Andai dirinya bisa terbang melintasi setiap sudit alam bimasakti, aku yakin dia akan terlihat indah saat kupandang di bawah sini.
“Paman, Zaki! Ceritakan kembali soal putri cantik yang memakai gaun merah itu!” rengek anak laki-laki berambut ikal dengan mata sehijau zamrud di depanku.
“Benar-benar! Selama seminggu ini Adam menunggu paman Zaki! Paman ke mana sih?” Anak laki-laki bernama Adam tak kalah riang. Rabutnya hitam legam, matanya coklat dan hidungnya bangir seperti moncong buah jambu air.
“Saya juga penasaran,” kata perempuan berambut pirang sebahu.
Tipe-tipe anak pendiam dan tak banyak tingkah.
“Siapa namamu dan dari mana kamu berasal, gadis manis?” kataku sembari tersenyum ramah. Dia terpana melihatku. Gadis kuat. Biasanya anak baru yang telah kehilangan orang tuanya akan nampak murung dan tidak mau bicara. Tetapi tidak dengan gadis ini. Senyum sendu mencandu di bibir mungilnya selalu tersungging lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi. “Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan paman Zake?”
“Kata Ibuku, jangan pernah menyebutkan nama kepada orang asing,” kata gadis itu. “Meskipun wajah paman tampan dan bisa membuat hatiku cenat-cenut, aku tidak akan memberitahukan namaku pada Paman.” Aku terkekeh. Gadis sekecil ini telah melemparkan gombalan maut kepadaku?
“Yakin?” Dia tidak menjawab lagi. Aku berdeham beberapa kali sebelum akhirnya berkata pada anak-anak panti yang terletak di pinggiran kota Mosa. Kota yang menurutku hampir mati. “Karena ada gadis manis yang belum mendengar ceritanya dari awal, maka paman akan menceritakannya kembali. Kalian siap?”
“Siap, Paman Zake!” seru mereka serentak.
Aku mengangguk. Mataku memandang mereka satu per satu. “Pada suatu hari, hiduplah seorang pria yang tinggal bersama Ayahnya di hutan. Dia tinggal di gubuk tua yang hampir rubuh dimakan rayap. Pria yang sangat tampan, dia—”
“Aku yakin tidak setampan paman,” sela gadis manis berambut pirang itu. “Maaf aku menyela. Aku sebenarnya ingin berkata Ayahku lebih tampan dari Paman, tetapi kata Ibu, anak-anak yang suka berbohong pantatnya akan menghitam. Aku takut jadi aku harus mengakui wajah tampan paman yang mirip patung dewa-dewa Yunani itu.”
Anak kecil bernama Adam berkata, “Oh ayolah Aliza. Jangan banyak bicara dan dengarkan ceritanya.”
“KAMU TELAH MEMBERITAHUKAN NAMAKU PADANYA!” jeritnya membuat hatiku mencelus. Gadis pirang bermata biru itu bangkit sembari mengepalkan tangan. Detik berikutnya, karena aku tak tahu apa yang akan terjadi, Adam tersungkur ke belakang ketika pukulan Aliza telak menghantam wajahnya. Sudah pasti kejadian tak terduga itu membuat Adam menangis dan ikut berteriak marah.
Adam menghampiri Aliza sembari menangis. Tangannya mengepal marah. Kini aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Maka dari itu, sebelum hal yang sama terjadi pada Aliza, aku mengangkat Adam lalu kusimpan di atas pangkuanku.
“Paman Zaki lepaskan! Dia sudah memukul wajah Adam dan Adam harus memukulnya balik!” Semenjak kejadian itu beberapa anak lainnya menjauhi Aliza. “Dia wanita jahat, dia harus dikeluarkan di panti asuhan ini!”
“Aliza minta maaf sekarang!” kataku.
“Tapi—”
“Minta maaf atau kamu tidak akan mendengarkan cerita Paman.” Baiklah, sepertinya aku telah berlebihan.
“I-iya. Aku minta maaf Adam karena telah membengkokan hidungmu yang jelek itu.” Aku menghela nafas panjang sembari menyuruh mereka untuk tidak berbicara. Syukurlah mereka menurut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Vampire : Aliza [On Hold]
Romance[20+] Pernah membayangkan kau adalah satu-satunya vampir yang tersisa di dunia ini? Perkara aku mencintainya tetaplah sama. Tak peduli angin membawaku dari zaman ke zaman, dermaga ke dermaga, gerbong kereta ke gerbong kereta ... sejatinya perasaan i...