"Aletha!"
Tak henti-hentinya aku mencari dia. Bagaimana ini? Mungkinkan Aletha pingsan dan terperosok ke jurang? Kurasa aku harus cepat mencari sebelum hujan kembali merabak dengan derasnya. Mungkin lain kali aku akan melarangnya untuk pergi ke rumahku sendirian. Terlalu berbahaya dan terlalu beresiko.
Nahasnya selama 1 jam aku mencari, belum kutemukan juga dia. Aku lelah. Aku akan kembali ke rumah untuk minum dan kembali melanjutkan pencarian. Sesampainya di depan pintu, aku mendengar suara kikik tawa yang sangat kukenal. Tawa renyah nan riang itu sudah pasti dia.
"Aletha!" teriakku. "Ke mana saja kamu!" Dia terlonjak. Tubuhnya berdiri menatapku dengan alis terangkat, lalu bola matanya yang hitam itu memutar seperti bola.
"Aku ada sini, Zake. Kamu jangan berteriak, kalau Ayah kamu lompat terus boneka kayu yang dia pegang hancur gimana?" Aku melihat boneka kayu mirip kera. "Oh itu gambar wajah kamu." Shit. "Lucu, bukan? Aku buat itu semalaman, tapi karena Kakakku yang gendut itu terus memaksaku untuk membuat sup kacang merah untuknya, jadi ... ya ampun! Kamu terluka?"
Aku melihat luka di kakiku yang mulai mengering.
Aletha langsung mengambil obat-obatan lalu dengan sigap dia membersihkan lukaku. Melihat sikapnya yang seperti itu, aku urung memarahi dia. Rasanya, dia terlalu baik untuk aku marahi. Lagi pula dia selamat jadi tak perlu dipermasalahkan lagi.
"Ayah mau istirahat," kata Ayah menembus keheningan di tempat ini. Kami berdua mengangguk. Dia pun pergi menuju kamar sempit yang hanya ada tempat tidur dan lemari kecil di sudut meja.
"Sebentar lagi pesta Halloween, jadi kamu harus ikut, Zake." Aku memandang matanya lekat.
"Tapi itu acara sekolah kamu, tidak seharusnya aku ada di sana." Aletha memandangku bosan.
"Sejak kapan aku peduli akan hal itu? Kamu hanya perlu menyamar dan jadilah orang lain. Sesederhana itu, jadu jangan katakan kamu tidak bisa melakukannya karena jika itu terjadi, aku tidak akan datang ke sana."
Aletha menatapku—sepertinya menunggu jawabanku—tanpa berkedip. "Ya sudah jangan datang saja," kataku sambil terkeleh.
Aletha mengembuskan nafas panjang sembari membalut lukaku dengan plester. "Ya sudah, aku tidak datang." Dia terlihat murung. Entah kenapa aku merasa bersalah padahal kan niatnya aku cuma bercanda.
"Aku hanya bercanda, Aletha. Asalkan jangan kamu yang merias wajahku,"
Aletha mengangguk. Dia bangkit kemudian menarikku pergi, mungkin dia ingin kembali ke rumahnya, dan aku harus mengantarnya pulang. Tetapi ternyata Aletha malah mengajakku naik dahan pohon yang daunnya hampir habis meranggas.
"Tadi aku pingsan, pasti kamu mencariku, kan?" tanyanya pelan. Aku mengangguk. "Sepertinya penyakitku semakin parah. Jadi ... kamu harus mencariku kalau aku nggak ada." Kini dia tertawa lepas. "Kamu sudah berjanji akan menjagaku, karena kamu sahabatku, Zake. Sahabat terbaik yang aku punya."
Aku menelan ludah beberapa kali sebelum mengangguk kembali. Bintang mulai bersinar terang, mungkin karena awan sudah tertiup rata ke arah Barat.
"Aku berjanji akan berusaha mencari obat untukmu, Aletha. Kamu jangan khawatir."
"Tentu saja aku tidak khawatir. Aku bahagia."
"Serius?" Aletha mengangguk. "Jadi kenapa kita memanjat pohon?"
"Karena ...," ucapnya menggantung. "Aku menyembunyikan benda ini di sini!" serunya sembari mengeluarkan boneka rajutan berbentuk burung yang terlihat ... buruk rupa sekali. Sebisa mungkin aku menahan tawa supaya perasaannya tidak terluka. Tetapi sialnya aku tidak bisa menahannya. Tawaku menyembur, rasanya aku tidak pernah tertawa sekeras ini dan tentu saja Aletha marah kepadaku. Dia pergi sambil mendumel dan mengejekku tanpa ampun.
Tbc
Partnya masih pendek, sengaja lol 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Vampire : Aliza [On Hold]
Romansa[20+] Pernah membayangkan kau adalah satu-satunya vampir yang tersisa di dunia ini? Perkara aku mencintainya tetaplah sama. Tak peduli angin membawaku dari zaman ke zaman, dermaga ke dermaga, gerbong kereta ke gerbong kereta ... sejatinya perasaan i...