DPD-5

8.3K 641 22
                                    

Sinar mentari juga sudah begitu terik bersinar tapi tak membuat seorang perempuan bangkit dari tidurnya. Bunyi alarm diatas nakasnya, ia biarkan terus berbunyi. Sama sekali tidak menggangu waktu tidurnya. Bayangkan saja jika terjadi gempa bumi atau kebakaran, tamatlah nasib wanita ini.

Hingga bunyi bel pun sama sekali tidak menggangu waktu tidurnya. Bahkan gedoran-gedoran dari sang tamu yang mulai kesal nampak hanya angin lewat baginya. Tapi setelah sekitar sepuluh menit berlalu akhirnya, wanita itu membuka matanya. Bukan untuk menyambut tamu tapi untuk mengaliri kerongkongannya yang begitu serak.

Ding... Dong...

"Siapa, sih! Pagi-pagi ganggu orang tidur!"

"Orang masih subuh juga! Nggak ada jam apa dirumahnya, gelap-gelap begini bertamu kerumah orang!" gerutan tak jelas mulai keluar dari mulut Daisha manakala pintunya terus digedor tidak sabaran.

Mata Daisha belum sepenuhnya terbuka, membuatnya mengira hari ini masih gelap padahal kenyataannya jarum pendek sudah menunjukan pukul sembilan pagi.

Dengan langkah diseret tak ihklas Daisha berjalan menuju pintu, ia akan mengusir tamunya dan mengatakan datang lagi ketika matahari sudah cerah.

Cklek...

"Astaga Daisha!! Lo belum mandi!" kaget seorang pria melihat kondisi Daisha yang masih mengenakan piyama birunya.

"Mau jam berapa lagi kita berangkat, Daisha!" omel Daffa lagi. Pria itu menjabak rambutnya kesal, sedari tadi ia sudah menunggu Daisha. Daffa kira, Daisha tidak mendengar gedorannya kerena perempuan itu sedang merias wajahnya dan berdandan secantik mungkin untuk menyambut Daffa.

Tapi sekarang lihatlah, ilernya masih mengalir deras dibibir wanita itu, disela-sela matanya masih ada jejak belek mata dan rambutnya yang sudah seperti singa betina yang mengamuk.

"Selow aja kali, masih gelap juga," sahut Daisha santai. Matanya masih setengah terpejam.

Belum lagi tangannya yang menggaruk-garuk kepalanya dan sekali-kali mengorek kedua lubang hidungnya.

Sumpah demi apapun Daffa saat ini ingin muntah didepan Daisha, betapa cantiknya perilaku wanita didepannya ini. Daffa pikir Daisha akan lebih cantik ketika bangun tidur, kerena belum tersentuh apapun. Masih buka bungkus lah, bahasa tokonya.

Tapi Daffa lagi-lagi harus membuang jauh-jauh khayalan tingkat tingginya melihat keadaan Daisha saat ini. Sungguh jauh dari kata-kata cewek idaman.

"Ini udah jam setengah sepuluh Daisha!! SETENGAH SEPULUH!" teriak Daffa kesal didepan wajah Daisha. Ia sudah menahan emosinya untuk tidak berteriak pagi-pagi seperti ini, tapi kelakuan Daisha sungguh sudah memancing emosinya.

"Oh.. setengah sepu--- HAH! APAA! Setengah sepuluh?!" Mata Daisha terbuka sempurna setelah mendengar perktaan Daffa barusan. Ia hanya bisa tersenyum malu, melihat Daffa yang sudah siap mengenakan seragam sekolah. Belum lagi rambut laki-laki itu begitu mengkilap dan rapi.

"Hehe, Daffa gue siap-siap dulu ya," ucap Daisha pelan. Ia sedikit berjalan mundur, kemudian...

Blam...

Pintu apartemenya tertutup keras membuat Daffa terjengkit kaget mendengarnya. Untung saja Daffa tak telalu dekat dengan pintu, jika iya. Mungkin saja Daffa sudah membakar apartemen Daisha, sangking kesalnya.

"Untung banget punya asisten yang begitu, tabahkan hambamu ini ya Allah," guman Daffa pelan, sesekali mencoba mengelus dadanya menerima cobaan ini. Betapa beruntungnya dia mendapatkan asisten seperti Daisha.

*****

Daisha sudah cantik, dia sudah mengenakan parfum yang ia pinjam dari Kayra dan beberapa alat make up dari Rista. Walaupun Daisha hanya mengenakan bedak, karena Daisha tak tau cara penggunaan alat-alat Rista. Itu pun sudah dipaksa oleh kedua temannya itu, agar Daisha memoles diri sedikit agar nampak menarik.

"Hehehe, lo kok baik banget nungguin gue Daf," cengir Daisha seraya mengenakan helm yang diberikan Daffa.

Daffa menghela nafasnya. "Yaah, mau gimana lagi. Nanti gue butuh bantuan lo," jawab Daffa. Diam-diam Daffa sudah menyiapkan kejutan untuk Daisha nanti. Anggaplah sebagai pembalasan. Karena pembalasan menyakitkan.

Daisha diam, sebernarnya ada hal yang ingin disampaikannya. "Eh, Daf! Makasih ya, lo udah nganterin gue kemarin," ucap Daisha pelan. Dalam hatinya, Daisha merutuki ketidak pekaannya. Untung saja malam tadi Daisha sudah menceritakan pada kedua temannya.

"Ckk, akhirnya peka juga lo," decak Daffa. Pria itu menganguk singkat, kemudian menyalakan mesin motor matic nya.

Sebenarnya ada hal yang lebih penting dari hal ini, tapi Daisha masih ragu-ragu untuk mengucapkannya. Sampai akhirnya Daffa melajukan sepeda motornya, tapi tetap saja hati Daisha bersikeras untuk mengatakannya.

"Daffa, soal kemaran yang lo ngeliat 'itu' gue. Gue nggak ada maskud untuk ngegoda lo kok," ujar Daisha. Saat ini mereka tengah berada di jalan raya yang cukup berisik.

"Hah? Apa, Dai? 'Itu' lo yang mana?" tanya Daffa lumayan keras.Keberisikan jalan raya membuat Daffa tak terlalu mendengar ucapan Daisha.

"Itu gue kemarin, Daff. Yang kancing nya kebuka itu loh, jadi kelihatan deh," sahut Daisha dengan lumayan kencang.

"Itu lo yang mana sih?"

"Ihh, Daffa. Waktu lo ke apart gue kemaran, lo ngelihat 'itu' gue kan."

"Hah? Emang 'itu lo' apaan sih?" Daffa pura-pura tidak tahy dengan perkataan Daisha. Sebenarnya ia sudah tahu apa maksud perempuan itu, tapi kerena ingin mengerjainya. Jadilah dia berlaga tidak tahu.

"Ishh, kutang gue, Bego! Yang lo lihat kemaren!" ucap Daisha dengan kuat dan lantang.

Kini bukan hanya Daffa yang mendengarnya, tapi hampir pengguna jalan raya mendengar ucapan Daisha barusan. Kebetulan saat Daisha berucap lantang tadi, Daffa berhenti tepat saat lampu berubah warna menjadi merah.

Dan betapa malunya mereka sekarang, Daisha dan Daffa kini menjadi pusat perhatian pengguna jalan raya. Dengan sigap, Daffa menutup kaca helmnya yang bewarna hitam agar mukanya tak nampak olah pengemudi lain. Sedangkan Daisha hanya bisa merutuki lampu merah yang begitu lambat berubah warna menjadi hijau, ia ingin segera terlepas dari tatapan maut ibu-ibu pengguna sepeda motor.

Setelah lampu merah berganti, tanpa babibu lagi Daffa manarik gas motornya agar segera pergi dari sana. Daisha yang tak kalah siap pun, sudah lebih dulu memeluk Daffa lebih erat.

"Woii, setan! Pelan dikit napa!" Getok Daisha kencang pada helm Daffa. Pria itu masih setia mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi, membuat Daisha ketar-ketir dibelakangnya.

"Ya elah, baru juga segitu," remeh Daffa dari balik helm. Akhirnya setelah mendapatkan cubitan dipinggang oleh Daisha, pria itu akhirnya mau memelankan kecepatan sepeda motornya.

"Awhhh! Sakit, Dai."

"Rasaiin, emang enak dicubit. Sekali lagu lo kencang, terjun gue!" ancam Daisha ketika Daffa sudah bersiap-siap ingin menarik gasnya lagi.

"Terjun aja kali, nggak usah ngancem," ujar Daffa tanpa merasa bersalah  membuat Daisha bertambah kesal. Ia kembali melayangkan cubitan pada pinggang pria itu yang disambut ringisan Daffa.

"Awhh, sakit, Dai!"

"Rasaiin!"

Karena belum puas mengerjai Daisha dan ingin membalas dendam akibat pinggangnya yang nyut-nyutan, Daffa akhirnya kembali menambah kecepatan motornya lebih cepat. Membuat Daisha yang belum siap, langsung berjengkit kaget seraya berteriak keras dan reflek memeluk Daffa.

"Daffa, setan!! Mau bikin gue mati ya!!"






Cerita Daisha dan Daffa bisa dibacara secara lengkap di Dreame.❤️

Daisha punya Daffa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang