🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Aku memasuki dapur dan tercekat melihat pemandangan di depanku. Di sana, di meja makan telah duduk dengan rapi bapak, kak Azzis dan Raksa. Ya Tuhan, setelah sekian lama untuk apa lelaki ini berada di rumahku? Di dapur ibuku? Dan bagaimana mungkin ia bersikap seceria itu mengobrol dengan kak Azis. Oke, aku tahu bahwa mereka memang sahabatan sejak zaman dahulu kala, tapi interaksi mereka seolah tak pernah terjadi masalah di antara kami yang tentu saja sedikit memberi riak dihubngan persahabatan mereka.
"Lah, malah bengong, duduk sini dong Adeknya Kakak yang cantek." Aku mencebik, dari nada suaranya saja aku sudah memahami betul bahwa kak Azzis sedang berniat menghancurkan pagiku. Dengan langkah diseret-seret, aku berusaha mengabaikan tatapan Raksa yang tetap tertuju padaku.
"Eits, mata boleh bengkak Dek, tapi otak jangan. Ini tempat duduk kanjeng Mamy. Sana kamu duduk di tempat biasa. Samping suami... ops, mantan suami hehe...."
Aku melotot tajam ke arah kak Azis, tapi dasar sinting, bahkan deheman tak nyaman bapak sama sekali tak membuat cengirannya hilang. Sekali lagi dengan langkah terpaksa aku menyeret kakiku menuju kursi di samping Raksa. Meja makan rumah bapak memang terdiri dari enam kursi. Satu di masing-masing ujung dan dua saling berhadapan di sisi kiri dan kanan meja makan.
Sedari dulu, bapak selalu mengambil posisi di ujung. Kursi tunggal untuk kepala keluarga. sedang ibu mengisi tempat di samping kanan bapak berjejer dengan kak Azis yang belum menikah. Aku dan Raksa duduk berjejer di bagian kiri meja. Satu kursi di kosongkan dan akan diisi ibu jika kelak kak Azis sudah membawa istri, yang tentu dijawab kak Azzis bahwa itu masih lama karena Mimi belum mau menikah dengannya atau jika menurut versiku, Mimi tidak akan menikah dengannya. Ayolah, Mimi mana mau dengan lelaki nyinyir seperti kakakku.
"Kayak manten baru aja malu-malu." Aku kembali melotot ke arah kak Azzis yang malah memasang senyum lebar, sedang Raksa tak jua mengalihkan pandangannya dariku, membuatku rasa kurang nyaman dan merutuki diri karena menggunakan pakaian yang kurang pantas untuk dilihat lelaki yang tak lagi menjadi mahramku.
"Kenapa makan malamnya nggak dimakan, Sayang?"
"Ngantuk Bu," jawabku sekenannya pada ibu yang kini tengah sibuk menyiapkan kopi untuk bapak.
"Kamu ini, sekarang kok jarang banget makannya. Pantes makin kurus." Aku tak terlalu mempedulikan omlen ibu. Walau bagaimanapun beliau melakukan itu karena merasa khawatir.
Aku baru hendak meraih piring ketika Raksa sudah menyodorkan piring dengan dua centong nasi di atasnya. Dengan kikuk aku mengambil tanpa mengucapkan terima kasih, suasana pagi ini terasa terlalu aneh untukku.
"Coba perhatikan kesehatanmu. Ibu denger tadi subuh kamu muntah lagi. Mau kita check ke dokter aja?"
"Kamu sering muntah?" tanya Raksa cepat begitu ibu selesai bericara. Aku melirik tanpa minat menjawab padanya yang kini meletakkan sendok dan memiringkan badan, menatap penuh selidik kepadaku.
"Gimana nggak muntah Nak, dia jarang makan dan kurang istirahat." Kini giliran bapak yang ikut angkat suara.
"Sejak kapan?" Raksa bertanya kembali lengkap dengan nada khawatir.
"Sejak kamu buat dia jadi janda lah, Sa."
"Azzis...." Teguran bapak nyatanya hanya mampu membuat kak Azis kembali cengar cengir. Entah dosa apa aku sehingga harus punya kakak dengan keusilan luar biasa sepertinya.
"Makanya, Ibu selalu bawel minta kamu makan, Ra... makan. Meski Cuma sesendok yang penting perutmu terisi." Nasihat bercampur omelan ibu membuatku pening dan segera mengangguk agar tidak menjadi lebih panjang lagi. Bagaimana bisa makan, jika hati dan pikiranku terbang entah kemana. Jika setiap mencium aroma makanan aku ingin menangis karena mual.
"Ya sudah, Ibu juga duduk dulu. Faira tidak bisa makan kalau Ibu kerjanya ngomel terus." Aku menatap bapak dengan senyum penuh terima kasih. Dan beliau hanya mengangguk kecil menerimanya.
"Lauk apa Bu?" tanyaku malas pada ibu. Jujur saja jika bisa memilih, aku lebih baik tidak makan saja.
"Umurmu berapa, Dek? Makan nanya lauk duluan. Kayak bocah aja," cemooh Kak Azzis padaku. Bersyukur aku mampu menahan diri agar tidak melayangkan sendokku ke arahnya.
"Oh, Ibu buatkan sambal goreng kacang panjang dicampur daging. Nak Raksa bisa ambilin buat Faira. Itu lho di piring yang ibu pakein penutup. Sengaja biar tetap anget. Dia kan sulit makan beberapa hari ini, sengaja Ibu buatin lauk kesukaannya. Biar makan bany...."
Aku tak lagi mendengar kalimat ibu karena buru-buru berlari menuju tempat cuci piring ketika Raksa membuka penutup piring berisi lauk kesukaanku. Aromanya membuatku benar-benar mual.
"Hoek... hoek... hoekkkk...." Aku merasakan usapan di punggung dan pijatan di tengkuk. Satu air mataku lolos, rasanya benar-benar buruk. Hanya cairan bening yang keluar sebagai muntahan dan bibirku terasa amat pahit.
Aku segera membuka keran dan mencuci mulut. Dengan lemas berusaha menegakkan badan dan langsung bersandar pada tubuh Raksa yang ternyata sudah berada di belakangku. Seharusnya aku merasa canggung ketika tangan Raksa melingkar di pinggangku. Tapi pusing yang tiba-tiba menyerang benar-benar membuatku tak berdaya.
"Kamu nggak hamil kan, Dek?" Aku mengangkat wajah saat mendengar pertanyaan dari kak Azzis yang kini metapku serius, sedang di belakang, aku bisa merasakan tubuh Raksa berubah tegang dan kaku.
"Ngaco... hamil dari Hongkong!" bantahku sekuat yang kubisa, tapi suaraku terdengar ragu dan sumbang.
"Soalnya kamu muntah terus beberapa hari ini," terang kak Azzis berusaha menguatkan kecurigaanya.
"Nggaklah, kata Mimi ini akibat stress dan mungkin magh."
"Terus kenapa perutmu bisa nonjol besar gitu, Nak?" Pertanyaan bapak tak ayal membuatku melarikan pandangan ke arah perutku yang entah sejak kapan di tangkup Raksa dengan dua belah tangannya. Dan demi Tuhan aku merasakan darahku seperti berhenti mengalir saat menyadari tonjolan yang cukup besar di perutku. Tonjolan yang keras dan jelas terlihat karena saat ini aku hanya menggunakan t-shrit pas body yang memperlihatkan jelas lekuk tubuhku.
Aku menelan ludah, melirik takut-takut terhadap Raksa yang jemarinya justru kini mengusap perutku dengan begitu lembut. "Kamu hamil...." Raksa menjeda kalimatnya, membuatku memejamkan mata seketika karena nada dingin yang terdengar begitu menakutkan dalam suaranya. "Dan beraninya kamu minta cerai padaku."
TBC
Love,
Rami
Apakah kalean tau kalo drama ngelist buat PeOh udah dimulai?😂
Yang mo ikutan, cuss pollow IG @ramiamalia. 😘

KAMU SEDANG MEMBACA
Pekat
RomansaFaira selalu merasa tangguh, hebat dan bisa bertahan pasca badai perceraiannya. Namun, apa jadinya ketika ia harus menangis tiap malam dan menemukan sang mantan suami semakin dekat dengan perempuan yang diaggap perusak rumah tangganya? Apa jadiny...