Papa, Izinkan? #part2

5.4K 283 15
                                    

Betapa senangnya tiga sepupu sekawan ini di malam Senin setelah shalat Isya. Mereka akan berangkat ke pondok pesantren itu dengan memegang janji bahwa mereka akan menjaga diri dan berusaha untuk tidak dilihat oleh ikhwan manapun disana. Cukup kepala, guru, dan para staf pesantren yang tahu. Selain itu, mereka siap untuk terus berhijab disana.

Koleksi jilbab mereka sebenarnya tak seberapa, namun baju lengan panjang mereka ada banyak. Itu pun hanya kebetulan. Untuk bawaan, mereka mengandalkan beberapa jeans dan celana katun panjang seadanya. Semua pakaian itu harus selalu mereka pakai saat hendak keluar dari rumah yang nantinya mereka tempati, baik hendak melihat-lihat pesantren, maupun bepergian untuk jalan-jalan di sekitar kota itu.

"Kalian janji, kan, bakal tetep stay di dalam rumah tempat tinggal Papa sebelum papa izinin keluar?" Pak Fian menyebut dirinya 'Papa' termasuk pada kedua keponakannya karena sudah menganggap Dini dan Rinan sebagai anaknya juga.

"Siap!" serentak Aya, Dini, dan Rinan yang duduk di jok tengah sementara Pak Fian yang menyetir.

"Rumahnya Om di dalam pesantrennya, ya?" tanya Dini.

"Iya. Pas masuk gerbang."

"Uh, nggak sabar liat pemandangannya. Keren banget katanya. Terus ada tempat latihan memanahnya juga!" sahut Rinan.

"Ada tempat pimpongnya juga," tambah Dini.

"Yeee, pimpong, mah, biasa ditemuin apalagi di sekolah. Pokoknya yang paling bahagia disini, tuh, aku. Jarang-jarang bisa dapet tempat latihan memanah dan in syaa Allah.. gratis!" semangat Rinan.

"Iya, kalian boleh main panah... pimpong sepuasnya. Tapi Papa akan kasih tahu kapan kalian boleh keluar dari rumah. Ada saatnya tempat-tempat itu ramai dengan ikhwan dan ada saat-saat sepinya. Kalian cuma boleh keluar saat jadwal tadarussan, kajian, shalat, belajar, dan semacamnyalah sehingga kalian nggak dilihat sama siapa pun kecuali staf-stafnya karena para pekerja disana udah dikasih tau sama pengurus pesantrennya kalau kalian akan datang. Ingat, ya, kalian shalatnya di rumah aja dan harus patuh sama semua yang dibilangin ke kalian."

"Iya, Pah. Kita bahkan bakal berusaha buat berkamuflase. Kalau kita di ruangan yang catnya putih, kita juga bakal pake hijab yang putih-putih," canda Aya.

"Memangnya kalian bisa berkamuflase sehebat bunglon?"

"In syaa Allah!" serentak mereka bersamaan.

"Oh, iya? Libur panjang gini emang masih banyak ikhwannya?" tanya Rinan.

"Iya. Sekitar setengahnya pulang dan sebagian tetap tinggal, terutama mereka yang rumahnya memang jauh. Ada yang dari Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, pokoknya macem-macem asalnya. Papa rasanya seneng bisa ketemu sama mereka. Jadi tau banyak hal tentang berbagai daerah tanpa Papa datangi tempatnya langsung."

"Wajar, ya. Soalnya pesantren ini emang terkenal bagusnya. Yang stay disana ngapain biasanya?" sahut Dini.

"Kegiatan biasa. Mereka tetap kajian, tadarussan, pokoknya seperti biasa tapi jamnya dikurangi. Mereka juga berkebun dan ada juga yang keluar untuk jualan macem-macem. Pesantren memang memfasilitasi siswanya untuk mencari penghasilan bagi yang mau."

"Kasian, dong mereka. Temen-temennya nyantai di kampung halaman sendiri sedangkan mereka tetep terikat peraturan. Walaupun libur, peraturan tetep jalan kan, Om?" tanya Rinan, si polos.

"Iya. Tapi sepadan, kok. Gini, mereka yang pulang bisa santai dan lepas dari peraturan, kumpul sama keluaga, bebas ngapain aja tapi harus keluarin biaya sendiri. Nah, mereka yang tetap tinggal memang tidak bisa ketemu keluarga, harus tetap ikut kajian, tapi kalau gitu, kan, ibadah mereka in syaa Allah jalan terus dan istiqomah. Jadi adil, kan? Sama kayak Aya, hari biasa nggak bisa ketemu papanya, nah, libur sekarang nggak bisa ketemu mamanya. Jadi sama rata," jelas Pak Fian.

Mereka tertawa.

"Oh, iya! Satu lagi. Kalau kalian keluar dari rumah, kan, kalian harus pakai jilbab. Nah, kalau di dalam rumah sementara kalian nggak mau pakai jilbab, sekiranya kalungkan jilbab di leher kalian seperti syal biar lebih cepat kalian pasang jilbabnya. Buat jaga-jaga kalau ada rekan Papa yang datang dan kalian juga nggak perlu capek-capek lagi ke kamar buat ngambil jilbab," saran Pak Fian lagi.

"Oooh, iya. Om bener," Dini mengangguk.

"Hati-hati juga, ya. Jangan sampai kepincut ikhwannya. Banyak yang ganteng, loh. Sementara mereka nggak melihat kalian, kalian bisa aja, kan, ngeliat mereka?" gurau Pak Fian.

"Ih, Papa, apaan sih? Su'udzon, deh! Kita kan mau jalan-jalan soalnya pesantren dan tempat wisata disana bagus. Papa, kan, udah janji, libur kali ini aku bakal ngerasain yang namanya liburan sepenuhnya. Nggak usah full juga, sih, jalan-jalannya, tapi pokoknya harus lebih dari libur panjang aku yang setiap semesternya boring banget. Iya, kan Din, Rin?"

"Aku, sih, asik-asik aja liburnya," kata Rinan.

"Isshh!" Aya cemberut.

***

-Itulah Bagian Pertamanya. Nantikan bagian keduanya, ya, yaitu 'Angin, Bunglon, Hantu'. Makin seru, loh.
Dan sedikit komen juga vote saya nantikan.
Wassalamu'alaikum

Fii Amanillah, Tiga AkhwatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang