Papa, Izinkan?

8.7K 403 19
                                    

Pondok Pesantren Miftahul Khair Al- 'Ilmi atau yang sering disingkat orang-orang yaitu Pesantren Mikail, pondok pesantren ikhwan (laki-laki) adalah nama tempat papanya mengajar sejak 4 bulan terakhir ini karena baru saja dipindahkan dari SMAN 141.

Pesantrennya jauh di luar kota. Itulah yang menuntut ia tak bisa bertemu papanya dalam 5 hari sepekan belakangan ini, bahkan mungkin hingga seterusnya jika papanya tetap mengajar disana.

Ia sendiri duduk di bangku SMAN 141 kelas 11. Ia bernama Afyani Milyana. Nama depannya disalin dari nama papa dan mamanya, Fian dan Hani.

Andiani alias Dini dan Rinanti alias Rinan adalah nama kedua sahabat sekaligus sepupu. Dini juga kelas 11 namun tak sekelas dengannya sementara Rinan masih kelas 10. Mereka selalu bersama dan saling mengunjungi satu sama lain. Mereka bertiga adalah orang yang aktif dan senang bercanda bersama teman-temannya.

***

Jumat malam, papanya pulang. Seperti biasa, Afyani atau yang cukup disapa Aya menunggu kedatangan papanya beserta buah tangan yang tidak boleh sekalipun terlupa, kue-kue coklat.

"Papa!" Aya duduk di samping papanya yang baru saja tiba dan beristirahat di sofa. "Aku udah terima rapor, tadi."

"Iya, Papa tau. Kamu udah bilang gitu, kok, di telepon."

"Artinyaaa?" Aya mencoba memancing papanya.

"Apa?" kata Pak Fian dengan wajah datarnya.

"Masa nggak tau, sih? Artinya pekan depan aku libur panjaaang!" Aya menjulurkan tangannya ke segala arah.

"Terus?"

"Papa? Belum ngerti, juga?" Aya menurunkan tangannya. "Gini, ya, Pah. Belajar dari pengalaman setiap libur panjang kemarin... kemarin... daaan kemarin, aku nggak mau jalan-jalan biasa lagi. Soalnya, kalau pun aku jalan-jalan, ya itu cuma sehari sementara libur aku, kan 14 hari. Ngaku, deh! Papa ngizinin aku jalan-jalan cuma sekali-kali aja, kan?" cuapnya sambil mengacungkan telunjuk ke papanya.

"Iya, iya. Bener."

" So, aku nggak mau gitu lagi."

"Jadi kamu mau apa, dong?"

"Aku udah sepakat sama Dini dan Rinan untuk liburan di kota tempat Papa kerja dan tinggal sama Papa di pesantren."

"Hah?" Pak Fian terkejut. "Nggak bisa di tempat lain?"

"Papa mah gitu! Justru bagus, kan? Papa pernah bilang, biarpun libur panjang, Papa bakal tetep di sana kayak biasa. Jadi seenggaknya aku bisa sama Papa terus," rayu Aya

"Tetap nggak bisa!"

"Papa..."

"Aya, larangan ini bukan Papa yang nentuin tapi aturan pesantrennya sendiri bahwa akhwat tidak boleh masuk ke pesantren itu kalau tidak ada urusan penting. Kamu tau apa tujuan pesantren itu hanya ditujukan bagi laki-laki? Ya biar mereka nggak ketemu sama kamu dan kaum kamu. Kamu juga tau, kan, kalau wanita itu sumber fitnah. Selain itu, liburan bukan alasan yang tepat kalau ada orang yang mau datang ke situ."

"Ehm.... Ok!" Aya menaikkan kedua kakinya ke sofa lalu duduk berlutut. "Aku akan berusaha untuk menjadi layaknya angin disana, Pah. Ada tapi nggak terlihat."

"Sayang, wanita yang berhijab saja pasti dilarang masuk bahkan sampai jalan-jalan di dalam pesantren kalau tidak ada keperluan penting. Apalagi kamu yang tidak berhijab."

"Aku bakal berhijab, Pah!" ceplos Aya tanpa pikir panjang.

"Kamu mau berhijab?" Pak Fian mengembangkan senyum.

"Iya. Berhijab! Di...sana."

"Nggak," senyum Pak Fian hilang.

"Pleeeeeeeease..."

"Kamu belum nyerah ngebujuk papa, ya?"

"Papa nggak ngerti! Aku cuma pengen bisa sering sama papa aja. Kita udah jarang ketemu. Bahkan kadang Papa juga nggak pulang kalau weekend. Please, Pah. Seenggaknya 5 hari aja. Mulai hari Senin nanti dan kita pulang malam Sabtu."

Pak Fian diam.

"Papa coba hubungi kepala pesantren Papa, deh. Bujuk dia. Tapi kalo dia tetep ngelarang dan juga lebih galak dari Papa, baru aku batalin rencana aku," sambung Aya.

Betapa bandelnya Aya. Sudah diberitahu sekali tidak tetap tidak, namun ia tetap membujuk papanya. Saat makan di malam itu, saat sarapan keesokan paginya, setelah papanya merapikan diri sehabis mandi, saat makan siang, Aya tak berhenti membujuk papanya. Bagi papanya sendiri, itu bukan lagi bujukan tetapi pemaksaan.
Saat papanya hendak berwudhu, ia menghalangi papanya di ambang pintu kamar mandi.

Baru saja papanya selesai shalat, ia tiba-tiba muncul di belakang papanya, menyalim tangannya, lalu ternyata memohon-mohon lagi. Papanya sedang menyiram tanaman, Aya muncul lagi, menyita selang air dari papanya, lalu menyiram bunga sambil senyum-senyum pada papanya.

Bahkan Aya mengajak Dini dan Rinan untuk bersama-sama membujuk papanya. Pak Fian pun hanya menanggapi anaknya itu dengan gelengan kepala.

***

That's it. Nah, jangan jadi silent reader, ya. Komenlah sedikit dan vote. Syukron ❤💗

Fii Amanillah, Tiga AkhwatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang