DPD-3

10.7K 726 40
                                    


Keadaan hening selalu tercipta di taman sekolah. Jarang sekali siswa-siswi yang kedapatan duduk dibangku taman. Tapi bagi pelajar yang menyukai kesunyian tempat inilah yang akan menjadi tujuan mereka. Memang terkadang manusia haruslah menyendiri hanya ditemani sepi untuk kembali berpikir menemukan jalan suatu masalah. Yakinlah, jika membuat keputusan dalam keadaan emosional, maka bersiap-siaplah akan menyesal.

"Sumpah, gue nggak bisa! Cari yang lain aja deh," sahut seorang perempuan pada lelaki yang berada disampingnya.
Sang lelaki hanya menghendikan kedua bahunya. "Tapi lo yang disuruh, buk Sarti. Jadi lo nggak bisa nolak," balas pria itu. Mendengar perkataan itu sontak membuat bibir perempuan itu mengerucut sebal.

"Daffa, gue itu nggak pernah ikut yang beginian. Jadi sekretaris kelas aja, gue ngundurin. Padahal baru 3 jam, diangkat jadi sekretaris," ucap Daisha sambil meringgis. Perempuan tadi yang mengerucut sebal, ialah Daisha. Sedangkan lelaki tadi adalah Daffa yang setia mendengarkan ketidak terimaan Daisha yang akan menjadi sekretaris Osis, menggantikan Dinda yang berhalangan.

"Pikir dulu deh, siapa tahu dengan lo ikut berkontribusi untuk sekolah nama lo bisa bersih."

"Ya, kali bersih. Pake rinso deh biar bersih dan cemerlang," canda Daisha. Sedangkan Daffa hanya mendangi Daisha dengan tatapan datarnya.

"Gue serius kali."

"Lo mau serius? Seserius hubungan kita?" goda Daisha lagi. Kali ini ia menjawil centil dagu Daffa membuat lelaki itu salah tingkah.

Daffa membuang mukanya. "Apaan nih! Pegang-pegang, ganjen bener lo!" ketus Daffa. Membuat Daisha yang tadinya tertawa kini mengatupkan bibirnya.

"Eleh lo! Bilang aj salting kan," goda Daisha lagi. Ternyata perempuan itu masih belum jerah untuk menggoda Daffa. Ia mengikuti kemana arah muka Daffa, agar dapat melihat muka Daffa yang memerah.

"Pokoknya lo harus mau jadi Sekretaris gue selama 6 bulan. Titik!" putus Daffa yang mulai jengah dengan godaan-godaan Daisha. Daisha ingin membantah tapi dengan cepat jari telunjuk Daffa berada dibibirnya.

"Nggak ada penolakan atau gue laporin lo ke buk Sartiana," ancam Daffa dengan seringai kecil dibibirnya. Dia yakin, Daisha akan mau menerima perintahnya.

"Oke! Gue mau." Daisha pasrah. Ia tak bisa lagi menolak perintah Daffa jika lelaki itu memgancamnya akan dilaporkan pada Buk Sartiana.

"Sekarang tugas pertama lo!"

"Apaan pake tugas pertama? Lo kira gue Ajudan negara?"

"Sssst! Diam, nggak usah banyak protes," perintah Daffa.

"Sekarang lo!" Tunjuk Daffa pada Daisha. "Ikutin kemana pun, gue pergi!" ucap Daffa bak titah raja. Daisha hanya bisa menghela nafas pasrah mengikuti kemana pun Daffa pergi.

"Siap Boss!"

*****

Ibarat seorang majikan dan pembantu jika berjalan bersama, maka sang tuan lah yang berada didepan memimpin jalan sedangkan sang pesuruh berjalan dibelakang mengikuti kemana arah tuannya. Inilah yang dialami Daisha sekarang, ia harus rela mengikuti kemana pun Daffa pergi.

"Kemana lagi Daf? Gue udah capek. Dari tadi keliling mulu, pegel nih betis." Entah berapa kali keluhan itu muncul dari mulut cantik Daisha membuat Daffa harus memberhentikan langkahnya.

"Kantin aja dulu," usul Daffa tak tega melihat Daisha yang kin sedang duduk beselonjor diatas lantai sekolah.

Bagai menemukan air di padang pasir yang gersang, Daisha sontak terpikik riang mendengar jawaban Daffa. Ia lantas bangun dari duduk cantiknya, membersihkan buntutnya dengan tangannya akibat duduk di lantai tadi.

Daisha punya Daffa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang