Aku memilin jemari di balik celemek pink yang kugunakan, sedangkan Raksa di depanku kini nampak tenang. Raut terkejut yang tadi sempat terlintas di wajahnya lenyap sempurna.
"Aku nggak tahu kamu kerja di tempat tante?" bukanya, setelah kami saling terdiam cukup lama.
"Aku butuh kerja," tukasku berusaha terdengar baik-baik saja.
"Uang yang kukirim nggak cukup?"
Aku terbelalak, tak percaya dengan apa yang kudengar. Salah satu kekurangan Raksa selama kami berumah tangga adalah sikap otoriternya. Dia terlalu mengekang, entahlah, tapi itu salah satu yang membuat aku, seorang sarjana malah mendekam di rumah tanpa menggunakan titel-ku.
"Bukan, tapi satu bulan lagi tanggung jawab kamu sama aku lepas seluruhnya. Aku butuh uang untuk hidup." Jujur saja itu terdengar menyedihkan, tapi aku belajar jujur padanya. Rusaknya rumah tangga kami salah satunya karena komunikasi kami yang memburuk selama dua tahun terakhir. Bukan berarti aku ingin kembali bersamanya, karena menemukan fakta bahwa mantan suamiku kian dekat dengan wanita yang menjadi duri dalam rumah tangga kami, cukup membuatku sadar bahwa tidak akan ada kata 'kami' lagi di masa depan.
"Aku bisa tetap memberikannya." Tawa pahitku lolos begitu saja tanpa bisa kucegah saat mendengar perkataanya. Yang benar saja?
"Aku rasa kamu tidak dalam kapasitas untuk melakukan itu. Lagi." Dan sekarang aku ingin bertepuk tangan melihat bagaimana wajahku berakting sempurna di depan Raksa yang rahangnya mengeras.
"Benar, aku tidak lagi dalam kapasitas itu." Percayalah bahwa tepuk tangan itu tak jadi membahana, dadaku kembali berdenyut sakit saat raut datar Raksa menjelaskan bahwa ia telah cukup untuk memahami sikap dan ucapanku.
Jika dulu, saat aku merajuk dan meledak dengan kata-kata cukup keras, ia akan diam dan berusaha untuk membujukku secara halus, meluluhkanku dan ditutup dengan pergulatan penuh cinta di ranjang kami. Namun, waktu memang hebat, buktinya sekarang lelaki itu pun tak berusaha menjelaskan tentang Alivia dan kue ulang tahun untuk mantan ibu mertuaku.
Kami berada di ruang yang dijadikan kantor untuk mengawasi kinerja toko milik tanteku. Setelah Raksa meminta Alivia untuk menunggunya di mobil. Hal yang juga menjelaskan bahwa hubungan mereka sedekat itu. Ya sedekat itu.
Sunyi yan menyergap kami beberapa lama membuatku tak sadar, bahwa tatapan kosongku mengundang pandangan lekat Raksa padaku. Pandangan yang tak pernahku pahami sejak dulu apa maknanya. Pandangan yang juga ia berikan saat memutuskan untuk melepaskanku.
"Kamu baik-baik saja?" pertanyaannya membuat dadaku makin nyeri. Apa aku baik-baik saja? Tidakkah ia melihat bahwa bajuku tampak longgar? Aku kehilangan lima kg bobot tubuhku pasca perceraian kami. Mukaku memang tampak baik-baik saja, terima kasih untuk wajah terlalu cantik yang selalu dibanggakan ibuku. Namun, jika Raksa jeli, aku yakin ia pasti melihat lingkaran hitam di bawah mata yang berusahaku samarkan dengan bedak.
"Menurutmu?" Aku tidak tahu kenapa kalimat tanya itu yang justru meluncur dari mulutku. Seharusnya aku tampak tegar karena dulu aku yang menantang untuk berpisah. Namun, mengkambing hitamkan sang waktu sepertinya menjadi opsi paling tepat saat ini, masa yang bergulir itulah membuat rasa kehilanganku menjadi dan menumpuk tiap detiknya.
"Mama ulang tahun."
Aku tersenyum miring, untuk pertama kalinya aku menemukan Raksa yang jantan berusaha mengalihkan pembicaraan. Ya sudahlah. Hatiku sudah berdarah-darah. Jadi kusimpulkan bahwa ia memang tak lagi merasa seperti apa yang kuharapkan.
"Oh, kekasihmu sudah memberi tahuku tadi."
"Dia bukan kekasihku!" Tandas Raksa keras membuatku sedikit tersentak, tapi tak mampu menyulutkan rasa sakit yang berubah menjadi amarah di dadaku.
"Oh... calon istri bar-." Langkahku mundur seketika saat tiba-tiba Raksa memotong jarak diantara kami. Aku sempat merutuk kenapa tak bersikap tegas ketika ia menolak duduk di sofa tamu ruang ini tadi, alih-alih berdiri berhadapan seperti sekarang. Terhimpit di antara dinding dan Raksa tak pernah mudah untukku, karena kenangan saat kami masih bersama terlintas jelas. Kami pernah melakukan itu dalam posisi seperti ini. Dan kenapa aku harus memikirkan adegan itu sekarang?
"Kenapa kamu selalu membuat segalanya tidak mudah?" Suara Raks terdengar mengancam dan aku sontak memejamkan mata. Nafas hangat Raksa membelah pikiranku, tapi kalimat itu seperti dengingan yang menyakitkan karena Raksa kerap mengungkapkannya saat kami berdebat panjang dan meletihkan.
"Karena perempuan itu yang menyebabkan semuanya dan sekarang melihatmu bersamanya setelah kita baru berpisah, kesimpulan apa yang kamu harapkan bersarang di kepalaku?!"
"Bukan dia! Dia tidak pernah melakukan apapun yang menyebabkan kita terjebak dalam situasi memuakkan ini."
Aku tersentak, membuka mata ketika kalimat pembelaan untuk wanita itu kembaliku terima. Seperti ditampar, aku kembali merasakan egoku dikeraskan sekali lagi. "Ah... ya, maafkan aku. Aku memang selalu seperti ini hahaha...."
Aku bisa merasakan bagaimana reaksi Raksa yang kebingungan melihat perubahanku. Aku lelah dan rasa lelah bisa membuat sesorang menjadi kuat. Menegakkan badan aku membelai dada Raksa dengan detak jantungnya yang terasa cepat. "Maafkan aku, sikap kekanakanku kembali lagi, padahal kamu sangat membenci itu. Sampaikan salamku pada Tante Erna. Semoga beliau berumur panjang hingga bisa menimang cucu darimu dan Vi-."
Aku tak bisa menyelesaikan kalimatku ketika bibir Raksa membungkamku kuat, panas dan cepat. Seperti meluapkan segala amarah di dalamnya. Aku terengah ketika Raksa melepaskan pagutannya. Sementara tangannya menangkup wajahku entah sejak kapan. "Aku akan menyuruh Allivia pulang dan setelah itu kamu yang akan kubawa pulang."
TBC
Love,
Rami
Mamas ekspresinya lemesan dikit napa?
Eh , si Neng rambutnya dah berantaka ajah.😂
Follow ig @ramiamalia
KAMU SEDANG MEMBACA
Pekat
RomanceSUDAH TERBIT (SEBAGIAN PART TELAH DIHAPUS) Faira selalu merasa tangguh, hebat dan bisa bertahan pasca badai perceraiannya. Namun, apa jadinya ketika ia harus menangis tiap malam dan menemukan sang mantan suami semakin dekat dengan perempuan yang...