''Kok gue kangen sama lo, ya?''
Ini otak udah gue jual kemana, sih? Perasaan daritadi ngomong bablas mulu, enggak pakai mikir.
Sumpah gue udah bodo amat kalau setelah ini Naisha bakal ilfeel sama gue. Ya, mau gimana lagi? Gue enggak bisa memutar waktu dan menarik ucapan gue beberapa saat yang lalu ke dia.
''Hari ini lo kenapa, sih, John?'' Naisha menyuap potongan pancake terakhirnya. Cewek itu menatap gue bingung, tampak menunggu jawaban sambil terus mengunyah suapannya tadi.
''Enggak tahu.''
''Lo hari ini aneh banget tahu, enggak?'' Gue menelan ludah susah payah, entah kenapa seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokan gue.
Naisha mengelap sekilas sudut bibirnya setelah meneguk minumnya. ''Satu, lo dateng jemput gue. Padahal gue cuma minta tolong buat telpon orang rumah.'' Satu jari telunjuk Naisha naik, lalu kini jari tengahnya juga teracung. ''Dua, lo ngajak gue buat malam mingguan.''
''Dan yang terakhir, barusan lo tiba-tiba bilang kangen sama gue setelah 6 bulan kita enggak komunikasi sama sekali.'' Naisha menurunkan ketiga jarinya.
Ia memiringkan kepalanya dan menatap gue dengan mata menyipit curiga. ''Kenapa sih, John? Gue jujur heran sama lo. Aneh banget.''
Gue tertawa hambar.
Membasahi bibir yang mengering, gue menautkan kesepuluh jari gue di atas meja. ''Enggak tahu, Nai. Hari ini gue merasa random banget.''
''Sori, kalau misalnya lo risih sama gue yang kaya gini.'' Lanjut gue.
''Enggak, gue enggak risih kok.'' Naisha menggelengkan kepalanya, ''cuma, apa ya? Aneh aja gitu tiba-tiba lo kaya gini. Tiba-tiba jemput, ngajak malam mingguan sama bilang kangen. Eh, jangan bilang—''
''Apa? Gue belum move on sama lo?'' Naisha mengangguk pelan dengan ekspresinya yang membuat gue ingin ngakak saat ini jug.
''Enggak lah. Gue udah move on kali.'' Gue bisa melihat ekspresi lega yang sekilas Naisha tampakkan.
Cewek itu lalu memainkan sedotan pada gelas milkshake-nya, memutar-mutarnya membuat seperempat cairan di dalam gelas bergoyang.
''Hmm baguslah. Soalnya tadi lo bilang kangen, jadi gue kira belum move on hehehe.'' Mata Naisha melengkung membentuk eye smile yang selalu menjadi hal favorit gue saat dia tertawa. Efek yang ditimbulkan eye smile itu ternyata enggak berubah, masih menghangatkan hati gue saat melihatnya.
"Tapi, jujur aja gue emang kangen sama lo, Nai." Menarik nafas pelan, gue lalu memundurkan sedikit badan hingga punggung gue menyentuh sandaran kursi.
"Gimana gue bilangnya, ya? Gue kangen sama beberapa hal kecil yang biasa kita lakuin. Anter-jemput lo, malem mingguan, ngobrol-ngobrol kaya sekarang, banyaklah."Ujar gue sembari mengetuk-ngetukkan jari di atas meja.
Naisha menggaruk bagian kanan pelipisnya. "Jujur aja, John, gue juga sama kaya lo, kok. Kadang suka kangen sama momen-momen kecil itu.''
"Kalau dipikir-pikir, kita habis putus malah jadi orang yang saling enggak kenal, ya? Kalau enggak sengaja papasan, pura-pura enggak lihat.''
"Gue yakin lo pasti pernah dengar 'kalau orang pacaran, habis putus bakal kaya orang asing'. Realitanya, emang kaya gitu, pura-pura enggak kenal. Cuma sedikit yang bisa temenan baik."
Gue mengangguk setuju, "kaya Bryan sama Carla? Mereka dulu sahabat deket, terus pacaran. Sekarang malah kaya orang asing habis putus."
"Iya, kaya gitu. Btw, lo enggak usah nyari contoh jauh-jauh kok, John. Kita sendiri habis putus enggak saling sapa lagi, kan?" Kali ini gue dan Naisha sama-sama tertawa menyadari kekonyolan kami berdua setelah putus.
Gengsi.
Serius, itu masalah utama buat kita berdua saling sapa. Gue sendiri juga ngerasa bakal aneh kalau misalnya keesokan hari setelah gue mutusin Naisha di perpustakaan, trus kita papasan di koridor malah senyum sambil bilang ''hai, Nai, selamat pagi''.
Kebayang enggak sih awkwardnya gimana? Wkwkwk.
Gue meraih gelas frappucinno gue, "tapi, gue mau memperbaiki hubungan kita, Nai." Menyeruput tegukan terakhir frappuccino, gue bisa melihat Naisha yang mengernyitkan dahinya.
"Gue enggak mau kita jadi salah satu pasangan yang habis putus malah kaya orang asing, pura-pura enggak kenal. Gue mau kita jadi temen baik."
Naisha menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh kecil. "Astaga, John."
''Lo maukan jadi temen gue, Nai?''
Momen ini terasa sama, namun sekaligus terasa berbeda dengan apa yang gue lakukan berbulan-bulan lalu. Terasa sama, karena gue menemukan jantung gue berdetak was-was menunggu jawaban Naisha. Bedanya terletak pada konteks yang gue tanyakan, kalau dulu gue bertanya apa Naisha mau menjadi menjadi pacar gue atau tidak, sekarang gue bertanya apa dia mau menjadi teman gue setelah berstatus menjadi 'mantan'.
''Gue belum pernah dengar larangan berteman dengan mantan. Jadi, jawaban gue iya, John.''
🌉🌉🌉
Tinggal 1 chapter lagi dan cerita Johny bakal berakhir wkwkwk. Mungkin kalau lg enggak mager, epilognya bakal gue post malam ini juga heuheu.
KAMU SEDANG MEMBACA
malam minggu ✔
Short Story❛❛Johny itu jomblo, jadi kalau malam minggu diemnya di rumah aja. Tapi, malam minggu kali ini agak berbeda. Kenapa? Karena sebuah LINE dari mantan merubah segalanya.❞ 🚨 sebelum baca ini, ada baiknya baca "A Little Conversation in The Laboratory" d...