Rain

61 3 4
                                    

"Sebentar saja, aku menatapmu, dan detik itu aku tahu jika aku telah jatuh cinta, maaf karena secepat itu aku merasakannya"

Delmora masih termangu, menatap hujan yang membentuk garis di kaca jendela, menghapus debu-debu yang menempel di sana. Gadis itu menatapnya lekat, mencoba mengikuti lekukan garis yang terbentuk secara perlahan, hingga tanpa terasa matanya mulai berat dan sesekali ia menguap menahan kantuknya yang terasa segera akan membawanya dalam buaian mimpin.

"Wooiii, dengerin tuh Pak Rifai ngejelasin apa, ngantuk mulu."

Sebuah suara dan sikutan di lengannya, membuat Delmora sejenak tersadar dan kembali mencoba fokus ke depan, menatap Pak Rifai yang sedang berkomat-kamit tentang sejarah Perang Dunia II, ini baru awal pelajaran tapi deru hujan membuatnya ingin segera menyatukan kelopak matanya. Delmora, mengalihkan perhatiannya itu ke arah Vierra yang terlihat masih sehat bugar mengikuti pelajaran, tapi yakinnlah sebenarnya ia hanya melihat tapi tidak memperhatikan.

"Emang, lo ngerti yang dijelasin di atas?" Tanya Delmora, menatap sahabatnya itu.

Vierra menyeringai terpaksa, hingga matanya terlihat hanya segaris saja, lalu perlahan menggeleng pelan.

Delmora mendengus kecil, benar kan, meskipun Vierra fokus dengan pelajaran yang dijelaskan hingga matanya meloncat keluar namun dengan kapasitas daya pikirnya yang bahkan mengalahkan pergerakan ulat kaki seribu yang super duper lambat, ia tidak akan mengerti. Delmora yakin itu.

Hujan di luar sana semakin kencang, beberapa kali kilatan petir menyilaukan ruang kelas dan tak lama kemudian diikuti oleh gemuruh guntur yang sekali-kali membuat para siswa bergidik ketakutan. Delmora mengedarkan pandangannya, memperhatikan setiap aktivitas kawan-kawan sekelasnya, sama saja dengan dia, berkutat dengan perang mata, namun tetap sok memperhatikan Pak Rifai meskipun sesekali kepala mereka tertunduk mendadak karena kehilangan keseimbangan motoriknya. Dan Delmora melihat semua itu dengan sengirai kecil, betapa lucu mereka, pikirnya.

Lelah melihat pemandangan yang biasa-biasa saja di dalam kelas, Delmora kemudian kembali memfokuskan penglihatannya ke luar di lapangan bola yang mulai di genangi air. Lama seperti itu, hingga tanpa sadar pikirannya telah melambung jauh entah kemana, seperti biasa, dan inilah kebiasaannya. Tidak menetap mengenai apa yang ia lamunkan, mulai dari kehidupannya, masa lalunya, keadaannya, hingga sosok lain yang ia sembunyikan dari dirinya, Feli. Perlahan mata Delmora terasa perih dan tumpukan air hangat tersendat di pelupuknya. Ia hendak menangis, dan nyaris saja itu terjadi, hingga tiba-tiba pandangannya menangkap sesuatu yang aneh. Seorang pria dengan seragam yang sama dengannya berlari tergesa di tengah lapangan, tak jelas arah tujuannya, Delmora memperhatikan gerakan yang pria itu ciptakan, ia mencoba memindai wajah pria itu, mungkin saja ia mengenalnya, namun ternyata tidak, pria itu asing baginya bahkan mungkin ini pertama kali ia melihatnya. Sesungging senyum tiba-tiba terukir di kedua ujung bibirnya ketika melihat pria itu terus berlari bahkan sesekali ia menyorak bahagia, seolah hujan menjadi penghibur terbaiknya, jujur saja pria itu sekarang terlihat seperti seorang bocah yang sedang merasa merdeka karena bisa bermain hujan tanpa diketahui mamanya.

"Awwaaassss"Delmora tiba-tiba terpekik keras, saat pria itu tak sengaja menabrak tiang gawang.

"Siapa itu??" Suara berat Pak Rifai terdengar tiba-tiba, dan ini sangat horror, karena Delmora tak sadar jika saat ini ia sedang mendapat teguran dari guru Killer dan Bigger di sekolah. Seketika semua perhatian teralihkan ke arah dimana Delmora duduk, sementara gadis itu hanya mampu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, tak mampu berkutik atas kebodohannya yang tak terprediksi.

"Delmora Renata, silahkan keluar dari kelas ini." Singkat, dan menyakitkan. Perkataan Pak Rifai barusan memberi tamparan bagi Delmora.

"Tapi pak.."

DELMORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang