ototnya ada di mana-mana, wajahnya sangat sampan sekali, dan garis wajahnya tegas menandakan dia seorang pemimpin yang bisa diandalkan. Namun bukan itu yang menjadi perhatianku sekarang, melainkan aku tertarik melihat tisue di tangannya yang banyak bercak merah seperti darah.
Sepertinya mereka menyadari arah pandangku. "Sambal saus yang kami bawa. Sebagian tumpah di baju Richard, jadi dia membersihkannya dengan tisue." Tetapi kenapa warnanya merah sekali, ya?
"Kamu percaya?" kata Tom.
"Tidak," sahutku.
"Anak pintar karena memang itu bukan saus sambal," jawabnya. "Jadi apa menurutmu itu?"
"Darah."
"Anak pintar." Mereka semua tertawa. Entah kenapa kini aku merasa terancam. "Itu memang darah. Darahku," imbuhnya kemudian memperlihatkan bagian tengkuknya yang berdarah.
Hujan sepenuhnya telah berhenti. Cahaya matahari terlihat memasuki celah pohon di hutan ini. Sementara angin mulai mengembus, membuat suhu di tempan ini semakin dingin.
"Kami dari kota," kata Tom pelan. "Kami sedang mendaki ke puncak gunung. Bisakah kamu menujukan ke mana arahnya?" katanya ramah.
Mendadak tatapannya mendamainkan dan membuatku nyaman. Hanya dengan sekali melihat aku tahu mereka berempat adalah orang baik. Maka dari itu kukatakan, "Aku tahu jalannya. Ayo aku antar, sekalian aku akan pergi ke rumah temanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Vampire : Aliza [On Hold]
Romance[20+] Pernah membayangkan kau adalah satu-satunya vampir yang tersisa di dunia ini? Perkara aku mencintainya tetaplah sama. Tak peduli angin membawaku dari zaman ke zaman, dermaga ke dermaga, gerbong kereta ke gerbong kereta ... sejatinya perasaan i...