" Ini mas, pas ya uangnya." Kataku sembari menyodorkan uang kertas lima ribu rupiah kepada supir ojek online.
" Oh, iya neng. *Hatur nuhun. Itu kresek bawaannya mau di bawain aja? Kasian eneng bawanya kesusahan gitu. "
Aku yang sudah setengah basah kuyup di guyur hujan saat perjalanan menuju tempat bimbelku ini, hanya ingin berteduh dan mengahangatkan diri.
" Aduh, pak. Gapapa kok, ini tinggal lari ke dalem sebentar. Duluan ya pak! " Pamitku dengan kedua tangan memeluk kresek basah yang sejak tadi aku simpan di dekat dada.
Huft, hari kamis memang bukan hari keberuntunganku. Aku kehujanan, buku-bukuku tertinggal di sekolah. Hhh, rasanya ingin cepat-cepat pulang merebahkan diri di kasur keyanganku dan menghilang dari segala beban dan masalah yang ada. Baru saja aku melangkah maasuk ke gedung berlantaikan empat ini. Menaruh sembarang kresek putih berisikan baju renang basah dan seragam yang sudah menyerap banyak air di samping sofa yang terletak di bawah tangga dekat pintu masuk. Sore ini lobby tidak ramai seperti biasanya. Entahlah kemana para anak kecil yang suka sibuk bermain dengan ponselnya masing-masing tapi tetap saja membuat bising ruangan dengan celotehnya yang tak penting. Aku menjatuhkan badanku sejenak di sofa, mengecek beberapa notifikasi di ponsel yang baru saja ku ambil dari bagian depan tas. Tidak ada yang begitu penting selain pesan dari ayahku yang bawel nya luar biasa.
Papito: Kak, gimana? Udah sampe di tempat bimbel?
Aku: Udah, yah. Ini kakak baru banget sampe.
Papito: Syukur deh. Yaudah, nanti maghrib ayah yang jemput dari kantor ya. Baju kotornya di simpen dimana? Biar ayah aja yang bawa. Jadi kakak gak usah ribet bawa-bawa ke atas lagi.
Sekali lagi aku melirik ke arah kresek putih itu, juga memastikan bahwa sekiranya tidak ada yang akan mengambilnya.
Aku: Kakak taro di pinggir sofa yang biasa kok. Eh, ayah. Kakak ke atas dulu ya? Udah telat.
Papito:Iya, belajar yang bener ya, cantik.
Sedetik kemudian, aku kembali menggendong tas sekolah ungu polosku dan langsung menaiki tangga ke lantai tiga. Dimana aku biasa belajar. Kutemukan teman-temanku sedang sibuk mencatat soal yang ada di papan tulis di selangi seorang dua orang yang bertanya kepada Kak Narti, tutor mata pelajaran Matematika dan IPAku. Kak Narti hanya memberi anggukan padaku saat aku masuk ke dalam kelasnya dan mempersilahkanku untuk ikut bergabung sambil mulutnya yang menjawab pertanyaan Lita. Sedangkan aku masih sibuk mengatur nafas karena kelelahan menaiki anak-anak tangga dengan tergesa. Aku kembali menyalakan ponselku sekedar menggeser-geser layarnya tanpa tahu apa yang aku ingin lakukan.
Oh iya, teman di sekolah lama kan ada yang jadwalnya sama kayak aku kan hari ini. Hm, ijin ke toilet aja kali ya? Kan tutornya sama. Lagian bosen juga ternyata, huft.
" Na, bukunya mana? Keluarin coba ". Pinta Ka Narti
" Emm, ga aku bawa, ka. Hehehe. Kan aku juga dadakan minta ikut kelas yang hari ini. Jadi bukunya ada di rumah ". Di lanjut dengan senyumku, biasanya sih ampuh.
" Ish, kamu tuh ya. Yaudah nih, nih. Kamu ke bawah, ke kantin, minta tolong photocopyin ke mas nya halaman sini sampe sini. Bilang disuruh kakak. " Jelasnya sambil memberikan buku miliknya padaku.
" Kak, kalo Kak Risky lagi ngajar di ruang berapa? "
Kak Narti yang baru saja duduk di kursinya hanya menatapku bingung, lalu sedikit mengerutkan alis.
" Dia di bawah kalo engga salah. Di rungan 205. Yang persis di seberang toilet perempuan. Kenapa? "
" Mau sekalian ketemu temen, wle ". Ujarku saat menutup daun pintu sambil menjulurkan lidah kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Setelah Hujan
Non-FictionSetiap rintik hujan adalah tangisku. Setiap gemuruh adalah amarah pada semesta yang sembunyi di balik awan hitamku. Aku nyaris lupa rasanya hangat, tenang, damai, dan bahagia rupanya seperti apa. Hatiku hampir benar-benar beku. Sampai senja kala itu...