Seratus meter dari Taman Ismail Marzuki ada sebuah kedai Piza yang masuk bulan ke sebelas dari pertama kali dibuka, tempat yang cukup berpotensi untuk sebuah kedai makan. Karenanya dari hari ke hari selalu ada perkembangan meski sedikit, orang-orang yang bekerja di kedai ini cukup tangguh menjaga semangat bekerja setiap harinya. Tapi malam ini di beranda lantai tiga kedai ini, Pras sedang ingin bermuram setelah mengobrol dengan ibunya di Semarang lewat telepon beberapa menit yang lalu.
"Hoy, ngopo koe nglamun?
Pras menoleh ke arah sumber suara yang tidak lain adalah temannya, Fathur, memberi senyum masam dan kembali menatap pohon dalam kegelapan. Fathur duduk di sebelah Pras dan ikut menatap ke arah kegelapan.
"Tadi ibu telepon, Fat. Masih kuatir sama keadaan mbak Galuh. Aku yo kuatir karo mbak Galuh tapi lebih kuatir karo ibu."
"Belum move on, ya, mbakyumu?"
Mencoba mencairkan suasana Fathur berusaha untuk menggoda temannya yang sedang gundah dan hanya mendapat lirikan sedih dari Pras. Galuh, kakak perempuan Pras yang sedang berusaha bangkit setelah terpuruk karena ditinggal pergi oleh calon suaminya yang sebelum pergi sempat nyaris menampar Galuh.
"Aku juga kuatir sama ibumu, Pras. Kalo ibumu terlalu mikirin mbakyumu itu, terus stress, terus ambruk, opo ora kacau nek ngono? Terus juga mikirin kamu di Jakarta, bukannya ndang golek gawean yang mapan malah nganter-nganter piza. Piye jal?"
"Yo aku juga lagi cari kerjaan yang mapan, Fat. Kan, sementara gini dulu sambil nunggu kabar dari pak Abdul, nunggu kabar proyek terbarunya di Malaysia itu."
"Proyek opo? Proyek kendang kelinci? Hahaha."
"Ck, kualat nanti kamu, Fat, ngeyek drafter kayak aku ini."
"Tapi... makasih, yo, Fat. Udah mau nampung aku di sini, ngasih kerjaan juga. Semoga bisnis pizamu ini sukses dan makin besar."
"Amin." Fathur mengamini doa teman dekatnya itu.
"Tapi aku bingung Fat, moso udah jadi bos gini kamu masih tinggal di loteng tempat bisnisnya... sumpek."
"Iyo, sumpek soalnya ono koe. Bos opolah... Sementara di sini aja, sambil nabung buat beli apartemen di Meikarta."
"Halaaah..." Pras sudah tidak terlihat muram lagi.
"Coba aja Galuh mau sama aku dari dulu, yo, Pras... pasti gak akan seberat sekarang." Setelah keheningan beberapa menit, Fathur mulai membuka obrolan lagi.
Pras menoleh ke arah Fathur dan menepuk pundaknya, "Coba aja kamu dari dulu itu tetep di sekolah buat jadi calon PNS, Fat... dengan bayangan akan ada masa depan mungkin mbak Galuh akan mempertimbangkan." lalu memberikan senyum meledek.
"Asem! ora ono urusane. Memangnya kalo sekarang ini gak ada masa depan? Kamu ini sebenarnya dukung aku karo Galuh opo ora, toh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak
Mystery / ThrillerIni adalah sebuah project cerita bersambung. Cerita ini akan ditulis oleh 2 orang berbeda. Saya, dan rekan blogger saya, Dwi Nanoki. nkrakasiwi.blogspot.com nanoki-nanoki.blogspot.co.id ••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• Bag...